Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia
http://www.mediaindonesia.com/
TAN Malaka adalah paradoks bagi Republik Indonesia. Ia dinafikan sekaligus—diam-diam dihormati dan disegani. Sosok besar kelahiran Pandan Gadang, Sumatera Barat, 1896 itu yang bersuara lantang menghendaki kemerdekaan Indonesia 100 persen dari cengkraman kolonialisme Belanda, juga penindasan Jepang.
Ironisnya, hidup Tan Malaka berakhir karena peluru yang dilesatkan oleh Letnan Satu Soekotjo pada 21 Februari 1949, di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Ia mati di tangan Republik!
Uniknya, melalui drama tragis yang demikian memukul, pada tahun 1963, Presiden Indonesia Soekarno menganugerahkan gelar pahlawan bagi Tan Malaka, seorang lelaki bernyali menara meski bertubuh pendek—Harry Poeze menemukan data bahwa tinggi Tan Malaka sekitar 165 sentimeter.
“Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Bung Karno menganugerahkan gelar Pahlawan kepada Tan Malaka. Padahal, kalau mengikuti ukuran militer, Tan Malaka mati karena eksekusi, berarti ia adalah pengkhianat,” terang politisi Roy BB Janis dalam acara peluncuran buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia-Jilid 3: Maret 1947 – Agustus 1948 di Jakarta, Kamis(2/11).
Dari sudut pandang lain—melalui kerja dan karya yang dilakukan demi berdirinya Republik Indonesia—Harry Poeze, penulis buku tersebut, meyakini bahwa pemberian gelar pahlawan bagi Tan Malaka sudah tepat. Harry bercerita bahwa perkenalan ia dengan Tan Malaka dimulai sejak bangku kuliah. Semangat antikolonialisme memicu dirinya untuk meneliti sejarah Indonesia. “Menurut saya, sejarah Indonesia menarik karena ada campur tangan Belanda di dalamnya,” ungkap Harry dalam acara peluncuran buku di Press Room DPR-RI itu.
Harry yang telah meneliti Tan selama 40 tahun itu menerangkan, buku jilid ketiga khusus berbicara mengenai Tan Malaka pada periode Maret 1947 hingga Agustus 1948. Periode itu merupakan periode Tan Malaka kembali menerima perlakuan tidak adil dari Republik. Ia ditahan untuk kemudian dipenjara tanpa proses pengadilan. Pada Agustus 1948, barulah Tan Malaka mendapatkan kebebasan.
Peristiwa penahanan sekaligus pemenjaraan Tan Malaka ini dibaca dalam konteks konflik politik yang mewarnai sejarah perjalanan negara yang masih muda, Indonesia. Harry menyimpulkan bahwa penahanan Tan Malaka berkaitan dengan pilihan politik konfrontasi yang menjadi keyakinan Tan Malaka. Bagi Tan Malaka, perundingan Indonesia dengan Belanda adalah representasi dari politik kompromistis, digawangi oleh kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, serta Amir Sjarifuddin. Tan—bersama Soedirman—memilih praktek politik yang berbeda: konfrontasi. “Tan Malaka ditahan karena melawan politik diplomasi Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin,” simpul Harry.
Atas fakta sejarah demikian, Roy mencoba merefleksikan bahwa pilihan kompromistis merupakan jalan untuk tetap menyelamatkan Republik. “Jangan-jangan, kalau para pendiri bangsa kita memilih politik konfrontasi, Republik, atau malah-malah, para pendiri bangsa kita sudah tidak ada, termasuk Tan Malaka,” duga Roy.
Dari titik inilah Roy menyimpulkan bahwa secara praktis, pilihan politik diplomatis bermanfaat menyelamatkan Republik yang masih muda. Tetapi, keberhasilan politik diplomatis tidak serta merta menihilkan peran Tan Malaka dalam mendirikan Republik.
“Tan Malaka memiliki kekuatan ideologi yang sangat dahsyat. Merdeka 100 persen. Inilah kelebihan Tan Malaka, dan jangan-jangan founding fathers kita pun sedikit banyak belajar dari beliau,” ungkap Roy.
Pada titik akhir, Roy mengakui kebesaran Tan Malaka. Meski begitu, ia berpendapat bahwa orang menjadi besar tidak hanya ditentukan oleh kapabilitas intelektual dan pengorganisasian, melainkan oleh kehendak zaman.
“Tan Malaka adalah orang yang melampaui zamannya. Ia tidak besar, tetapi ia setia mengawal Republik hingga merdeka,” jelas Roy.
Harry mengamini pendapat itu. Dalam semangat yang sama, namun pengucapan berbeda, Harry berkata dengan takzim, “Peranan Tan Malaka besar, tetapi ia selalu dikalahkan, ia selalu hilang. Dan saya menulis sejarah hidup dari politik orang yang kalah.” (Dvd/M-4)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/jendelabuku/2010/11/05/tan-malaka-sejarah-politik-orang-yang-kalah/