Kutemukan Dia

Mahmud Jauhari Ali
Tabloid Serambi Ummah, 12 Des 2008

Aku terlahir dari orang yang tak kukenal. Jangankan nama ibuku, melihat sosoknya pun aku tidak pernah. Aku besar di panti asuhan Bumi Selaras yang didirikan oleh seorang yang baik hati. Atas bantuan beliau juga aku bisa menjadi seorang pengerajin batu permata yang cukup sukses di kotaku. Kini di usiaku yang kedua puluh delapan tahun, aku telah memiliki lima pekerja. Penghasilanku cukup untuk menghidupiku dan dua orang anak asuh di rumahku sendiri. Suatu ketika aku harus ke kota lain untuk urusan bisnis. Aku putuskan untuk naik bus ke kota tujuanku itu. Rencananya satu minggu aku berada di sana. Urusan pekerjaan kuserahkan kepada para pekerjaku yang sudah dapat kuandalkan. Kedua orang anak asuhku yang masing-masing berusia dua belas tahun dan empat belas tahun sudah mampu mengurus diri mereka dan rumah kami. Jadi aku tidak ragu meninggalkan mereka.

“Pak, hati-hati di jalan ya!” pesan anak asuhku yang pertama

“Insya Allah Bapak akan baik-baik saja.” Jawabku untuk membuatnya tidak cemas.

“Ini ada singkong goreng untuk bekal Bapak di jalan” kata anak asuhku yang kedua.

Mereka sangat perhatian kepadaku karena aku pun sangat memperhatikan mereka. Selama di perjalanan banyak kutemui pengemis, pengamen dan penjaja makanan dan minuman. Sesekali aku memberikan uang kepada para pengemis dan pengamen. Aku juga aku sesekali membeli minuman dari penjaja yang ada di dalam bus.

“Ternyata masih banyak rakyat yang miskin di negara kita.” Kata ibu tua yang duduk di sampingku.

“Ibu betul sekali. Di negara kita masih banyak orang yang miskin dan memerlukan bantuan kita yang mampu.” Balasku kepadanya.

Ibu itu menatapku dalam, seakan beliau ingin mengusap-ngusap rambutku. Mungkin ibu itu memiliki anak seusiaku dan mungkin pula beliau sedang ingat dengan anak belaiu tersebut.

“Aku tidak memiliki anak laki-laki” katanya. “Semua anakku perempuan dan seandainya aku punya anak laki-laki sepertimu, aku tentu akan sangat bahagia”, tambahnya.

“Semuanya sudah menikah Bu? ” tanyaku.

Ibu itu seketika tersenyum padaku. Sepertinya beliau tahu dari kata-kataku kalau sebenarnya aku ingin memiliki seorang istri. Sambil tertawa beliau berkata, “Semua anakku sudah memberiku cucu-cucu yang manis-manis.”

Aku ikut tersenyum sambil sedikit malu kepada ibu itu. Pembicaraan kami terhenti karena aku sudah sampai di kota tujuanku dan kami pun berpisah di sana. Sebelum kami berpisah beliau berpesan kepadaku, “Berhati-hatilah di terminal ini karena di sini banyak pencopet!”

Aku pun berterima kasih kepada beliau atas saran tersebut.
***

Kulangkahkan kakiku menuju keluar terminal mencari becak untuk menuju wisma tempat aku menginap satu minggu. Begitu banyak orang yang menawariku jasa transportasi, tetapi semuanya kutolak. Belum lagi aku keluar terminal, tasku sudah ada yang mencoba menyayatnya dengan pisau silet yang tajam. Kuhentikan segera aksinya dan aku kejar pencopet itu hingga aku berhasil menangkapnya. Tidak kusangka ternyata ia seorang perempuan muda. Usianya kira-kira dua puluh tahun.

“Lepaskan aku!”, katanya dengan ketakutan.

“Mengapa kamu menjadi pencopet?” tanyaku. “Apa kamu tidak takut jika polisi menangkap dan memenjarakanmu?” tanyaku lagi.

“Jika aku tidak mencopet Mas, aku tidak dapat makan hari ini.” jawabnya dengan nada memelas.

“Separah itukah perekonomianmu hingga kamu rela menjadi seorang pencopet?”, tanyaku padanya.

“Aku orang yang miskin dan tak punya pekerjaan tetap”, jawabnya. “Ibuku sedang sakit di rumah kami”, lanjutnya.

Aku tidak tega membawanya ke kantor polisi. Hati kecilku merasa iba dengan keadaannya. Aku ajak dia makan di warung dekat terminal itu. Saat itu perutku memang sangat lapar dan kulihat dia juga seperti orang yang kelaparan. Kami berbincang lama di sana. Aku memintanya menunjukkan keadaan ibunya kepadaku untuk membuktikan kebenaran kata-katanya tadi. Benar katanya, ibunya memang benar-benar sakit dan sedang terbaring di atas tikar beratap jembatan. Ya, tepatnya mereka tinggal di kolong jembatan. Hatiku merintih melihat keadaan mereka yang sangat memprihatinkan. Kuberi mereka uang seperlunya untuk berobat di rumah sakit. Aku pun segera meninggalkan mereka menuju wiswa tempatku akan menginap.

“Mas, tunggu sebentar!” pinta pencopet itu.

“Ada apa?”, tanyaku kepadanya.

“Siapa nama Mas dan di mana aku dapat menemui Mas kembali?”

“Namaku Rizal dan kamu dapat menemuiku kembali di Wisma Sejati”, kataku kepadanya. “Ingat pesanku tadi! Jangan mencopet lagi!”, tambahku.
***

Akhirnya sampai juga aku di wisma yang nyaman untuk kutinggali. Kurebahkan tubuhku di kasur empuk dan wangi. Segera terbayang olehku penderitaan anak dan ibu yang harus tinggal di kolong jembatan itu. Aku di sini rebahan dengan enak sedangkan masih ada orang yang tidur di tempat kumuh dan berbau tidak sedap. Aku bayangkan jika seandainya nasibku seperti mereka. Segera menitik air mataku dan ingin sekali aku membatu mereka. Aku ingat kembali aksi pencopetan yang dilakukan gadis itu kepadaku. Wajahnya masih mebekas di ingatanku. Malam pun semakin larut dan aku harus segera tidur agar besok aku dalam keadaan yang prima dan bisnisku dapat berjalan dengan lancar.

Suara alarm telepon selulerku membuatku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Aku pun segera berwudu karena azan Subuh telah menggema di angkasa. Untung di wisma itu tersedia musala yang bersih dan penuh perawatan. Kusempatkan jalan-jalan sebentar di sekitar wisma setelah salat Subuh berjamaah di musala itu.

Sudah dua hari aku berada di sana. Seperti biasanya, setiap pagi pintu kamarku diketuk pelayan wisma yang mengantariku makanan dan minuman. Dari dalam kusuruh dia masuk.

“Apa kabar Mas?” tanyanya

Aku lansung terkejut mendengar kata-katanya karena aku masih ingat betul suara itu. Benar dugaanku, ia saat ini tepat di hadapanku

“Kabarku baik. Bagaimana kabar ibumu Dik?” tanyaku balik.

“Ibuku masih hampir sembuh. Aku bawakan Mas makanan khas sini. Tolong Mas terima ya!” pintanya.

“Tidak usah repot-repot membawakan makanan ini untukku. Aku ikhlas kok membantumu dan ibumu tempo hari.”
***

Hari ini adalah hari terakhirku berada di kota penuh kenangan bagiku, terutama pada gadis muda yang mebuat hatiku terasa lain daripada sebelum bertemu dengannya. Pekerjaanku telah selesai dan saatnya aku kembali ke kotaku. Sebelum berangkat, aku sempatkan diriku menjenguk ibu gadis itu.

“Mungkinkah kita akan bertemu lagi?” tanya gadis itu kepadaku.

“Jika Allah menghendakinya, kita akan bertemu kembali Dik” jawabku.

“Kami akan mengingat kenangan hidup ini”, kata ibunya kepadaku.

Kulihat mereka sangat akrab di sana. Aku berpamitan dengan mereka. Baru kali ini aku sangat iri dengan orang lain. Aku sangat iri dengan gadis itu yang memiliki seorang ibu di sisinya dan menyayanginya. Tidak pernah seumur hidupku aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Kutatap sejenak wajah mereka dan aku pun segera meniggalkan mereka di sana. Sesampainya di rumah aku di sambut dengan hanyat oleh kedua anak angkatku. Aku banyak bercerita kepada mereka selama aku di kota lain.

Aku merasakan hal yang tidak pernah kurasakan selama ini, yakni rasa sepi di hatiku. Gadis di kota lain itu selalu ada dalam pirkiranku dan semakin pula membuat hatiku ingin bersamanya. Mungkin naluriku sebagai pria dewasa yang membuatku seperti itu. Kurasakan ada sesuatu yang berbeda dalam hatiku terhadap gadis itu. Entah apakah aku telah jatuh hati kepadanya. Akan tetapi, satu hal yang jelas bahwa aku bahagia saat bertemu kedua kalinya dengannya. Gadis itu membuatku tidak dapat konsentrasi terhadap pekerjaanku. Dengan perasaan yang tak menentu aku kembali ke kota itu. Kutemui dia dan ibunya. Aku tatap dalam matanya dan kuberanikan hatiku untuk mengatakan bahwa aku berniat menikahinya. Kulihat ia sangat gugup saat itu. Mulutnya tidak mampu bicara, tetapi ia menganggukkan kepalanya kepadaku. Anggukannya membuat hatiku sangat bahagia. Tiga hari kemudian kami menikah dan kubawa ia dan ibu mertuaku di rumahku bersama kedua anak angkatku.

***