Gempa Kolono, Kedamaian Langgapulu, dan Keindahan Labuan Bajo

Syaifuddin Gani

Kolono: Antara Gempa dan Janji

Meninggalkan Kota Kendari, pukul 08.00 pagi. Kami harus segera sampai di Langgapulu, Konawe Selatan (Konsel) sebelum azan Zuhur tiba. Jika tidak, kami bisa ketinggalan katinting yang akan menyeberang ke Labuan Bajo, Wakorumba Utara, Kab. Buton Utara. Saya bersama Uniawati, teman sekantor, akan mengadakan penelitian antropologis di Labuan Bajo, daerah yang diyakini tempat hidup suku Bajo yang mendiami wilayah pesisir.

Ini perjalanan pertama saya menyusuri daratan Konsel yang ramping, perawan, dan matang. Pantai Nambo yang damai dan Moramo yang hijau kami tembus dengan kendaraan AVP yang cepat melaju. Jalan terkadang menanjak dan mendaki pinggul perbukitan yang ranum. Juga sesekali kami menuruni lembah Konawe yang membuat ban mobil sesekali cekikikan. Kata pak sopir, di sini, jalan yang mulus dan yang berlubang, sama panjangnya. Sudah sekian tahun jalan ini tak tersentuh aspal. Akibatnya, jika hujan mengguyur bukit-bukit ini, mobil kepayahan mendaki. Yah, batin saya, mendaki jalan di musim hujan, sama musykilnya dengan mendaki janji di musim kampanye.

Ah, Kolono. Nama ini begitu puitis. Jika huruf akhir diganti dengan “i”, maka akan memberi efek makna yang berbeda. Tapi, Kolono, sekali lagi memberi kesan yang khas bagi siapa saja yang baru pertama mengecap nama ini. Ada dua huruf konsonan dan tiga huruf vokal. Ketiga huruf vokal ”o” itulah yang membuat nama kampung ini terdengar indah.

Apa boleh buat, keindahan nama Kolono, berbeda dengan nasib yang dialami puluhan rumah di sana yang ambruk dirongrong gempa 6,2 SR. Pak sopir yang bersahabat, dengan sikap ramah memperlihatkan kepada kami rumah-rumah yang “mencium” keharuman tanah Kolono, tanah Konawe yang berduka. Bahkan ia rela berhenti ketika saya meminta untuk mengabadikan sebuah kantor desa yang bertekuk lutut di sebuah lapangan hijau. Bangunan itu pemain seperti seorang pemain sepak bola yang kakinya tersapu kaki lawan, lalu tubuhnya ambruk ke bumi.

Ada pemandangan yang melahirkan simpati, yakni tenda-tenda yang terpasang secara darurat di halaman rumah penduduk. Jika malam, kata pak sopir, mereka nginap di sini karena masih trauma pada gempa. Sepanjang jalan, paling tidak, saya melihat ada tenda hijau besar yang tertulis di atapnya, Dinas Sosial Sulawesi Tenggara. Bahkan, ada kelambu yang dipasang di halaman rumah di atas sebuah ranjang darurat.

Menariknya, di dalam mobil yang kami tumpangi, terdapat seorang ibu tua berkerudung tua, ditemani seorang cucunya yang jelita. Katanya, hari pertama ia mendapat bantuan 1 liter beras dan 1 bungkus mie. Hari berikutnya, ia menerima (kalau tidak salah) satu liter beras dan satu buah ikan kaleng. Padahal, katanya, di rumahnya ada tujuh orang. Kami ini, orang-orang yang kurang mendapat perhatian. Mana cukup bantuan sekecil itu dengan jumlah orang di dalam rumah. Kami ini, lanjutnya, paling tidak, hanya mendapat simpati dan perhatian sekali dalam lima tahun, yakni pada saat kampanye. Setelah itu, kami dilupakan. Tapi kami bersyukur, gempa ini, mendatangkan perhatian yang lebih, lanjutnya.

Kami harus berpisah dengannya di sebuah kampung. Ia menunjukkan kepada saya rumahnya yang purba. Foto dulu kita hae, sebelum komorang lanjut, mintanya. Saya turun dari mobil lalu mengabadikan wajah dan nasibnya yang berlatar rumahnya. Sayang, cucunya yang marun dan ranum, begitu cepat bergegas ke dalam rumah, jadi hanya rambut hitam, lengan, dan tasnya yang terabadikan di foto itu.

Di Langgapulu, Dua Pulau Dipeluk Satu Teluk, Dua Rindu Dilebur Satu Laut

Sekitar jam 12 siang. Mobil kami belok kanan di ujung daratan Konawe di sebuah kampung yang bernama Langgapulu. Yah, ini adalah sebuah kampung mungil yang denyut nadinya berjalan secara lambat, bagai alunan ombak pagi hari. Rumah-rumah warga seperti bertaut di kaki bukit dan di tepi laut. Jalan menuju dermaga sunyi diapit rumah-rumah warga yang sederhana. Setiap Kamis, Langgapulu merayakan hari pasar. Maka di situ, denyut kehidupan sedikit lebih cepat. Ada tawar-menawar antara pedagang-pembeli, antara penumpang dan pemilik kantinting dari Palangga (Konawe Selatan) ke Labuan Bajo (Buton Utara).

Entah mengapa, saya selalu tercenung dengan kosmologi kehidupan seperti di Langgapulu ini. Rayuan pohon-pohon kelapa, hembusan angin laut, rumah-rumah yang tenang dan sederhana, dan orang-orangnya yang mencintai alam sekitar seperti mencintai diri mereka sendiri. Ada sungai kecil keluar dari ketiak bukit menuju kebeningan laut. Tak ada pencemaran. Meski yang mungkin sesekali ada adalah kecemasan pada nasib hidup yang serba kekurangan. Saya jadi ingat kata-kata ibu tua di dalam mobil beberapa saat lalu, kami adalah orang-orang yang dilupakan. Yah, dilupakan oleh pemerintah sendiri! Sementara, penguasa selalu tampil mahal dan mewah, jauh dari sifat peka atas nasib papa warga yang dulu selalu jadi objek janji-janji!

Pak, pak, pak, ada penumpang. Cepat hae! Sebuah suara menyambut kami. Suara dari sebuah rumah tua bercat tua pula. Seorang Lelaki Tua muncul sambil memasang kancing bajunya. Lelaki berkacamata ini adalah pemilik sebuah katinting yang akan menyeberangkan kami dari Langgapulu ke Labuan Bajo. Tubuhnya kecil, hitam, dan selalu menebar senyum. Kami cepat akrab dengannya.

Jarak antara Langgapulu dan Labuan Bajo, mungkin tak sampai dua puluh mil. Dua pulau itu saling menonojolkan punggungnya yang hijau. Lautlah yang mempertemukannya. Bagaimana jika Anda memiliki saudara dan kekasih yang tinggal di Labuan Bajo, sedangkan engkau bermukim di Langgapulu? Yah, dua pulau dipeluk satu teluk, dua rindu dilebur satu laut!

Labuan Bajo yang Permai

Setelah tawar-menawar ongkos dari 150.000 menjadi 90.000 rupiah, kami menumpangi kantinting milik Lelaki Tua. Ia banyak memaparkan segala macam yang berkenaan dengan Bajo, Langgapulu, sampai gempa yang menggoyang itu. Katanya, ia adalah keturunan asli suku Bajo. Nenek moyang saya asli Bajo dan hidup lama di sini. Ia lalu menunjukkan kepada kami tiang-tiang kayu di permukaan laut yang masih menuding langit. Tiang-tiang kayu yang sudah rapuh dipukul ombak yang terpendam. Kami juga ditunjukkan karamba yang berdiam di atas laut untuk menjerat ikan.

Sebagaimana pada umumnya laut di Sulawesi Tenggara, laut yang memisahkan Langgapulu-Labuan Bajo sangat bening. Hutan bakau masih digdaya di pinggir laut. Kearifan lokal penduduk menjadikan laut dan bakau terhindar dari pencemaran dan pengrusakan. Saya langsung teringat Tanjung Perak Surabaya dan Tanjung Priok Jakarta yang air lautnya sangat kotor berwarna lumpur.

Di utara, Pulau Wawonii yang jauh diberkati kabut. Konon ia mengandung emas yang melimpah. Di selatan, Buton yang samar-samar, didoakan laut. Saya seperti berada di negeri yang lain. Sebuah wilayah daratan dan kepualaun yang masih terjaga kelestarian alamnya.

Tidak sampai satu jam, kami mendarat di Dernaga Labuan Bajo yang sunyi. Rumah-rumah sunyi, pohon kelapa yang melambai, dan burung-burung bernyanyi menyambut kami. Kami lalu menuju rumah rumah Pak Desa Labuan Bajo yang ternyata tidak ada karena harus ke Kendari melaporkan penggunaan Dana Blok Grant kepada pemerintah provinsi.

Atas saran ibu desa, kami menginap di rumah keluarga Pak Mansyur yang sangat ramah dan dikaruniai kebaikan hati. Suami-istri ini memperlakukan kami layaknya anggota keluarga sendiri. Sang suami adalah bersuku Wawonii dan sang istri adalah Buton asli. Anak-anaknya santun lagi rupawan. Mereka dibesarkan dalam tradisi Buton dan Wawonii.

Saya sempat terkagum-kagum dengan kebesaran Sang Pencipta. Betapa tidak, Buton Utara dan daratan Konawe Selatan hanya dipisahkan laut yang berjarak dekat. Hanya 35 menit menggunakan katinting dan mungkin hanya 15 menit jika berkendara super jet. Kekaguman dan ketakziman saya karena dengan jarak yang dekat itu, dapat membedakan secara tegas kultur dan fisiologis dua suku itu, Tolaki dan Buton. Tolaki yang berkulit putih, berambut hitam lurus, dan Buton yang berkulit coklat dan berambut ikal. Selain itu tentunya, membentangkan dua kebudayaan yang berbeda pula.

Saya memasuki rumah kepala desa yang sangat sederhana. Atap rumah dari daun rumbia, sebagian sudah bocor karena lapuk dimakan waktu. Menurut warga, kepala desa adalah orang biasa saja, tetapi karena kejujurannya sehingga ia didaulat oleh warga untuk menjadi pemimpin mereka. Beda dengan kepala desa di banyak tempat, baik di Sultra maupun di Indonesia umumnya, yang berasal dari golongan terpandang dan jadi tuan tanah. Kepala desa, setelah sehari kami di Labuan Bajo, ia datang membawa sekulum senyum khas. Ia baru saja melaporkan penggunaan Dana Blok Grant kepada Pemprov Sultra. Dana yang banyak mengundang perdebatan itu.

Saya dan juga Uni, teman sekantor, bergaul akrab dengan warga yang dihidupi laut, pohon, dan langit itu. Kami ngobrol di tengah gurauan mereka dalam bahasa Muna. Ada yang mencari ‘sesuatu’ di kepala, di pinggir jalan sambil menikmati bunyi angin yang menembus daun nyiur di pantai.

Kearifan Masyakarat Labuan Bajo, Kearifan Masyarakat Laut, dan Bintang Terang

Maka mulai sore itu, kami mulai berkerja mengumpulkan data dari beberapa informan yang direkomendasi oleh Pak Desa yang datang kemudian. Ihwal yang ingin kami raih sebanyak mungkin adalah kebiasaan yang dilakukan di sana dalam hubungannya dengan aktivitas melaut dalam arti yang luas. Kami segera menuju seorang tua yang berwibawa, berkumis, dan wajahnya menyiratkan pergumulan laut dalamwaktu panjang (namanya saya tidak sebutkan).

Jika engkau melihat segerombolan bintang di langit, maka laut di bawahnya, menyimpan ikan yang siap engkau panen. Itulah salah satu tanda yang dipercaya dan diwarisi masyarakat masyarakat Labuan Bajo yang ternyata mayoritas didiami suku Buton dan Muna. Akan tetapi, jika hanya ada satu bintang terang yang jatuh yang mengarah ke sebuah kampung, alamat musibah yang akan menimpa kampung itu. Jika itu yang terjadi, maka selayaknyalah warga kampung, baik yang jadi sasaran jatuhnya sang bintang, maupun lain yang menyaksikan, untuk memanjatkan doa-doa dalam suatu acara syukuran.

Keasikan meneliti di kampung seperti Labuan Bajo adalah karena bukan saja sang informan yang duduk menemani kami, tetapi juga anak, istri, bahkan cucu.

Teka-teki Angin, Teka-teki Nasib

Angin. Yah, angin. Angin adalah sahabat paling setia yang menyertai senantiasa warga Labuan Bajo. Angin adalah prajurit yang kadang lembut kadang pula garang. Itulah sebabnya, bagi pelaut Labuan Bajo, harus bisa bernegosiasi dengan angin. Salah seorang informan kami mengatakan bahwa seseorang harus bisa mengerti bahasa angin. Angin pun akan mengerti bahasa kita. Jika seorang sementara berlayar di atas laut dan tiba-tiba dari arah depan terdapat gerombolan angin yang siap memecahkan perahu, sebutlah satu nama, atau kata lain, namanya. Maka angin itu akan hancur seketika. Tapi sayang, walau kami membujuknya, sang informan tidak bersedia memberi tahu kepada kami, nama angin itu. Datanglah bulan Ramadan, semua ilmuku akan kubukakan buat kalian, katanya. Ilmu seperti ini tidak sembarang dibuka setiap saat. Saya dan Uni hanya bisa saling memandang sambil tersenyum.

Masyarakat Labuan Bajo sangat memahami keadaan alamnya yang menjadi salah satu sumber penghidupannya. Laut dan ladang adalah dua berkah alam yang sangat menentukan bagi pendapatannya. Memahami dan melestarikan alam menjadi suatu keniscayaan.Karena jika tidak, laut dan ladang dapat rusak yang berarti kerusakan sumber kehidupan warga Labuan Bajo.

Saya meninggalkan Labuan Bajo. Meninggalkan Langgapulu. Meninggalkan masyarakat yang tenang, tidak memiliki harapan yang muluk-muluk, dan masyarakat yang sering dilupakan. Yah, dua pulau dipeluk satu teluk, dua rindu dilebur satu laut!
***