Ikhaui

Muhammad Harya Ramdhoni
http://www.seputar-indonesia.com/

Sekawanan anjing membaung. Suaranya menerobos pekatnya malam. Baungnya menantang langit pekat kelam. Tiada bintang sebuah pun di atas sana. Rembulan jua seolah enggan pancarkan sinarnya. Digantikan semarak cahaya ribuan lampu damar menerangi suasana.

Malam ini malam keramat. Malam di mana para dewa menuntut haknya selaku pelindung negeri pegunungan Sekala Bghaii. Malam ini malam ketujuh di bulan Waisak. Malam di mana pemujaan terhadap para dewa penguasa kahyangan dan arwah leluhur penghuni puncak gunung Pesagiiii dikumandangkan dengan khidmat di seluruh Tanah Bumi Sekala Bgha.

Tetapi ada yang lain dari pemujaan pada malam ini.Umpu Tumiiv telah bertitah. Perihal pengurbanan sepasang perjaka dan perawan terbaik pada sebuah batu keramat berjuluk Ikhau yang terletak di sebelah selatan Ibu Negeri Kenaliv. Batu itu telah menanti persembahan pertama untuknya dengan rona keji nan menakutkan.

Begitu sunyi dan hening sang Ikhau bersemadi dalam penantiannya. Pancarkan pesona bengis dan haus darah. ”Inilah ritual penyucian kita dan puncak puji syukur kehadapan para dewa dan arwah para puyang penghuni puncak Pesagi yang suci.Pengingkaran terhadap tuntutan mereka akan mengundang kutukan tiada ampun bagi kita dan Tanah Bumi Sekala Bgha!” Tak seorang pun berani menentang titah sang raja.

”Kita tak ingin kehilangan leher, bukan?” tukas salah seorang perwira balatentara Sekala Bgha kepada rekannya. ”Mimpiku berpesan,carilah sepasang perjaka paling tampan dan perawan paling cantik dengan leher jenjang berkulit putih bersih. Begitu putihnya kulit mereka hingga nampaklah oleh kalian isi kerongkongannya.

Bahkan,setiap makanan dan minum yang berlalu di kerongkongan mereka akan terlihat dengan jelasnya! Merekalah korban yang dipinta dewata!” titah sang raja. Menyebarlah para prajurit Sekala Bgha ke seluruh penjuru negeri mencari sepasang perjaka dan perawan sesuai titah mimpi sang raja.

Mimpi yang tak jelas ujung pangkalnya. Setelah melalui lusinan siang dan malam tanpa kepastian akhirnya mereka jumpai sepasang perjaka dan perawan sesuai keinginan sang raja. Di pekonvi Serungkuk perjaka dan perawan paling cemerlang berada.Pada mulanya hati dan pikiran para prajurit tergetar saksikan buruan mereka.

”Manusia-manusia setampan dan sejelita inikah yang hendak dimusnahkan di atas Ikhau?” tanya para prajurit pada diri masing-masing. ”Lihatlah leher berjenjang keduanya! Bahkan isi kerongkongan mereka begitu jelas terlihat!” ucap prajurit Sekala bertubuh raksasa dengan suara tertahan.

”Darah yang mengalir deras menyusuri setiap urat dan otot menuju jantung. Jakun si perjaka yang turun-naik bagai irama nafas yang teratur perlahan. Semua nampak jelas bagai tak berkulit. Dewa, makhluk apakah mereka ini?”pekik perwira balatentara Sekala Bgha yang memimpin satuan tugas pengambilan paksa itu.

Namun perintah agung tunaikan titah sang raja tak kenal welas asih. Sepasang perjaka dan perawan terindah itu pun akhirnya dibawa paksa oleh prajurit Umpu Tumi.Dua keluarga diserbu duka cita kehilangan bujang dan gadis kebanggaan mereka. Keduanya dirampas paksa dari dekapan kekasih dan rekan sepermainan mereka masing-masing. Hanya haru yang tertinggal. Air mata pun tandas tak bersisa. ***

”Seperti yang kuduga. Seperti mana mimpiku berujar. Kalian berdua lebih tampan dan lebih cantik dibanding dugaanku semula. Wahai putra-putri keramat, kalian telah dipinta oleh para dewa dan leluhur yang suci mulia sebagai peluruh dosa-dosa penghuni negeri Sekala! Wahai perjaka tertampan dan perawan terindah, terimalah semua ini sebagai wujud kasih sayang para dewa dan nenek moyang kepada kalian!”

Tiada gemuruh kebanggaan yang mengguncang hati mereka berdua kala mendengar ucapan sang raja. Melainkan duka cita teramat dalam yang datang menyesaki hati dan pikiran keduanya. ”Manjakanlah mereka sebelum hari pengorbanan tiba!” seru Umpu Tumi kepada para abdinya.

Lalu selama sebulan penuh, perjaka tertampan dan perawan terindah itu hidup bagai raja dan permaisuri.Mereka dilayani dengan segala kemewahan oleh para hamba sahaya. Pakaian-pakaian terbaik dikenakan pada tubuh keduanya. Segala macam makanan paling sedap terhidang untuk mereka.

Begitu pula wewangian dibalurkan pada tubuh mereka.Setiap pagi dan petang para hamba memandikan mereka dengan air bunga belasan rupa.Tetapi apakah arti segala kemewahan ini jika hanya sekadar untuk memancing ajal? ***

”Adakah semua ini mimpi, Penayang?” lelaki tampan bertanya resah pada perawan jelita yang duduk di sampingnya. ”Lebih tepat disebut sebagai takdir dewata tak terelakkan bagi kita,wahai Gundang.” ”Kita diambil paksa dari pelukan hangat ayah dan ibu di pekon. Dibentur dan dipaksakan dengan kenyataan yang tak kita kehendaki.

Semua ini konon adalah penyucian diri bagi seisi wangsa Sekala Bgha, demi tanda bakti junjungan kita kepada para dewa dan arwah para puyang…Apakah ini adil bagi kita?” ”Keadilan bagi kita katamu? Sepertinya hal itu tak pernah singgah dalam hidupmu dan hidupku.Kita hanya rakyat jelata, Gundang, bagian terendah dari berlapis kasta di negeri ini.” ”Begitu gagah dirimu menanti ajal.

Atau justru itu wujud keputusasaanmu?” ”Keduanya telah bersekutu dalam diriku, Gundang! Apa gunanya lari dari kenyataan ini? Melarikan diri dari pengurbanan ini sama saja dengan mencari mati. Balatentara kerajaan akan mengejar kita sampai dapat. Kita memerlukan sekadar keberanian demi menantang ajal, walau semua itu adalah semu belaka.

Sekadar menutupi rasa takut dan putus asa yang tengah menjajah jiwa dan pikiran kita berdua.” ”Aku tak sepesimis dirimu, Penayang. Masih ada peluang bagi kita melarikan diri. Upacara pengurbanan masih dua malam lagi. Akan kucari cara melarikan diri dengan cepat dan jitu.Takkan kubiarkan diri kita dicacah demi santapan junjungan kita yang haus darah!”

Kata-kata Gundang begitu ketus. Luahkan kebencian pada penguasa Sekala Bgha yang lalim.Penayang menganggukangguk dengan pancaran mata berbinar demi kuatkan hati lelaki muda yang senasib dengannya itu,namun hati kecilnya kukuh berkata tidak… Hingga tiba hari pengorbanan saat tubuh belia keduanya, mesti dimatikan demi hasrat penyucian diri penguasa dan kuasanya.

Diikuti ritual nan kejam lagi mungkar, menjadikan setiap potong daging dan otot perjaka tertampan dan perawan terindah sebagai jamuan makan malam sang raja beserta seluruh rakyatnya. ”Semoga dengan memasak dan memakan tubuh mereka akan kita wariskan segala kebaikan dan kecemerlangan mereka berdua”, titah Umpu Tumi di hadapan seluruh rakyatnya.

Namun rencana tak selalu berakhir dengan cantik. Sepasukan pengawal pribadi Umpu Tumi sendiri yang justru menggagalkannya. Upacara pemujaan dan pengurbanan di malam ketujuh bulan Waisaka pun buyar dan hancur berantakan. Umpu Tumi murka! ***

”Pergilah kalian ke arah matahari terbit. Kelak akan kalian temui jalan setapak menuju peradaban lain.Negeri ini telah lenyap adabnya!” Gundang dan Penayang tak jua beranjak. Seakan-akan keduanya belum dapat menerima keajaiban yang datang tibatiba. Satu tabuh canangvii lalu mereka masih terpekur menunggu maut.

Kini secara mengejutkan kuasa dewa telah menyelamatkan keduanya dari ancaman penyembelihan. ”Cepat pergi! Tak ada gunanya menimbang dan berpikir. Telah kugadaikan hidupku dan pasukanku bagi menyelamatkan kalian. Bila kalian tertangkap lalu apa gunanya semua ini?”

Perjaka dan perawan paling cemerlang kekal mematung. ”Lari! Tanah bumi ini tak layak didiami orang-orang seperti kalian berdua.Wahai perjaka titisan dewata,wahai perawan titisan bidadari penghuni nirwana. Dewata yang agung bersama kalian. Pergilah, anak-anakku!”

”Adakah kecantikan dan ketampanan menjadi kutukan bagi kami berdua, Pamanda?” sergah suara parau Gundang diiringi isak tangis. ”Segala yang kalian miliki adalah anugerah dewata,Anakanakku. Para penguasa biadab yang menganggap kecemerlangan wajah dan tubuh kalian berdua sebagai kutukan tiada ampun.

Semoga para dewa mengutukdanmenjerumuskan mereka dalam api nagabanda!” Penayang diam membisu. Di kejauhan terdengar sorak-sorai balatentara Sekala Bgha menghampiri mereka. Samar-samar cahaya lampu damar yang dibawa para prajurit mulai terlihat di kejauhan. Tangis Gundang semakin menghebat. Sementara Penayang tak juga bergeming.

Telah bulat dalam hatinya menerima takdir ini dengan kegagahan dan angkuh hati. ”Lari! Dasar lelaki pengecut! Tangismu takkan membuat hati mereka luluh dan membatalkan pengurbanan ini.” Sorak-sorai para prajurit semakin dekat. Suara mereka semakin jelas. ”Dan kau Penayang, mengapa masih berdiri termangu seperti itu? Lari!” ”Sikinduaviii telah mantapkan hati menerima takdir ini.

Sikindua rela dikurbankan demi penyucian seisi Tanah Bumi Sekala Bgha,Pamanda.” ”Tolol! Lalu untuk apa kukerahkan prajuritku untuk membebaskan kalian?” ”Gundang-lah yang berniat lari dari ancaman pengurbanan ini,Pamanda,bukan sikindua.” Lelaki yang dipanggil paman tak tahu lagi harus berkata apa sementara sorak-sorai para prajurit semakin dekat dan tak lama kemudian mengepung mereka dari berbagai penjuru.

Kini tak ada celah sedikit pun untuk melarikan diri. ”Menyerahlah Raduba! Kau bukan saja telah khianati Pun Beliau Pangeranix Umpu Tumi,tetapi juga mendurhakai para dewa dan arwah para puyang!” hardik pimpinan kesatuan prajurit yang mengejar mereka dari Kenali,”Serahkan pula sepasang kurban bulan Waisaka itu!”

”Takdir dewata mengharuskan kita saling berbunuhan di sini, Cunguh Balak!”, pekik Raduba sambil menelanjangi keris dari sarungnya.Perbuatannya diikuti selusin prajuritnya. ”Kau sepantasnya mati, Raduba!” Pertempuran pun pecah. Pertempuran tak seimbang antara selusin prajurit pimpinan Raduba melawan seratus prajurit pimpinan Cunguh Balak. Babak perang tanding yang tak lama memakan massa.

Kurang dari setengah tabuh canang kemudian Raduba dan seluruh prajuritnya tewas tak bersisa. ”Bawa kembali mereka ke Ikhau.Persembahan keduanya kehadapan dewata adalah keniscayaan takdir!” Keajaiban telah menepi. Digantikan seringai sang maut yang muncul kembali secara tiba-tiba.Sempadan hidup dan mati berganti rupa selekas itu. Sepasang Gundang dan Penayang dihinggapi ngeri jeri tak terperi.

Lebih menakutkan dari mati itu sendiri. ”Kita sedang dipermainkan oleh sang ajal” Penayang berucap lirih di telinga Gundang yang tak henti menangis memohon iba. Para prajurit tak beriba hati.Belas kasihan telah dikubur dalam-dalam. Demi penawar amarah para dewa dan leluhur penguasa puncak Pesagi.

Kemudian samar-samar terdengar suara menakutkan dari arah batu Ikhau berada. Suara tenggorokan digorok dan dipisahkan dari batangnya. Susul menyusul bagai nyanyian keji wangsa biadab. Dua bongkah kepala jatuh menggelinding tanpa pekik. Hanya seringai menakutkan terlihat jelas pada wajah keduanya.

Dua kematian yang penasaran.Darah hitam pekat pula menyembur dari tubuhtubuh tak berkepala. Jatuh lunglai tanpa gelepar dan sekarat lagi. Umpu Tumi saksikan pembantaian pertama itu dengan ketenangan luar biasa.Tanpa bergidik dan rasa takut. Rona wajahnya terlihat menakutkan dipendari cahaya lampu damar yang berkejap-kejap. Bagai paras iblis itu sendiri.

Kedua matanya tak berkedip saksikan setiap penggal fragmen pembantaian itu. Hingga tubuh-tubuh muda perjaka dan perawan paling cemerlang di seluruh negeri Sekala dikuliti, dibumbui dan dimasak sedemikian rupa dalam kuali tanah liat belaka. Kuali yang biasa mereka gunakan untuk merebus daging kerbau dan babi hutan.

Umpu Tumi menanti semua itu dengan sabar disertai air liur yang tak henti menetes dari mulutnya. Malam gelap dan pekat. Burung hantu bersuara malumalu. Sekawanan anjing hutan membaungi langit.Menggugat bulan dan bintang yang tiada wujudnya.

Di malam keramat kala para dewa menuntut hak kedewaannya, bisik-bisik tak puas hati rakyat Sekala Bgha mulai menjalar dan meruyak. Adakah raja mereka telah kehilangan adabnya selaku manusia waras?

Hentian Kajang- UKM,18 Agustus 2011

MUHAMMAD HARYA RAMDHONI lahir di Surakarta, 15 Juli 1981, merupakan kandidat PhD Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia dan pengajar FISIP Universitas Lampung. Ia menulis sajak, cerpen, dan novel. Sajak dan cerpennya dimuat di Lampung Post, Haluan Kepri dan Suara Merdeka. Novel pertamanya Perempuan Penunggang Harimau.