Sketsa Masyarakat Samin

Disarikan oleh Gampang Prawoto, dari buku “Masyarakat Samin, Siapakah Mereka?” Karya RPA. Soerjanto Sastroatmodjo, Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2003

Suryanto Sastroatmodjo *

Merupakan salah satu dari teks historis-sosiologis yang mencoba disuguhkan untuk mengenal suatu masyarakat secara komprehensif dan mendalam. Dalam teks ini akan diuraikan tentang masyarakat samin meliputi; ide terbentuknya masyarakat samin, tiga unsur gerakan Saminisme, masa kepemimpinannya, sumber ajaran Samin, daerah persebaran ajaran Samin, sebab perlawaan orang Samin, pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya, potret pemuka masyarakat Samin saat ini, bahasa yang digunakan, kepribadian orang Samin, rites perkawinan orang Samin, pandangan orang Samin pada sebuah nasib, identitas pakaiannya, perkembangan kepercayaannya, dan strategi politik orang Samin.

Makalah ini diharapkan menjadi suguhan kepada pembaca secara berbeda, karena sampai saat ini masih kentalnya pengetahuan masyarakat akan Orang Samin tidak beda dengan masyarakat yang terbelakang, teisolir dan anti kemajuan. Dengan suguhan tulisan ini, diharapkan wawasan dan pengetahuan pembaca lebih terbuka dan kemudian mampu bersikap bijak dan arif dalam memandang sebuah reailtas yang ada.

Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini didapat dari ayahanda, yaitu anak dari Pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung, Jawa Timur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak.

Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, lela Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata, sami-sami amin yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin.

Kyai Samin Surosantiko tak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti. Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda, dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya.

Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan catatan yang ditulisnya juga disita, yang berjudul Serat Jamus Kalimasada. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinan Saminisme terbagai dalam dua tahap, yaitu Samin Sepuh dan Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir-batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membangun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.

Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.

Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara Hindhu Budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran keislaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang dibawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut dicatat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.

Daerah persebaran ajaran Samin diantaranya di Tapelan (Bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan). Ajaran di beberapa daerah ini merupakan sebuah gerakan meditasi dan mengerahkan kekuatan batiniah guna menguasai hawa nafsu.

Sebab perlawaan orang Samin sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat dalam menjalankan pemerintahan di Randublatung. Tindakan perlawanan ini dalam bentuk gerakan mogok membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram dan meyinggung banyak pihak yang menimbulkan kontradiksi yang berlarut-larut.

Pandangan orang Samin terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati, Kyai Samin hanya mokhsa yang menjadi penghuni kaswargan. Tokoh ini dimitoskan secara fanantik, bahkan pada momentum perayaan Upacara Rasulan dan Mauludan sebagai ajang untuk mengenang kepahlawanan Kyai Samin. Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berbegangan sejenis primbon (kepek) yang mengatur kehidupan luas, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antarwarga Samin.

Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Orang Samin memiliki kepribadian yang polos dan jujur, hal ini dapat dilihat setiap ada tamu datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimiliki dan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Pengetahuan orang Samin terhadap rites perkawinan adalah unik, mereka menganggap bahwa dengan melalui rites perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggungjawab sosial. Orang Samin percaya dalam menuju kemajuan harus dilalui dengan marangkak lambat. Hal ini dapat dilihat dengan perilaku menolak mesin seperti traktor, huller dan lain-lain. Pakaian digunakan orang Samin adalah kain yang berwarna hitam dengan bahan yang terbuat dari kain kasar.

Suku Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Di daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Jaba dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin dahulu. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) dikenal wong sikep, mereka ini dulunya fanatik, tapi kini meninggalkan arahan dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.

Beberapa pikiran orang Samin diantaranya; menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang duniawi, kegembiraan, dan kesejahteraan, dan memelihara keseimbangan batin di kalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi, yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat. Ajaran politik yang dikenakan pada suku Samin yaitu cinta dan setia kepada amanat leluhur, kearifan tua, cinta dan hormat akan pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual.

*) Pujangga Suryanto Sastroatmodjo lahir di Ndalem Sriwitaman Bojonegoro 22-2-1957, dan wafat pada hari selasa Keliwon 17 Juli 2007 di Yogyakarta, dimakamkan di desa Pakpahan, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Bahasa »