Robin Al Kautsar
—Jurnal Jombangana
Mengkonsumsi dan memproduksi teks sastra pada hakekatnya urusan pribadi. Tetapi karena manusia adalah mahluk sosial maka tidak ada salahnya konsumen maupun podusen sastra berhimpun dalam sebuah komunitas, sepanjang dapat memperkaya individu-individu pendukungnya. Bukan saja di dalam komunitas kita dapat berbagi materi sastra yang dimiliki masing-masing, di sini kita juga dapat belajar menghormati pendapat orang lain, keyakinan orang lain, termasuk belajar berani tampil beda, berani berkonfrontasi dengan pemikiran orang lain. Bagaimanapun kita harus sadar medan sastra, baik sebagai konsumen maupun produsen, adalah medan kreativitas yang sifatnya tidak pernah massal, melainkan sangat pribadi dan bahkan bisa soliter. Komunitas sastra secara sekilas tampak beda jauh dengan komunitas punk rock, komunitas penggemar Iwan Fals. Yang sama biasanya hanya kisaran umur anggotanya.
Komunitas sastra pada umumnya informal, dan jarang yang berbentuk yayasan, LSM atau lembaga formal lainnya. Hal ini memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelemahannya organisasi semacam ini sulit memperoleh bantuan atau sponsor dari pemerintah atau perusahaan swasta, karena tidak memiliki susunan organisasi formal dan eksplisit. Tetapi kelebihannya, organisasi ini dapat langsung berbicara substansi tanpa direpotkan oleh aturan organisasi, hirarki, hak/kewajiban dan sebagainya, sehingga bisa lebih akrab, lebih “nyeniman”. Dan satu lagi cirinya, komunitas sastra jarang yang berumur panjang.
Sebuah komunitas muncul seringkali dilandasi oleh visi yang sama dalam memandang dinamika sastra serta misi yang sama untuk menyumbang khazanah sastra ke depan, baik untuk memperbaiki kekurangan maupun memperkaya yang sudah ada, dan bila mungkin untuk melakukan pemberontakan terhadap stagnasi. Oleh karena itu kreativitas adalah panglima yang akan mengarahkan perjalanan dan memperkuat daya tahan komunitas. Jadi komunitas yang baik bukan sekadar kumpulan orang yang segagasan, sekegelisahan dan sepengharapan tetapi lebih dari itu, kumpulan orang-orang kreatif yang berhasrat kuat untuk menyumbang sesuatu bagi bangsanya. Sebagai contoh, komunitas sastra yang menamakan diri Gelanggang Seniman Merdeka, dengan semangat untuk mendobrak kemapanan Pujangga Baru mereka berani menawarkan perubahan yang dimanifestasikan melalui “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Dan ternyata mereka berhasil mengusung gerakan yang bernama “Angkatan 45” di panggung sejarah sastra. Nama itu bukan sekadar label, melainkan telah menjadi identitas, kepribadian, wawasan sekaligus gerakan kultural.
Dalam sejarah sastra di berbagai belahan dunia peran sebuah komunitas sering kali menjadi pioner sekaligus sebagai agen perubahan. Bahkan tak sedikit yang pengaruhnya justru mengubah paradigma, pola berpikir, dan membuka berbagai kemungkinan yang lebih luas bagi kemajuan kebudayaan dan kemanusiaan secara umum. Dan sejarah juga mencatat bahwa eksperimentasi, pemberontakan pada tradisi dan gerakan pembaharuan yang monumental sebagian dipelopori oleh sastrawan yang tergabung dalam komunitas-komunitas. Dengan demikian terbukti komunitas telah memainkan peran penting sebagai kawah candradimuka. Proses belajar dan pematangan yang terjadi dapat lebih intensif dalam komunitas-komunitas, meski tentu saja karier kesastrawanannya sangat ditentukan oleh kreativitas sastrawan secara pribadi. Mereka sengaja bergabung atau membentuk komunitas dengan kesadaran membangun sebuah genre, aliran, atau berbagai aktivitas olah pikir untuk mematangkan jati diri sekaligus memantapkan peran kesastrawanannya. Untuk mencapai tujuan itulah, mereka lalu menerbitkan jurnal, majalah, atau buku-buku antologi karya anggota komunitas sendiri maupun komunitas lain.
Itulah peran penting sebuah komunitas! Tetapi sebuah komunitas yang buruk menjadikan anggotanya terkungkung, tumpul kreativitas, banyak lagak, sombong dan merasa besar sendiri atau mengidap megalomania. Akibatnya mereka haus pujian, kebakaran jenggot kalau dikritik, iri hati dan dengki terhadap kemajuan komunitas lain, bahkan prestise satu-satunya adalah menghalang-halangi dan menganggu komunitas lain. Di desa saya ada sebuah komunitas yang dikritik oleh komunitas lain, sampai lima kali lebaran berlalu, genderang permusuhan masih juga ditabuh. Kadangkala kita kalah dewasa kalau dibanding ilmuwan. Ilmuwan sudah biasa mengundang mazhab lain untuk bicara di seminar dan simposium mazhabnya sendiri.
Seandainya segenap komunitas sastra di Jombang atau bahkan di Indonesia membangun dan memperkuat jaringan antar komunitas, dan masing-masing bersinergi mengusung kreativitas yang berkualitas, Insya Allah akan lahir karya-karya baru yang monumental di hati bangsa.
*) Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].