Mahmud Jauhari Ali
Tabloid Serambi Ummah, 2 Jan 2009
Di antara hiruk-pikuknya kota, dan semakin pekatnya polusi di atmosfer tempat kelahiranku, aku masih seperti dulu. Ya, seperti dulu, setia dengan kesenian lama yang kini dipandang orang sudah usang dan berkarat. Batang usiaku kini telah mencapai kepala enam dan sedihnya, tanpa pewaris atas seni yang kubawakan dari waktu ke waktu. Temanku hanyalah sepasang kayu kering dan kulit hewan yang setia kepadaku. Sesekali kutengok masa lalu yang pernah membawaku ke atas pentas kebahagiaan. Sesekali pula aku diminta untuk mementaskan sebuah kisah yang berisi pula wejangan bagi pendengar dengan iringan suara terbang tuaku. Pernah kudengar sayup-sayup orang berkata, kesenian yang kubawakan telah berlumut, mirip dengan namanya.
Siang itu kupandangi sebuah surat yang dilayangkan oleh instansi ternama untukku. Telah lama sekali aku tak menerima sepucuk surat seperti ini. Memang bukan surat cinta, namun isinya membawaku ke alam cinta pada kesenian tua yang mulai redup di telan angkasa kota. Rasa rinduku untuk duduk sambil menatap sekumpulan orang yang hadir dalam acaraku, kini sedikit terobati di kala kubaca isi surat yang dibungkus plastik terang dan licin.
”Yth. Bapak Saman…. Kami selaku Panitia Festival Budaya Daerah memohon Bapak untuk berkenan mementaskan kesenian lamut dalam rangka memeriahkan HUT ke-63 RI. Atas perhatian dan perkenan Bapak, kami sampaikan terima kasih.”, demikian sepenggal isi surat yang kubaca.
Hatiku yang telah lama mendamba untuk membuat orang-orang tersenyum bahagia, kini terasa tenang. Setenang genangan air hujan di jalan yang berlubang karena dilupakan sang empunya kekuasaan. Ternyata masih ada kesempatan untuk orang tua sepertiku mementaskan kesenian ini.
”Ya Allah, aku benar-benar bersyukur kepada-Mu atas kebahagiaan yang kudapatkan ini. Hatiku kini tentram karena-Mu. Perkenankanlah hamba-Mu ini untuk kembali memetaskan kesenian yang hampir dilupakan orang-orang di hari yang akan datang.”, ucapku lirih dalam doaku.
”Kek, ada yang datang mencari Kakek. Orangnya masih muda dan bertubuh kekar. Nama orang itu Alimuddin.”, cucuku yang hampir remaja tiba-tiba memberitakan hal yang tak kuduga itu, entah siapa.
”Suruh orang itu masuk.”, pintaku kepadanya.
***
”Assalamu’ailaikum.”, sapa orang itu dengan manis dan lembut.
”Wa’alaikumussalam.”, jawabku singkat kepadanya.
”Maaf Pak. Sebelumnya perkenalkan, nama saya Rifani. Saya seorang wartawan salah satu surat kabar harian di kota ini. Tujuan saya ke mari untuk mewawancarai Bapak berkenaan dengan lamut.”
”Syukurlah masih ada yang berminat untuk mengetahui seputar perkembangan kesenian yang hampir dilupakan orang ini.”, kataku, ”Bapak berharap nak Rifani dengan tulus meliput perkembangan lamut dari hati nurani untuk turut melestarikan kesenian yang hampir musnah ini.”, imbuhku.
Beberapa pertanyaannya dapat kujawab dengan lancar hingga satu pertanyaan darinya yang membuat lidahku kelu untuk berkata. Sebuah pertanyaan menyangkut pewaris kesenian yang dari dulu aku geluti ini, benar-benar membuat hatiku miris semiris-mirisnya. Betapa tidak, hingga kini belum ada generasi muda yang sudi berguru kepadaku untuk dapat mementaskan lamut di hadapan penonoton. Ah, sedihnya hati ini.
Pemuda itu terdiam menatapku yang tak dapat berkata-kata lagi. Diraihnya alat perekam yang dari tadi ia letakkan di meja tamuku.
”Sudahlah Pak. Saya mengerti apa yang ada dalam pikiran Bapak. Sebelumnya saya sudah mendengar tentang hal terakhir yang saya tanyakan tadi. Maaf pak, sekali lagi saya meminta maaf kepada Bapak atas pertanyaan yang membuat Bapak sedih.”, kata pemuda itu kepadaku dengan rasa simpati yang cukup tinggi buatku.
Tidak lama pemuda itu mohon diri meninggalkan rumahku dengan wajah yang seakan turut tenggelam menyaksikan raut wajah tuaku yang sedih. Aku tak dapat mencegahnya untuk itu. Kubiarkan ia melewati pintu dan pagar rumahku.
Satu hari telah lewat dan kurenungi kembali pertanyaan pemuda kemarin sore itu. Sendainya lidahku dapat berkata kala itu, akan kukatakan, ”Kini tinggal aku yang masih aktif dalam kesenian yang kudapat dari ayah kandungku sendiri. Tak ada satu pun pewaris yang meminta warisan lamut dariku.” Oh, sakitnya hati ini jika menyangkut generasi muda yang tiada peduli terhadap kelestarian lamut di tanah kelahiranku. Tapi, aku tidak dapat menyalahkan mereka, terutama bagi mereka yang memilih berkesenian lainnya, kesenian daerah dan modern. Toh, juga kesenian yang sama-sama harus dilestarikan. Hanya yang membuat hatiku jatuh berkeping-keping adalah, mengetahui ada generasi-generasi muda yang lebih memilih menelan obat terlarang dan meminum minuman keras daripada melestarikan kesenian di daerah mereka sendiri. Ya, tempat kelahiran mereka juga telah mereka nodai dengan perbuatan buruk mereka itu.
Aku mainkan kembali terbang tuaku untuk mengiringi suaraku yang hampir habis ditelan zaman. Kunikmati sendiri merdunya irama yang dihasilkan dari kulit kering dan kayu yang berongga besar di teras depan rumahku. Kadang anak-anak dan cucu-cucuku mau mendengarkan permainanku. Walau mereka tak ada yang mau meneruskannya, hatiku sangat bahagia jika mereka mau menonton pertunjukan tuaku itu.
***
”Sudah siap Pak?” tanya salah seorang panitia penyelenggara kepadaku.
”Bapak sudah siap, insya Allah Bapak akan segera tampil.”, jawabku singkat.
Segera kutabuh terbang tuaku dengan sebaik mungkin agar iramanya merdu di telinga para undangan. Semoga saja dengan penampilanku malam ini, banyak orang yang berminat kembal terhadap kesenian yang telah lama kehilangan banyak peminat ini. Setidak-tidaknya pemerintah daerah mau memperjuangkan lamut tetap lestari di tengah budaya modern yang semakin mengglobal. Tepuk tangan yang riuh mengiringi penampilanku.
”Bapak harap tahun depan akan ada lagi acara serupa.”, pesanku kepada pihak panitia penyelenggara peringatan HUT ke-63 RI, ”Insya Allah bapak akan datang jika ada permintaan tahun depan”, tambahku.
Mereka tersenyum dan seraya menganggukkan kepala. Aku benar-benar senang hari ini. Lama tak kutemui suasana hati yang mebahagiakan seperti ini.
***
Sore di bawah rintik hujan seorang datang kepadaku. Ya, wartawan itu. Pemuda tempo hari datang kembali. Kulihat wajahnya yang cerah menerangi redupnya sang surya yang sedang enggan bersinar. Segera kubukakan pintu perhatianku kepadanya.
”Ada yang tertinggal Nak hingga kau datang kembali?” tanyaku menggoda.
”Ya, ada yang tertinggal Pak.”, katanya serius.
”Apa? Silakan kauambil yang tertinggal itu.”
”Ilmu dan akan saya ambil dari jiwa Bapak yang ikhlas.”
Kupandangi wajahnya yang serius dan teramat serius buatku. Kulihat sebuah keinginan yang benar-benar dalam darinya.
”Bapak hanya memiliki ilmu berlamut yang dianggap orang sudah usang. Ini titipan dari-Nya. Jika kau menginginkannya, bapak akan menuliskannnya dengan ikhlas dalam dirimu.”
”Alhamdulillah.” ucapnya singkat namun penuh makna yang dalam.
Akupun mengucapkan puji dan syukur kepada-Nya atas anugerah yang sangat indah ini buatku, seorang pewaris.
Perlahan kuajarkan kepadanya yang kutahu. Tiada keinginan dariku menyembunyikan satu ilmu pun darinya. Bagiku murid bukanlah calon saingan dalam berkesenian lamut. Murid adalah teman dan pewaris yang selalu kunanti kedatangannya. Malang melintang di dunia kesenian di daerahku memang bukanlah hal yang membuat hidupku menjadi kaya uang dan harta. Tapi dengan kesenian, hari-hariku terisi dengan kekayaan hati dalam indahnya berbagi sebongkah cerita dan secuil pengetahuan. Kedatangan murid yang mau bergumul dengan seni yang kubawa dari waktu ke waktu ini sungguh nikmat yang luar biasa. Ya, Andi adalah nikmat dari-Nya untukku.
***
Kini pewarisku sudah mampu mementaskan lamut di hadapan penonton. Usiaku semakin senja dan mendekati malam dengan goresan dosa-dosaku di masa laluku.
”Pak, saya permisi pulang. Hari sudah mulai gelap.”, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara Andi yang sudah berdiri di sampingku.
”Ya, hati-hatilah Nak di jalan. Salam untuk orang tuamu di rumah.”
Tak lama setelah Andi pulang, suara telepon rumahku berdering nyaring. Segera kuangkat dan betapa girangnya hatiku mendengar berita akan diselenggaraknnya festival kesenian nasional. Aku menjadi wakil daerahku untuk mementaskan kesenian lamut secara nasional. Februari mendatang aku dijadwalkan tampil di Jakarta untuk menghibur dan berbagi secuil pengetahun kepada orang-orang di sana.
”Inikah buah dari kesabaranku selama ini ya Allah? Hamba-Mu ini benar-benar senang menerima nikmat-Mu ini. Tak kusesali sedikit pun jerih payahku melestarikan kesenian daerah dengan jalan yang terseok-seok selama ini. Hamba sungguh bersyukur kepada-Mu. Izinkan hamba untuk meneruskan kesenian ini hingga napas terakhir hamba di dunia ini.”, ucapku lirih dalam doaku selesai salat Magrib di musala samping rumahku.
***