Nelson Alwi
http://www.suarakarya-online.com/
DIKIA bermakna sama dan berasal dari kata dikir atau zikir, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat, 2008) berarti: (1) puji-pujian kepada Allah yang diucapkan berulang-ulang, (2) doa atau puji-pujian berlagu (dilakukan pada perayaan Maulid Nabi), (3) perbuatan mengucapkan zikir.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari sejumlah ulama di Nagari Koto Gadang, Maninjau (Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat) “perbuatan mengucapkan zikir” atau berzikir itu dalam dialek setempat lazim disebut badikia.
Anjuran untuk bersalawat atau kepada Nabi Muhammad antara lain termaktub dalam kitab suci Al-Quran (al-Ahzab: 56). Sedangkan faedahnya terjelas melalui hadis: “siapa yang menyalawati Nabi Muhammad satu kali maka Tuhan akan menyalawatinya sebanyak 10 kali.”
Dengan kata lain, badikia, dalam hal ini melaksanakan Dikia Salawat merupakan satu pemahaman dan ajaran Islam, berupa permintaan kepada Allah SWT agar senantiasa merahmati dan memuliakan Nabi Muhammad.
Asal-muasal melagukan Dikia Salawat konon diawali oleh Siti Aqasah, bibi Nabi, yang sering kali menyenandungkan keberuntungan Siti Aminah yang melahirkan seorang bayi bernama Muhammad. Seiring dengan itu Abdul Muthalib, kakek Nabi, di setiap kesempatan tidak lupa pula meninabobokan cucunya dengan segala macam sanjungan dan harapan. Seterusnya, melagukan doa atau pujian atas Muhammad pun selalu diulangi para sahabat, pada upacara memperingati Maulid Nabi, 12 Rabiulawal.
Kini Dikia Salawat tidak lagi sekadar digelar pada (malam menjelang) hari kelahiran Nabi saja. Pada gilirannya upacara badikia atau pelaksanaan Dikia Salawat terkadang juga disejalankan dengan upacara-upacara keagamaan lainnya seperti perayaan Tahun Baru Hijriah dan Isra Mikraj (27 Rajab).
Menurut kebiasaan, upacara Dikia Salawat diselenggarakan sesudah isya. Sambil duduk melingkar di surau ataupun di masjid, para pendikia melakukan pembakaran kemenyan serta sedikit basa-basi tentang siapa yang hendak dijadikan imam yang akan memimpin dikia.
Setelah itu, secara bersama dibacalah assalamualaika zainal ambiyai (35 kali), asslamualaika attaqab attaqiyai (35 kali) dan salallahualaihiwassalam (3 kali). Dalam irama yang khas, dengan vokal melengking(-lengking) meninggi dan saat turun sampai seolah-olah menggumam, berbarengan dan ada kalanya sambung-menyambung, sahut-menyahuti, mengumandanglah alfashalu alannabi qatimil rasulih qiyamu (seribu salawat buat Nabi Besar Muhammad SAW).
Seterusnya para pendikia pun masuk ke pembacaan rawi atau riwayat hidup Nabi Muhammad yang dipetik dari berbagai sumber sahih, termasuk dari ayat-ayat suci Al-Quran. Di antaranya terdapat inna fatahna laka fatahammubina; alhamdulillahiladzi syarafal anama; wazikruha ala mumma ril ayani wa syukurahu wayutula; dan seterusnya. Disambung dengan kaulu taala inna arsalnaka… bersama sejumlah perinciannya; Rukhuiya amin nabi salallahualaihiwassalam kala kuntu nura baina ya dalillahi dst.
Tegak berdiri para pendikia serta merta melagukan ya nabi salamualaika/ ya rasul salammualaika/ ya habibi salamualaika/ salawatullahi mualaika…. Sungguh menarik. Ekspresi serta mimik para pendikia tampak cerah ceria dan bersuka cita. Melodi maupun cara melantunkan larik-lariknya juga berbeda dari penampilan terdahulu, seakan-akan sedang mengadakan koor dengan beberapa suara yang secara bergantian mengapung, mencuat mendominasi pendengaran. Masih dalam langgam dan suasana demikian, muncul sejumlah “salasilah” seperti ya nabi salamualaika/ ya rasul salamualaika/ ya abubakar siddiq/ fatimah binti rasuli…, yang disudahi dengan sailillah dimadina mahmud/ sailillah baitul muala/ sailillah baitul mukaddas dan salallahualaihiwassalam.
Berdasarkan komando sang imam, para pendikia kembali duduk untuk (ber)istirahat. Namun berselang beberapa lama kemudian sang imam pun memberi aba-aba, dan mulailah mereka memperdengarkan fasal-fasal, yang antara lain adalah asraqalbadru alaina/ fattafat mingkul buduri; alal qurban; sailillah ya syekh ahmadul qadir jailani alal ibadi mahyudin fiqalbibahim maulana; dll.
Akhirnya upacara baDikia Salawat itu pun ditutup dengan doa allahumma inna kadhadamna iraatan… wassalim ala muhammadin salallahualaihiwassalam muhammadarrasulullah. Setelah itu dilangsungkanlah acara makan bersama: tua-muda, besar-kecil, lelaki-perempuan. Jamuan ditangani sekelompok orang (panitia). Menunya tergantung keadaan. Alakadarnya pun jadi.
Prosesi upacara badikia atau penyelenggaraan Dikia Salawat menyita waktu lama, sejak usai isya berjamaah terkadang sampai pukul 10.00 keesokan harinya. Adapun Dikia Kulimah, menurut keterangan yang diperoleh dari sejumlah ulama di Nagari Koto Gadang, Maninjau, akan dilakukan semampu yang bersangkutan dan dilaksanakan kapan saja. Dikia Kulimah toh merupakan “pendekatan” Sang Pencipta bagi seorang hambaNya.***
* Nelson Alwi Budayawan, tinggal di Padang. Sabtu, 9 Juli 2011