I Nyoman Tingkat
http://www.balipost.co.id/
Rubrik “Apresiasi” Bali Post Minggu sarat dengan kearifan lokal budaya Bali, tak terkecuali dalam pemuatan cerpen-cerpennya. Dari cerpen yang terang-terangan mengusung budaya lokal melalui cerpen berbahasa Bali (baca cerpen “Tresna Sujati”-nya Edy Suardiyana Putra), sampai dengan cerpen yang secara sembunyi-sembunyi mencoba mengkritisi kearifan lokal Bali sehingga memaksa pengarangnya membuat catatan kaki di akhir cerita untuk menjelaskan istilah-istilah dalam bahasa Bali ke bahasa Indonesia.
BEGITU pula dengan cerpen Wayan Supartha bertajuk “Sang Bendesa” (Bali Post Minggu, 25/5). Seperti cerpen sebelumnya (baca cerpen “Dolar dalam Amplop Coklat”), Wayan Supartha kembali mengangkat keunggulan lokal dengan menenun nilai-nilai ajaran Hindu ke dalam cerpen. Hal itu semakin jelas terpatri dalam cerpen “Sang Bendesa”. Dari judulnya saja cerpen ini menunjukkan adanya inter-relasi budaya lokal Bali dengan kepemimpinan di Desa Adat. Dengan demikian, bagi pembaca yang berlatar belakang budaya Bali tentu tidak kesulitan mengkoreLasikan judul dengan keseharian masyarakatnya.
Jika merujuk pada pola kepemimpinan Desa Adat di Bali pada umumnya, kehadiran sang Bendesa sebagai tokoh utama dalam cerpen ini terasa pas ditautkan dengan masalah yang dialami Desa Sukasari tentang kehamilan Ni Made Sari akibat hubungan badan dengan Karma, kakak kandungnya sendiri. Sebagai pengayom, sang Bendesa pantas menjadi inisiator untuk mengusut masalah memalukan itu. Tanpa demikian, akan memuat desa adat tercemar, leteh. Yang lebih menarik lagi, fungsi pengayoman benar-benar dilakukan sang Bendesa (Jero Gami) terhadap keluarga Sari sehingga berhasil meredam kemarahan massa.
Tuntutan yang dijatuhkan warga desa kepada keluarga Sari berhasil diselesaikan secara diplomatis oleh sang Bendesa, Jero Gami. “Untuk menangani masalah ini, kita tidak boleh emosional. Kita tidak boleh main hakim sendiri. Kita sudah punya awig-awig dan kertha desa. Awig-awig harus ditegakkan demi tegaknya supremasi hukum”. Dari hasil diplomasi inilah cerpen mengalir menuju persidangan ala Desa Adat, yang tak kalah serunya dengan suasana di Pengadilan Negeri minus jaksa penuntut umum. Bertindak sebagai hakim adalah Jero Gami selaku bendesa didampingi oleh Pecalang dan Hansip sebagai petugas keamanan.
Sidang pun digelar terbuka diawali dengan interogasi hakim terhadap kedua terdakwa. Kedua terdakwa memberikan keterangan sejujurnya. Sari maupun Karma mengaku hanya pernah mimpi bertemu Sari, begitu pun sebaliknya Sari. “Saya pernah mimpi bertemu Karma,” jawab Sari dengan nada bergetar. Begitu pun ketika Jero Gami mengusut Karma. “Ia dan Sari tidur di kamar masing-masing dalam satu rumah. Ia memang pernah bermimpi memeluk seorang wanita yang wajahnya mirip Sari. Kejadian dalam mimpi itu begitu cepat bagaikan kilat. Begitu cepatnya sehingga ia tidak kuasa mengendalikan diri”.
Dari pengakuan terdakwa inilah lantas Jero Gami memohon seorang tokoh desa sebagai pembela. Berdasarkan pengakuan kedua terdakwa yang melakukan tindakan secara tak sadar dan diduga kuat adalah dorongan gaib yang ikut andil dalam peristiwa itu, maka tokoh desa (tanpa nama) mengusulkan kehadiran saksi ahli, seorang dukun. “Siapa tahu, dengan kekuatan batin dukun itu, kita bisa menemukan titik terang”.
Usul tokoh desa pun dikabulkan oleh Jero Gami, dengan menghadirkan Jero Balian ke persidangan Desa. Dari Jero Balian-lah tanda-tanda semua persoalan terkuak. Siapa sesungguhnya berada di balik permainan sandiwara dengan mengorbankan Sari dan Karma. Secara tak sadar, Jero Gami sebagai aktor intelektual di balik kehamilan Sari menjebloskan diri ke jurang kawah. Pasalnya, kehamilan Sari justru terungkap karena kebejatan Jero Gami.
Anehnya, sebagai bendesa, Jero Gami melakukan vonis tanpa mempertimbangkan saksi ahli. “…. Kandungan Sari harus digugurkan. Kalau ini tidak dilakukan, terdakwa beserta keluarganya dikeluarkan dari desa adat. Selain itu, keluarga terdakwa dibebani lagi memuat upacara mecaru Labuh Gentuh…”.
Keputusan demikian menggambarkan sikap seorang pemimpin (bendesa) tidak konsisten dan otoriter. Ketidakkonsistenan tampak dari “lain di mulut, lain di hati”. Gampang mengobral petatah-petitih, bersamaan dengan itu dilanggarnya juga. Sementara itu, sikap otoriter tampak dari keputusan Jero Gami tanpa mempertimbangkan saksi ahli, padahal sebelumnya minta pertimbangan. Hal ini telah memancing timbulnya kasus adat dalam polemik pro-kontra berkepanjangan yang mengantarkan cerpen ini menuju konflik batin berklimaks pada kegelisahan Jero Gami akibat vonisnya yang keliru.
Namun demikian, layaknya berbagai kasus yang terjadi belakangan ini, kasus Sari bersama keluarganya hilang begitu saja di mata masyarakat, walaupun tetap menjadi gejolak di dada Jero Gami seorang diri. “Peristiwa itu kemudian pelan-pelan dilupakan orang. Apalagi mencuatnya berita-berita hangat belakangan ini, baik di tingkat nasional maupun daerah”. Fenomena ini tidak lebih dari sebuah strategi mengalihkan perhatian masyarakat untuk melupakan masalah yang dihadapi tanpa penyelesaian. Cara-cara seperti itu merupakan langkah pembodohan yang berakibat pada dendam laten yang bisa saja meledak suatu waktu dengan memanfaatkan momen tertentu.
Pola Kepemimpinan
Begitulah di akhir cerpen ini, Jero Gami justru diinterogasi oleh kehadiran Prihadi, yang sesungguhnya adalah anaknya sendiri dari hasil hubungan gelapnya dengan Sari melalui cara yang tak manusiawi. Melalui penuturan Prihadi, kebejatan moral Jero Gami akhirnya terkuak. Pertama, memang orok dari hasil hubungan gelap dengan gadis desa tetangga yang kemudian dipungut oleh seorang ibu dan dikubur baik-baik. Kedua, menghamili Sari dengan menebar ilmu hitam.
“Tengah malam ia memasang ilmu sesirep buat Sari dan keluarganya. Ia juga menebar ajian khusus untuk Karma, kakak Sari agar bermimpi aneh. Lalu, dengan mengendap-endap seperti musang mengintai mangsa, Jero Gami memasuki kamar Sari. Dalam hitungan detik, Jero Gami berhasil menggerayangi Sari yang saat itu tak berdaya”.
Dengan penuturan Prihadi secara runut terhadap masa lalu Jero Gami, maka berakhir pulalah riwayat Jero Gami di tangan Prihadi. “Kemarin bapak sehat-sehat saja,” tutur ibunya. “Polisi juga tidak menemukan tanda-tanda penganiayaan atau pembunuhan. Berdasarkan pemeriksaan dokter, Jero Gami terkena serangan jantung”.
Mencermati cerpen ini dari awal sampai akhir, sama saja. Berawal dan berakhir dengan kesedihan dengan objek berbeda. Di awal cerpen, yang bersedih adalah Sari sekeluarga akibat kena raja pisuna, di akhir cerpen yang bersedih adalah keluarga Jero Gami yang memetik buah karma dari perbuatannya sendiri. Apa artinya ini dihubungkan dengan pola kepemimpinan?
Pertama, seorang pemimpin boleh saja mengelabui kebejatannya di muka masyarakat tetapi pada akhirnya terkuak juga. Ia akan memetik buah karma dari perbuatannya, baik atau buruk seperti dialami Jero Gami. Di sinilah hukum karma pala berlaku tanpa pandang bulu. Kedua, kesalahan seorang pemimpin tidak jarang membawa dendam pada generasi berikutnya. Melalui cerpen ini, pengarang tampaknya membuat miniatur masalah dari sebuah bangsa yang besar dalam setting desa terpencil. Ketiga, pola kepemimpinan yang mengandalkan cara-cara irasional dengan berkoalisi pada alam gaib tak jarang memakan korban. Tak ubahnya, senjata makan tuan.
Karena itu, cerpen ini pantas dijadikan cermin menuju ajeg Bali dalam tataran lokal, lebih-lebih belakangan ini Bali sibuk mencari figur gubernur agar tidak salah pilih. Dalam tataran nasional-global pun, cerpen ini bisa dijadikan suluh oleh para pemimpin dalam melaksanakan tugasnya.
Walaupun demikian, bukan berarti cerpen ini tidak memiliki kelemahan. Pengarang terjebak dengan lokalisasi Bali dengan menyisakan PR terhadap istilah Indonesia yang tidak ada padanannya dalam bahasa Bali. “Untuk pengacara, istilahnya dalam bahasa adat masih akan dicarikan. Demikian juga untuk istilah jaksa penuntut umum”. Ketergelinciran ini semestinya tidak terjadi kalau pengarang sadar bahwa cerpen ini dikomunikasi dengan medium bahasa Indonesia.
* 8 Juni 2003