Seruan Sastrawan dari ‘Kota Keretek’

Chavchay Syaifullah
Media Indonesia, 27 Jan 2008

KONGRES Komunitas Sastra Indonesia 2008 menghasilkan enam rekomendasi untuk penataan strategi kebudayaan Indonesia.
KONGRES Komunitas Sastra Indonesia 2008 yang berlangsung di Kota Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari, diikuti ratusan sastrawan dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam kongres yang diselenggarakan di Gedung DPRD Kudus itu, mereka menggelar forum, acara bincang-bincang, seminar, pembacaan puisi, monolog, dan pergelaran ragam seni pertunjukan lainnya.

Geliat acara kaum penulis itu tidak saja telah menarik minat ratusan guru dan siswa untuk datang dan menyimak kata-kata para sastrawan. Namun, kongres itu juga telah melahirkan enam rekomendasi yang cukup segar bagi penataan strategi kebudayaan Indonesia.

Simak saja poin pertama yang berbunyi, “Krisis moneter pada 1997 telah memurukkan sendi-sendi perekonomian Indonesia.” Salah satu dampaknya adalah aset-aset nasional harus dijual kepada pihak asing sehingga kepemilikan pihak asing terhadap aset-aset nasional makin menguat.

Para sastrawan menilai makin menguatnya kepemilikan asing tersebut tentu makin mengukuhkan nilai-nilai kebudayaan asing, terutama kebudayaan Barat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Karena itu, nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme, misalnya kemandirian dan kenusantaraan, dalam karya sastra menjadi sangat penting untuk kembali dibumikan di Tanah Air. Karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk kembali mengingatkan dan menyadarkan sangat pentingnya nilai-nilai kebangsaan.

Mereka juga menandaskan krisis multidimensi yang masih terasa hingga saat ini telah memicu konflik antarkelompok, antargolongan, antarsuku, dan antaragama. Kebenaran telah dimonopoli oleh satu kekuatan semata yang kemudian dipaksakan kepada pihak lainnya untuk diterima.

Bertolak dari kondisi seperti itu, karya sastra dan komunitas sastra selayaknya dapat menjadi media dan wadah untuk menyuarakan sangat pentingnya kebhinekaan atau keberagaman sebagai pijakan untuk saling menghormati dan bertoleransi.

Dalam poin lainnya, para sastrawan juga meminta agar sejarah kesusasteraan Indonesia disusun berdasarkan realitas yang berkembang dalam perjalanan sejarah kesusasteraan di negeri ini. Mereka juga berharap kepada pengamat sastra dan sejarawan dari berbagai kalangan untuk tidak terpengaruh oleh sejarah dominan yang memengaruhi kurikulum pendidikan sastra Indonesia. Untuk itu, mereka menuntut dibentuknya semacam dewan sejarah kesusasteraan Indonesia yang mampu menyusun sejarah kesusasteraan Indonesia yang mencerminkan realitas perjalanan sejarah kesusasteraan Indonesia.

Dalam poin rekomendasi, dijelaskan lebih lanjut bahwa secara struktural, dewan tersebut bisa saja berada di bawah dewan sejarah kesenian Indonesia. Payung utamanya sendiri bisa berupa dewan sejarah kebudayaan Indonesia. Tentu, sebelum itu, harus lebih dulu disusun strategi kebudayaan Indonesia.

Terkait dengan meningginya harga kertas yang berimbas pada rontoknya sejumlah penerbit dan menyangkut pajak atas karya sastra, para sastrawan meminta agar penerbitan dan penyebarluasan karya sastra bisa lebih baik, perlu diciptakan kondisi-kondisi yang mendukung. Misalnya, pemerintah menurunkan harga kertas, menghapuskan pajak atas karya sastra, dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus merupakan kongres yang baru digelar untuk pertama kalinya. Namun meski umur kongres terbilang masih ‘bayi’, tidaklah bisa disangkal poin-poin rekomendasi yang dihasilkan cukup strategis bagi penataan kebudayaan Indonesia yang lebih luas. Bagaimana penerapannya, tentu semua pihak harus ambil bagian.

Para sastrawan yang hadir dalam kongres di Kudus tentu saja harus berada di barisan terdepan membuktikan fungsi emansipatorik sastra di tengah perubahan sejarah. Para aktivis komunitas sastra yang menyebar di seantero Nusantara tidak bisa mengelak untuk lebih awal membuktikan komunitas sastra dapat melahirkan anak-anak bangsa yang kreatif, mandiri, dan berdaya saing internasional.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/jeda-seruan-sastrawan-dari-kota-keretek.html