Akar Pemikiran Derrida

Judul Buku: Derrida
Penulis : Muhammad Al-Fayyadl
Pengantar : Gunawan Muhammad
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tahun : Cet. 1, Agustus 2005
Tebal : xxvi + 243 halaman (index)
Presensi : Tony Herdianto *
ruangbaca.com

Satu abad yang lalu sejarah filsafat atau sejarah pemikiran telah disodori drama pembunuhan Tuhan oleh Friederich Nietzsche, tetapi lima puluh tahun kemudian, seperti percepatan kemajuan teknologi setelah ditemukan mesin cetak, secara berturut-turut segala sesuatu selama ini merupakan elemen-elemen dasar filsafat dihancurkan, bahkan pada tahun 1990 di Wayne State University, Amerika secara lebih radikal mengadakan konferensi The end of Theory, sebab pada masa itu banyak berpendapat teori telah berakhir. Pendek kata zaman ini adalah zaman hyperscepticism, atau disebut zaman yang dipenuhi tanda tanya.

Teks Friederich Nietzsche dan Heidegger telah mempertanyakan konsep-konsep matafisika tentang waktu dan sejarah yang nantinya secara bebas digunakan pula untuk sejarah tanda,tetapi hanya lewat Derrida-lah,pertanyaan itu menjadi explisit, jelas dan tegas. Dalam melihat metafisika sebagai yang ada kehadiran logosentrisme. Melalui tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam buku yang berjudul Derrida inilah akan bisa melakukan pembacaan atas pemikiran Derrida melalui teks-teks filsafat yang merupakan sebuah sistem yang menjadi pusat dari narasi-narasi metafisik yang ditampikkan oleh kalangan postmodernisme. Tentu ide dan logika Derrida dalam rangka membongkar logosentrisme akan mengalami kesulitan, terlebih dahulu harus meninjau ulang sejarah metafisika barat. Dalam hal ini, kritik atas sejarah metafisika barat harus melalui tahapan ontologis tentang being (ada).

Upaya Heidegger dan Derrida dalam membongkar sejarah filsafat metafisika barat ini hanya mempersoalkan tentang matinya logosentrisme harus berhasil membongkar paradigma cartesian yang terlalu memusatkan cogito. Karena itu, ada baiknya untuk sejenak mengulas pemikiran Derrida dalam menjawab kegelisahan tentang perlunya sebuah pemikiran alternatif, gagasan yang membela perbedaan di dunia yang tengah dihantui ancaman penyeragaman seperti yang terjadi saat ini. Derrida menawarkan teori dekonstruksi yang begitu identik dengan filsafat posmodernisme. Kemunculan teori dekonstruksi yang anti-metode ini mendapat tanggapan serius dari berbagai ilmuwan (hal:17).

Mereka yang berkeberatan dengan teori dekonstruksi sebagai bentuk intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi selain permainan kata-kata. Di sisi lain, dekonstruksi diartikan sebagai sebuah pembelaan kepada the other, atau kepada makna ‘lain’ dari teks dan logika. Dengan kata lain, sebuah pembebasan. Lebih jauh dalam buku ini, saya melihat bahwa dekonstruksi sama sekali bukan bagian dari nihilisme naif yang selalu menafikan kebenaran sebagaimana yang asumsikan para penentangnya. dekonstruksi bergerak melampaui nihilisme naif maupun dogmatisme tradisional. Dekonstruksi juga mengingatkan, bahwa setiap konstruksi tidak bisa mengelak dari karakter metaforis dan intertekstual bahasa atau teks, juga pada akhirnya kebenaran yang disusun tidak tunggal dan begitu rentan.

Selebihnya, Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida membawa konsekuensi serius pada ranah pemikiran, karena kecenderungan antifondasionalismenya yang tinggi. Konsekuensi itu mengharuskan dia menelenjangi klaim-klaim kebenaran dari sistem diskursif filsafat dan metafisika. Ini semua dilakukannya untuk membebaskan penafsiran dari beban makna (hal:22).

Dilihat dari kacamata agama, dekonstruksi Derrida mempunyai dimensi teologis, yakni lebih menunjuk pada ketidakmungkinan untuk membicarakan Tuhan karena pengaruh dan efek dari difference muncul dari penghormatan yang lain. Akibatnya dekonstruksi memperlihatkan untuk mencapai kebenaran (atau kebenaran sebagai yang-tak-mungkin) berasal dari tidak adanya lagi horizon pemaknaan yang dapat kita bangun untuk mengetahui kebenaran.

Dalam dimensi teologis ini, Derrida juga berbicara tentang iman akan yang tak-mungkin. Melalui iman, dia merasakan hasrat yang lain dalam arti hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma. Ini terlihat dari pengalaman religius dengan menganut agama Yahudi sejak kecil, tetapi akhirnya dia beralih dari agama Yahudi dan masuk ke ‘agama tanpa-agama’ yaitu agama yang lebih merupakan pengalaman religius dan cara pandang dalam mendekati Ilahi sebagai yang-tak-mungkin.

Sehingga bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam “teks”, yang selama ini telah ditekan atau ditindas. Adalah konsep penting dalam pemikiran Derrida di mana ia mendefinisikannya secara semiologis, wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting. Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar “teks”, realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah “teks”. Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai “teks” dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran universal.

Menurutnya, manusia harus berhati-hati dengan representasi realitas yang diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang sesungguhnya (real). Bahasa rasional berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu-menciptakan makna dengan kehadiran metafisika.

Strategi dekonstruksi membongkar semua itu bukan dengan hanya menciptakan makna baru, karena pembongkaran makna adalah yang melibatkan what is dan bukan what isn’t. Oleh sebab itu, konsep différence menjadi penting, yang mengungkapkan what isn’t bukan berdasarkan perbedaan, namun secara terus-menerus melakukan penundaan (deferred). Ada argumen yang menarik yang diajukan Derrida bahwa upaya untuk mendekonstruksi makna lewat différence dengan cara kerja what isn’t melibatkan terminologi perbedaan dan penundaan.

Namun, di balik seluruh pemikiran dan karya besarnya, Derrida tetap menjadi penting bagi kelompok pegiat filsafat di Indonesia, walaupun karya Derrida yang di tulis Fayyadl sangat berat bagi sebagian masyarakat Indonesia dan tidak populer.dan lebih populer karya Karl Marx. Tetapi karya anak bangsa Indonesia yang mau menekuni Derrida ini bisa menjadi acuan untuk belajar filsafat bahasa dan semiotika.

*) Tony Herdianto, Pecinta Buku dan Anggota Ruang baca Tempo.

Bahasa »