Puisi-Puisi Menyambut Hari Buruh
nasional.kompas.com
Pekerja Migran Indonesia
Mega Vristian
akulah pekerja migran Indonesia
ya kamilah mereka
yang sekarang kau lecehkan
yang kau pandang dengan penghinaan
karena meleceh dan memicingkan mata
adalah kesanggupanmu terunggul para pejabat negeriku
dunia pun tahu
dan dikenal hanya jago berdalih
hanya pintar munafik
— budaya mutakhir globalisasi
ujud modernitas
kau bilang
saat kami tak lain dari budaknya
ketika negeri makin merosot kerja jadi fatamorgana
pengangguran di mana-mana silangsiur diantara kepapaan
membiarkan kami jadi korban pembunuhan dan jadi obyek seksual
para pejabat bungkam pandai mereka cuma berhitung
dari segi pembukuan devisa
tapi tak menjumlah duka nestapa kami
membiarkan siksa dan ajal menggoda mencemar harapan
Pikiran pejabat kami hanyalah unsur pantas diabaikan
karna pejabat makin rakus korupsi menghisap darah rakyat
Mari kita cermat berhitung menggantang keindonesiaan
patriotisme dan kemanusiaan
siapa yang khianat
siapa yang kkn
siapa yang merampok dan tidak
siapa yang minum darah dan tidak
siapa yang menjadikan bistik daging rakyatnya
siapa yang mengancam bangsa dan negeri
jabatan dan pangkat terlalu nisbi
apalagi uang bagiku hanyalah takaran semu
terlalu munafik bagi hakekat
akulah pekerja migran Indonesia
ya kamilah mereka
tak kukhianati Indonesia kampung-halaman
dengan caraku mencintai negeri
kendati tak pernah kau hitung
dan akupun memang tak bersandar pada hitunganmu
kau lecehkan aku
tapi aku bukan pengemis walau kau hinakan
aku bukan kuruptor negeriku walau kemiskinan membantai
tapi dengan keringat sendiri ingin membangun masa depan
kami terpaksa merantau dari pada menambah angka pengangguran
sebab para pejabat cuma sibuk memperkaya diri
tak serius memikirkan nasib rakyat miskin
akulah pekerja migran Indonesia ya kamilah mereka
kalian katakan budak kekinian disingkirkan negeri
tapi catat!
dan kuucatat sudah memang di lembaran siang dan malam
kitab harian bumi
siapa budak sesungguhnya
siapa indonesia yang sejati
di sini jabatan dan pangkat
tak lagi jadi takaran kemanusiaan!
aku masih indonesia kutunjukkan sudah bangsaku
dengan duka dan luka tercatat di parut dahi
dan kuterakan di lembaran waktu
Indonesia milik kami juga
Indonesia bukan monopoli para pejabat koruptor
maka kami yang pekerja migran Indonesia ini
bertekad bersatu bangkit melawan ketidak adilan
Hong Kong, Hung Hong, Mei 2010
Masih Terus Berjuang
Puspita Rose
masih..masih seperti semula
ranum angin berhembus mesra
batu karang tetap bertahan
mentari pagi belum bosan bersinar
bintang gemintangpun masih setia
air mengalir ketitik muara
daun-daun bertasbih mengagungkan nama-Nya
burung-burung terbang bebas keangkasa
pun bulan masih pamer keelokannya
sedang kami juga masih disini
menyemai harapan yang tiada pasti
entah mengapa sedikitpun tak beranjak pergi
padahal tahun telah berganti
masih..masih disini
dengan beribu harap yang ada dihati
menantimu mengurai janji
dalam tuntutan kami
jangan anggap kami tak bisa apa-apa
jangan anggap kami tak punya nyali
buruh kasar bergaji rendah
ingat dan camkan..buruh kasar
sekali maju maka tak gentar
bersatu demi keadilan
berjuang untuk kesejahteraan
mari terus berjuang kawan
demi hak dan kewajiban
Couseway bay,17 April 2010
Manusia Separuh Setan
Unieq Awien
Apa itu demokrasi
Apa itu hak azasi
Keadilan ?!
Ah . . .
Mereka bilang kami ini pahlawan devisa
Itu yang digembar gemborkan di koran koran
Kenyataan ?
Harga kami tak lebih dari hewan
Di penampungan, di terminal terminal
Di gedung pengesahan, bahkan di bandar bandar kehidupan
Kami diperas kami dimanfaatkan
Para pejabat dan menteri
Cuma sekilas mengenal tak mau memahami permasalahn kami
Abang preman ikut merampas hak kami
perut mereka menagih makan
Ya !
Penghisap darah buruh, rakus
Berubah menjadi manusia separuh setan
Tai Hang Drive, 23 maret 2010
Pengorbanan Tiada Henti
Sreismitha Wungkul
Kutarik nafas lega
Setelah ku lihat lebatnya buah pada pohon yang kutanam
Kulitku yang menghitam
Tanganku yang kapalan
Urat-urat yang menonjol dibetisku
Semua tak kurasakan kehadirannya.
Senyum bangga tersungging dari bibir keringku
Ketika kusadari
Tunai sudah tugas yang ku emban
Perjuangan panjang kulalui
walau kadang diiringi keluh kesah.
Tapi aku tetap berjalan.
merangkak
terseok
terperosok dengan sigap ku berdiri kembali diatas kaki kurusku
Walau orang-orang disekitarku menyebutku lilin yang mampu menerangi sekitar,
tapi pelan namun pasti badan meleleh habis terbakar
Aku rela… Aku ikhlas…
Demi ku lihat pohon dengan ranum buahnya.
(Hang Hau. 22 April 2010)
Aku Masih Perempuan
Maqhia Nisima
Saat lahir aku perempuan
hingga kini tetap perempuan
Besokpun aku juga masih perempuan
Bahkan ajal menjemput dengan tegas tetap perempuan
Tapi
Semangatku ganda
Perjuanganku bagai dua insan
Tugas adilku juga menduakan
Hingga…aku sadar…
Bahwa aku adalah seorang perempuan
masih butuhkan kasih sayang
masih rindukan sebuah perlindungan
Benarkah semua ini?
Tanya ku dan kujawab sendiri
Memang benar
semua benar
Bahwa aku wanita
Yang seharusnya mengaku
tetap wanita.
sekuat apapun diriku tetap perempuan
Lalu…
Apakah kita sejajar menikmati hidup
Ya..sejajar dengan laki-laki
bahwa wanita punya hak bahagia
Hong Kong, Mei 2010
Ratapan Srikandi Negeri
Tharie Rietha
Kami tinggalkan tanah lahir dengan getir
Menuju rantau yang berkilau seperti mata pisau
Butir-butir harap kami semai
Di tanah indah penuh duri
Namun tangan-tangan rakusmu mulai menjarah
Menjamah kecambah-kecambah asa yang masih belia
kau gugurkan harapan
Membuat kami hidup dalam kelaparan
Lapar akan keadailan,yg kau jelmakan dengan nama peraturan
harga jual kau hitung setiap nyawa
Itukah peraturanmu? keadilannu?
Yg telah mencekik leher-leher srikandi berbudi
Kau agung-agung jasa kami menopang ekonomi negeri
Bahkan kau gelari kami setara pahlawan
Dusta!
Bagimu kami hanya sapi perah
Yang kau rodikan hingga airmata ini berdarah
Ingatlahhari ini kau boleh tertawa gagah
Tapi kami para srikandi negeri
takkan pernah menyerah kalah walau harus meregang nyawa
Sheung Shui, 17 April 2010
Kepada Bapak Penguasa
Etik Widya
Bapak-bapak berdasi
Dengarlah keluh kesah kami
Bapak-bapak bergaji tinggi
Rasakanlah kegetiran batin kami
Bapak-bapak penguasa bangsa
Lihatlah, kami masih menderita
Ah
Sudahlah
Beribu kali mengiba
Berjuta kali meminta
Kau masih diam saja
Kau bangga Ketika rakyatmu berbondong-bondong menjual jasa
Kau kian sibuk
Menghitung banyaknya kucuran devisa
Kau palingkan muka
Ketika kami mengadu tanpa lampiran bukti
Kau pura-pura peduli
Ketika segala penyiksaan terkuak ke permukaan
Kau pura-pura berduka
Ketika kawan kami pulang tanpa nyawa
Bapak-bapak penguasa negeri
Masih banyak lagi
Derita yang menyita kebahagiaan kami
Kami tak butuh gelar pahlawan
Kami hanya butuh perlindungan.
Aberdeen, 24 april 2010
Ronce Bunga Putih
El Sahra Mahendra
Teronce bunga putih
Tergantung di sisi rumah kabung
Ketika gadis kecil itu masih belum tau arti kepergiannya
Namun ketika pulang dia tau emaknya tak mampu lagi tersenyum
Gadis kecil dengan gaun kuning menata lurus
Disitu emaknya tertidur
Pulas memeluk mimpi mimpi indah
Dalam sangka dia bertanya ” Seperti inikah cita-cita emak ?”
Tetes air surga dari matanya yang bening
Jatuh mengaliri lekuk wajah polosnya
” Dari negeri seberang sana emak telah bisu .”
Emaknya adalah saksi sejarah yang tak ingin bicara
Ronce bunga putih telah layu
tergeletak di nisan tanpa tanda kebesaran
sebagai penanda pahlawan devisa
Tsuen-Wan 25, April 2O1O
Jeritan Buruh Migran
Muntamah Cendani
Kawan
Mari kita berjuang
Bersatu merapatkan barisan
Satukan hati dalam tekad
Bersama kita songsong perbaikan
Untuk merengkuh hak-hak kita
Yang terenggut dan terkebiri
Sebersit tanya menguak rasa
Dimana mereka yang selalu berkata kepentingan rakyat ?
Dimana mereka yang berkata menyejahterakan rakyat ?
Mengapa mereka menutup mata?
Mengapa mereka berlalu tanpa kata ?
Mengapa mereka diam mendengar jerit kami ?
Mendengar ratap kami yang terhina di luar negeri ?
Tetes peluh membasah ditingkah amarah
Jeritan membara dari yang tertindas
Gejolak berkobar berkelindan geram
Kami bukan dagangan !
Kami bukan komoditi !
Kami bukan obyek eksploitasi !
Kami manusia yang punya harga diri
Mengapa tak satupun berpihak terhadap kami ?
Yuen Long 18-4-2010
Aku Seorang Pekerja!
Elly Trisnawati
aku tak punya ketrampilan, katamu
aku tak pantas disebut pekerja, katamu
aku tak pantas dilindungi, katamu
aku kau perlakukan sebagai budakmu
lalu, siapa yang selama ini mengurus anakmu?
siapa yang selama ini mengurus kakek-nenekmu yang telah renta itu?
siapa yang selama ini menjadi koki di rumahmu dengan menu kegemaranmu?
siapa yang selama ini menjadi cleaning service pribadimu?
siapa pula yang selama ini menjadi akuntan belanja harian pribadimu?
tak cukupkah itu disebut sebagai pekerjaan?
sedang kau sendiri tak bisa melakukannya
tak cukupkah itu disebut sebagai ketrampilan?
sedang kau sendiri tak mungkin mampu melakukannya
aku tak pernah menginginkan sebuah pujian
cukuplah sebuah pengakuan
aku seorang pekerja!
cukuplah sebuah pengertian
aku bukan budakmu!
cukuplah sepatah kata
kita manusia tanpa beda!
Hong Kong, Sai Ying Pun
Biografi Para Penulis: Mega Vristian, Puspita Rose, Sreismitha Wungkul, Maqhia Nisima, Tharie Rietha, Etik Widya, El Sahra Mahendra, Muntamah Cendani, Elly Trisnawati, Unieq Awien: Adalah pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Di antara kesibukan kerja selalu menyempatkan menulis sebagai usaha menghidupkan kecintaan kepada sastra Indonesia.
Silakan kirim tulisan/karya anda ke jodhi@kompas.com .Redaksi tidak menyediakan honorarium untuk karya yang dimuat. Harap maklum.
http://nasional.kompas.com/read/2010/05/01/03562038/