Dante si anak alam

Noval Jubbek

“Hanya suaranyalah yang nyaring dan tajam. Seperti halilintar. Dan merdunya datang ketika malam. Serupa angin yang melibas ujung daun di pucuk cemara”

Dante, begitulah orang-orang memanggil namanya. Terkadang Dante, olokan para pemuda-pemudi kampung terhadap perempuan bertubuh ringkih yang sering duduk di bawah pohon beringin besar, di tengah-tengah pekuburan tua. Mungkin karena suaranya saja yang sering banter terdengar, sedang sosoknya tak tampak. Jadilah ia menyatu dengan angkernya pohon yang konon telah ribuan tahun kokoh berdiri itu. Akarnya yang telah mengular. Batangnya serupa kaki-kaki kokoh raksasa. Dan rambut pohon beringin itu terurai purba.

Sedang para tetua kampung tak sedikit yang menghormatinya. Membawakannya makanan. Terlebih pada malam-malam tertentu yang di keramatkan. Kemenyan satu ons dan kue pasar bermacam tujuh warna ditata dengan rapi di atas nampan dari bambu. Bibir nampan dihiasi daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa dipadu dengan juntaian janur kuning yang diserut dari pohon kelapa hijau. Sajian yang sering mereka berikan pada Dante.

Pada tengah malam seringkali Dante memekik pilu. Jeritannya mencekam. Mencakar-cakar hening yang memantul di atas genting dan atap lalang pemukiman. Terkadang seperti gerimis dan embun yang lembut menyelimuti rerumputan. Dante akan bersyair, meraung, berdendang, mendengung.

OOO.. si anak alam tinggal ringkih tulang
tangannya sela-sela ranting
kaki-kaki bumi melangkah
matanya tak nampak bintang
duh, tak banyak yang terang
hatinya si anak alam, malam bulan yang terang
***

Dari atas langit sekitar pekuburan muncul pelangi malam-malam. Aroma dupa mengalir dari segala penjuru. Tak terbawa angin. Sebab sunyi adalah saat itu. Benar-benar tak ada suara. Bahkan suara kecipak air dari sungai tepi pekuburan tak berisik. Adalah semacam teja. Sinar tumpah tepat di atas beringin tua. Dan seperti mercon sebasar lengan meledak di keheningan. Duaaarrr…

Seluruh orang-orang kampung berkumpul di sekitar pekuburan, di pagi buta. Dengan penerangan seadanya berkasak-kusuk sambil menunggu para tetua yang belum datang. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Tentu dengan terka-terka beberapa pula.

“Mungkin itu bom peninggalan jepang yang terkubur disini

“Ah tak mungkin… Barangkali itu hanya mayat yang meledak seperti yang diceritakan orang-orang di pasar, mereka menontonnya di tivi

“Yah.. itukan hanya berita orang-orang yang cari sensasi saja

“Atau barang kali ledakan itu hanya mercon yang disebabkan pemuda iseng saja

Tak ada yang pasti. Orang-orang kampung yang berkelompok itu hanya berpendapat dengan kebingunangnya masing-masing. Terkaan mereka tak lebih keluar dari bualan masing-masing, agar suasana semakin mencekam dan bahkan sampai pula pada humor. Suara-suara yang mendengung. Tawa-tawa yang cekikik. Tiba-tiba mereka terdiam dan tercengang, bahkan sebagian berhamburan menjauh dari sekitar pekuburan mendengar suara yang keluar dari pandang samar-samar.

ueang young pang heeee
aku si anak alam….
…….
….
..
.

Orang-orang banyak yang lari ketakutan. Sebagian mengambil apa saja untuk dijadikan senjata untuk menyerbu arah suara itu. Tapi itu dihentikan oleh tetua kampung yang baru datang.

“Tenang, tenang… Tenang saudara-saudara”

Lelaki berpakaian serba hitam itu–yang menurut orang kampung telah mencapai puncak kesaktiannya– komat-kamit membaca mantra, lalu membuka buku lapuk yang dibawanya. Suasana mutlak menjadi milik suara aneh itu. Sekitar lima menit lelaki itu membuka suara.

“Saudara-saudara, tak perlu takut. Menurut buku ramalan, suara itu adalah nyanyian Dante. Anak dari alam yang lahir limaratus tahun sekali pada jam satu tanggal satu bulan satu dan tahun yang ada angka satu. Ia terlahir buta, namun memiliki suara merdu ketika alam mengasihi kita, namun akan menakutkan suaranya ketika kita tak lagi menghormati alam. Dalam buku ini pula, selama nyanyian Dante terdengar di kampung kita, maka selamatlah kita dari mara bahaya”
***

Mungkin akulah satu-satunya pemuda yang saat ini tak memanggilnya dengan kata Danter. Karena tak layak pulsa aku ikut-ikutan para pemuda yang mengolokinya tanpa tahu sebanarnya. Setelah diamati, tak ada yang benar, apa saja yang dikatakan pemuda-pemudi itu. Sejak saat itu aku berpendapat lain terhadap Dante. Aku sering pula membawakannya makanan ketika kebetulan melewati sekitar pemakaman. Dante tak pernah bicara padaku. Bahkan ucapan terimakasihpun tak ia ucapkan setelah aku berikan nasi bungkus. Tapi ada suatu hari yang aneh menurutku.

“Hey anak muda”

Dante menegurku. Aku dengan sedikit dag dig dug menghampirinya.

“Bawalah kantung ini. Inilah hartaku satu-satunya

“Jangan kau buka sebelum aku bangkit dari kematian ini”

“Tapi, bukankah saat ini kau dalam keadaan bernafas, itu artinya kau masih hidup, Dante”

“hahahahahaha” Ia hanya tertawa

“Tidak, aku akan mati besok”

Aku hanya terdiam memandangi dante yang berlalu dengan sedikit menyeret sebelah kakinya. Ia berdengung lalu menjerit tak karuan. Semakin jauh jarak pandangku pada Dante, semakin jelas jeritannya pada pendengaranku.

ALAM SUDAH SEKARAT, ALAM SUDAH SEKARAT
OO AKU SI ANAK ALAM
SEKARAT

Satu minggu setelah kejadian. Aku tak lagi nampak Dante, suaranyapun sudah tak terdengar lagi. Aku bertanya pada orang-orang di sekitar pemakaman, seorangpun tak ada yang tahu. Ah… Mungkin Dante sudah benar-benar mati, yang ia sebut sebagai bangkit. Tapi dimanakah jazadnya?

Satu bulan setelah aku cukup yakin kalau dante sudah mati atau yang menurutnya di bangkitkan dari kematian. Keberanian membuka bungkusan yang di berikannya mulai ada. Perlahan-lahan aku mulai membuka bungkusan itu. Bau kemenyan yang menyengat dan sedikit bunyi yang berisik akibat gesekan benda yang di dalamnya. Tahukah kalian apa yang ada di dalamnya?. Tak lain adalah tumpukan kemenyan dan gulungan kecil dari kulit lembu bertuliskan dengan huruf kapital. “HIDUPKANLAH ALAM”

Malang 2010