Kembali ke Cerpen Pendek, Bersahaja, dan Jenaka

Judul: Membunuh Orang Gila
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Buku Kompas, 2003
Tebal: 104 hlm.
Peresensi: Darma Putra
balipost.co.id

KUMPULAN cerita pendek (cerpen) “Membunuh Orang Gila” karya Sapardi Djoko Damono ini berisi 18 karya, ciptaan tahun 2002 dan 2003, jadi tergolong karya “baru gres”. Sebagian besar cerpen ini sudah pernah dipublikasikan di koran, seperti Kompas, majalah Kalam, Pikiran Rakyat, Koran Tempo, dan lain-lain. Tak salah kalau ada komentar bahwa cerpen ini memperkuat fenomena cerpen koran. Bukan saja karena dia dimuat di koran, tetapi karena ukurannya yang pendek-pendek, bahkan ada cerpen superpendek, yakni kurang dari satu halaman, layaknya sebuah berita koran.

Cerpen-cerpen pendek merupakan salah satu ciri khas karya Sapardi dalam antologi ini. Kalau selama ini kita mengenal cerpen sebagai “cerita pendek” yang panjangnya antara 5-8 halaman, maka cerpen-cerpen Sapardi jauh lebih pendek dari itu. Ada cerpen yang ukurannya kurang dari satu halaman seperti cerpen “Testamen”, ada beberapa cerpen yang panjangnya antara satu sampai dua halaman seperti “Tembang Zaman”, “Dalam Lift”, dan “Jalan Lurus”. Kalau karya-karya ini tetap mesti disebut cerpen, maka mungkin ada baiknya disebutkan sebagai cerpen superpendek.

Cerpen-cerpen yang agak panjang antara lain “Hikayat Ken Arok” , “Membunuh Orang Gila”, dan “Suatu Hari di Bulan Desember 2002”. Meski demikian, dibandingkan ukuran cerpen umumnya, cerpen ini masih relatif pendek. Karena itulah, walau kumpulan ini berisi 18 judul cerpen yang secara kuantitas cukup banyak, tebal keseluruhan buku kumpulan cerita pendek ini hanya mencapai 99 halaman (plus beberapa halaman biodata pengarang sehingga menjadi 104 halaman). Walaupun pendek dalam ukurannya, cerpen-cerpen Sapardi mampu membahas persoalan sederhana sehari-hari dalam kehidupan manusia secara mengesankan, unik, dan kadang jenaka. Cerpen “Sepasang Sepatu Tua” misalnya, tak hanya secara kocak berbicara tentang nasib sepatu yang diinjak-injak setiap hari dan kalau rusak dibuang ke tempat sampah untuk dibakar, tetapi juga mengungkapkan kesahajaan atau ketegangan hubungan antara suami dan istri. Dikisahkan, seorang suami yang baru pulang dari luar negeri, memakai sepatu buatan Jerman yang dibeli di sebuah toko Cina di Amerika, tidak mendapat sambutan “Selamat Datang” tetapi menerima komentar negatif. Kata istri: “Norak amat sepatumu. Di mana kau beli? Yang dulu mana?” Sebagai cerpenis, Sapardi mampu menangkap persoalan sehari-hari yang rutin tetapi tidak banyak disadari orang atau digarap cerpenis Indonesia.

Yang paling jenaka sekaligus menyentuh adalah cerpen “Rumah-rumah”. Dibuka dengan kalimat jenaka yang mengandung kebenaran sebagai berikut: ” Seandainya boleh memilih, saya tidak mau menjadi rumah. Orang boleh memilih rumah, tetapi rumah tak berhak memilih penghuninya.” Dalam paragraf berikutnya ditulis: “Saya sudah terlanjur menjadi rumah. Aneh, rumah tak boleh ikut penghuninya jika pergi meninggalkannya, tetapi penghuni berhak seenaknya saja pergi dan kalau sudah capek dan perlu istirahat, kembali pulang ke rumah” (hlm 75).

Dalam cerpen itu , Sapardi mencoba menjadikan rumah sebagai tokoh cerita yang punya perasaan, bisa bicara, dan suka gosip alias menjelekkan orang lain. Walaupun tokohnya rumah, dia adalah simbol dari manusia yang punya perasaan, sifat cemburu, dan keinginan-keinginan namun tidak berdaya karena status, keadaan, atau perbuatan-perbuatannya sendiri.

Krisis Domestik

Tema dominan cerpen-cerpen dalam kumpulan ini adalah krisis domestik yang bersifat eksistensial. Krisis itu lebih banyak bergejolak dalam diri tokoh akibat keadaan di luar dirinya, baik karena tidak dihormatinya nilai-nilai yang ada maupun karena pengabaian dirinya oleh orang lain. Cerpen “Hikayat Ken Arok”, “Membunuh Orang Gila”, dan “Suatu Hari di Bulan Desember 2002” adalah contoh-contohnya. Ken Arok yang berusaha berjuang agar dapat meniduri Ken Dedes, setelah hampir berhasil mendapat informasi bahwa Ken Dedes adalah ibu kandungnya.

Cerpen “Suatu Hari di Bulan Desember 2002” mengisahkan seorang istri bisa hamil setelah dua tahun di penjara tanpa ada yang menghamili secara seksual. Wanita ini senang karena dia bisa keluar dari krisis eksistensial seputar kemandulan, tapi pada saat yang sama akan terbukti bahwa si suami yang mandul. Krisis eksistensi yang serupa juga terungkap dalam cerpen “Membaca Konsultasi Psikologi”, cerpen yang mengisahkan seorang suami yang hina-dina di hadapan istrinya yang menjadi wanita karier.

Ciri lain yang menonjol dari kumpulan cerpen Sapardi ini terletak pada penggunaan bahasanya. Pengamat cerpen Indonesia, Hasif Amini, pernah menulis bahwa salah satu karakter cerpen Indonesia adalah minimnya plot yang diganti dengan “untaian kata-kata, kalimat-kalimat, yang membangkitkan keajaiban bahasa”. Cerpen-cerpen Sapardi bisa dikategorikan dalam cerpen yang memiliki bahasa yang ajaib, khas dan kuat.

Kemampuan Sapardi dalam berekspresi sudah ditunjukkan dengan sangat hebat dalam puisi-puisinya. Kalau kemudian dia mampu memainkan hal yang sama dalam cerpen, itu tentu tidak mesti mengejutkan. Makanya, bisa diterima penilaian (dalam kulit buku ini) yang menyebutkan bahwa cerpen-cerpen Sapardi adalah puisi yang diungkapkan secara prosais, atau prosa yang dituangkan secara puitik.

Sebagai ilustrasi, pembukaan sejumlah cerpen bisa dikutip di sini. Cerpen “Testamen”, misalnya, dibuka dengan kalimat begini: “Anjing kampung yang baik. Terima kasih, kau telah membantuku menyelesaikan tugasku di dunia dengan sebaik-baiknya.” Atau, cerpen “Jalan Lurus” yang dimulai dengan kalimat “Aku adalah sebuah jalan, Jalan Lurus namaku.” Selain keindahan bahasa dalam kutipan itu, kepadatan gagasan juga membuat kalimat-kalimat itu dan yang digunakan Sapardi dalam cerpen-cerpennya terasa sebagai kalimat puisi, bukan kalimat prosa.

Kekhasan bahasa cerpen Sapardi yang jernih, imajinatif tapi simpel, akan sangat terasa jika dibandingkan gaya bahasa cerpen Kuntowijoyo yang realis dan referensial, semi-realis dan imajinatif Budi Darma, atau surealis Djenar Mahesa Ayu. Kesederhanaan dan kebeningan bahasa cerpen-cerpen Sapardi mendukung atau menguatkan ketunggalan tema yang dituangkan. Membaca cerpen-cerpen Sapardi orang tidak akan berhadapan dengan tuturan yang kompleks, atau tema-tema yang paradoks pada dirinya. Tema-temanya sederhana, bahkan dalam beberapa hal tema itu seperti belum mewujud di tengah minimnya plot.

Cerpen-cerpen yang pendek, lucu, dengan bahasa yang jernih dan bening dalam kumpulan ini mengingatkan pada karakter cerpen awal Indonesia karya-karya Suman HS dan Muhamad Kasim dari periode 1920-an. Mungkin ini adalah eksperimen Sapardi untuk menciptakan salah satu bentuk cerpen khas Indonesia yang pendek, sederhana, mengesankan, dan lucu, dengan mengungkapkan kisah-kisah bersahaja di seputar kita.

7 Desember 2003.