Memahami Kebudayaan secara Baru

Judul Buku: Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan, Sebuah Cenderamata untuk Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus
Pengantar: I Made Suastika
Penyunting: I Gede Mudana
Tahun: 2003
Penerbit: Program S2 dan S3 Kajian Budaya Unud
Tebal: 166 + V
Peresensi: I Gede Panca
balipost.co.id

MEMBINCANGKAN (ke)budaya(an) sungguh gampang-gampang susah, juga susah-susah gampang. Kelihatannya sepele, tetapi sesungguhnya rumitnya bukan main. Kalau pun ia mewujud sebagai sesuatu yang sederhana dan di sana-sini tampak amat simpel, khususnya dalam kehidupan (masyarakat) Indonesia sehari-hari, itu boleh jadi lebih karena mereka memahami konsep kebudayaan sebagai sebuah konstruksi “business as usual” — tidak ada apa-apanya. Memandangnya terlalu esensialis, menganggapnya sebagai benda semata. Padahal, zaman sudah berubah.

Justru ketika zaman telah berubah seperti itu, pemahaman terhadap kebudayaan sudah seharusnya turut berubah. Paradigmanya tak layak lagi esensialis, positivis, dan apolitis yang menjauhkan masyarakat dari partisipasi aktif membangun kebudayaan dan nilai-nilai kehidupannya, yang ujung-ujungnya meminggirkan manusia itu sendiri dari kedaulatan, emansipasi, dan kemanusiaannya. Paradigma itu mutlak berubah kritis dan politis. Kebudayaan harus dipandang, di antaranya, sebagai hubungan antara praktik-praktik budaya manusia dan bentuk-bentuk kekuasaan yang mengitarinya.

Ingatlah, kebudayaan tidak hanya kesenian. Kalau kebudayaan cuma rentang produk estetika untuk wisatawan, betapa kebudayaan hanya sebatas tontonan, sebagai barang dagangan. Akibatnya, manusia tidak lebih dari sekadar objek-objek pasif. Untuk itu, budaya harus dilihat dari segi bagaimana konteks-konteks sosial dan politik keberadaannya. Ia mesti dipandang sebagai perlawanan terhadap struktur dominasi, baik dalam kehidupan anti-demokrasi maupun dalam tata ekonomi yang ultrakapitalistis. Karenanya, kebudayaan tidak diam atau terterima begitu saja (given) tetapi berubah dan berproses. Ia tidak terberi, melainkan diusahakan.

Pemahaman kebudayaan secara sempit dan tidak visioner mengandung marabahaya. Dengan begitu, hanya kebudayaan tinggi (high culture) yang disebut kultur. Sisanya, yakni budaya populer budaya massa, budaya rakyat, budaya rendah, budaya pinggiran, budaya kelas dua, atau apa pun namanya, bukanlah kebudayaan alias wajib disingkirkan. Di sana ada dualisme yang tidak adil. Ada arogansi yang mencelakakan. Akibatnya, gerakan ritmis pantat pedangdut Inul Daratista yang berpusing-pusing bagai bor sama sekali bukan kebudayaan. Padahal, seperti kata budayawan Emha Ainun Najib, (pantat) itulah “wajah” kita semua.

Dalam konstelasi keilmuan, khususnya “keilmubudayaan”, konstruksi yang berubah itu, tidak lain adalah cultural studies yang diindonesiakan menjadi kajian budaya. Bidang tersebut muncul pertama kali — sekitar 1960-an — di University of Birmingham, Inggris, melalui kelompok CCCS (Centre for Contemporary Cultural Studies)-nya “intelektual kelas pekerja” seperti Raymond Williams, Richard Hoggart, Stuart Hall, E.P. Thompson, dan lain-lain. Setelah menyebar di Prancis, AS, Kanada, dan Australia, sampai India, sekitar 1980-an, kajian budaya memasuki Indonesia lewat Bali (1996). Meskipun lahir di Barat, toh akhirnya ia menjadi senjata intelektual untuk melawan kemapanan ilmu-ilmu Barat modern yang cenderung kolonialis dan hegemonik di balik janji-janji pencerahannya.

Semua sisi ontologis, epistermologis, dan aksiologis kajian budaya di atas terepresentasi dalam sebuah buku baru (2003) terbitan Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana berjudul “Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan, Sebuah Cenderamata untuk Prof Dr I Gusti Ngurah Bagus”. Disunting oleh I Gede Mudana dan diantar secara rancak oleh I Made Suastika, buku penghormatan untuk budayawan kenamaan Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, yang menyasar para peminat kebudayaan dan penyuka ilmu-ilmu baru, ini ditulis oleh I Gede Mudana, Fadlillah, dan Nyoman Kutha Ratna.

Mudana menggambarkan sejarah perkembangan kajian budaya dan filsafat ilmu yang melandasinya. Fadlillah melukiskan legitimasi “paradigma budaya” kajian budaya (secara berani disebutnya “kajian budaya mazhab Bali”) yang menawarkan format bentuk, fungsi, dan makna, yang menjadi identitas kelompok pengkaji budaya di Kajian Budaya Universitas Udayana. Kutha Ratna mendeskripsikan jurus-jurus jitu berkaitan dengan cara mempraktikkan tiga pilar bentuk-fungsi-makna tersebut di berbagai lapangan kebudayaan.

Artikel-artikel dalam buku ini meneguhkan aspek-aspek posmodernis, poskolonialis, dan pos-strukturalis kajian budaya itu sendiri, yang mustahil ditemui dalam “ilmu (lama) kebudayaan” ciptaan Barat. Buktinya, buku ini dipenuhi oleh tawaran-tawaran dekonstruksi, non-linear, dan anti-kemapanan (ilmu) yang muncul sangat bersemangat. Tokoh-tokoh yang diacu pun demikian mentereng dalam blantika pengkaji budaya di dunia, sebut saja di antaranya antonio Gramsci, Michel Foucault, Jacques Derrida.

Secara kebetulan, seluruh penulis buku ini dikenal intelektual generasi baru yang suka “mengembara” secara keilmuan. Tidak mengherankan, satu-satunya kelemahan buku ini adalah, lewat tulisannya, “emosi intelektual” para penulis sering meletup-letup, terlalu bersemangat, sehingga mungkin saja mengejut-ngejutkan para pembaca yang tidak biasa dengan gagasan-gagasan baru yang aneh-aneh.

8 Juni 2003