Sapardi Djoko Damono *
Koran Tempo 11/05/03
Gadis kecil itu berpikir begini, nanti kalau ayah pulang kehujanan, kasihan. Tadi lupa bawa payung. Ia sendiri di rumah, seperti biasa. Pembantu bertugas mencuci dan menyeterika, selesai itu pulang-sesudah, tentu saja menyiapkan makan untuknya. Gadis kecil itu biasa dipanggil Rini. Lengkapnya, Satyarini Endah Kurnianingrum. Biasanya beberapa temannya di sekeliling rumahnya suka bermain macam-macam karena orang tuanya Rini suka membelikannya mainan, mulai dari alat masak-memasak sampai mobil-mobilan, meskipun dia anak perempuan. Hari ini gerimis turun sejak pagi, dan teman-temannya tidak ada yang datang. Tidak seperti biasanya waktu mereka teriuak-teriak, bekerjaran, atau nonton VCD dongeng anak-anak yang dibelikan orang tuanya untuk menemaninya sendirian di rumah, selalu saja ada temannya bermain.
Tapi hari ini gerimis jatuh sejak pagi, diselingi hujan agak deras sekali, dan gadis kecil itu sendirian saja di rumah. PR sudah selesai dikerjakannya, semua VCD sudah ditontonnya, semua mainan sudah membosankannya, maka dalam kesendiriannya ia tiba-tiba saja terasa rindu pada ayahnya. Nanti kalau ayah pulang kehujanan, kasihan. Ia lupa bawa payung. Ayahnya biasa pulang sekitar magrib, angkot nomor 105 yang dinaikinya berhenti di jalan seberang sana, tepat di sebuah pohon asam yang entah sudah beberapa puluh tahun umurnya. Penumpang biasa teriak asem, asem dan angkot pun berhenti tepat di bawah lindungan pohon yang rindang itu.
Keluarganya mendapat ruah perumnas beberapa tahun yang lalu, tepat di pinggir kompleks, berbatasan dengan kampung. Itulah sebabnya anak-anak yang suka main di rumahnya tidak hanya anak-anak perumnas-yang oleh sementara orang kampung dianggap gedongan-tetapi juga anak-anak dari kampung di depannya. Ibu dan ayahnya sama sekali tidak pernah mengatakan, jangan bergaul dengan anak kampung-seperti yang sering didengarnya dari beberapa tetangga jika anak mereka kelihatan bermain dengan teman-teman Rini.
Ibu Rini seorang pegawai Pemda, gajinya kecil dan praktis hidup dari uang rapat. Ia bisa pulang pukul tiga atau empat sore, tetapi sudah seminggu ini ia harus menjadi panitia penataran pegawai di luar kota, di daerah Puncak. Seandainya libur kau boleh ikut, Rin, kata ibunya sebelum berangkat. Gadis kecil itu membayangkan sebuah hotel di Puncak, sebuah kamar yang nyaman, dan pemandangan yang indah. Tapi ia harus sekolah, harus mempertahankan ranngkingnya yang lumayan tinggi. Dan lagi, ia suka ke sekolah, hampir tidak pernah bolos, hanya minta izin kalau sakit. Ia sayang pada guru-gurunya, juga kepada taman-teman sekolahnya.
Dan sore ini gerimis, yang sekali diselingi hujan, belum juga reda. Padahal ibunya, yang suka menjemput ayahnya, jika kebetulan lupa membawa payung, sedang diluar kota. Magrib hampir tiba. Kasihan Ayah. Ia akan kehujanan nanti. Lupa bawa payung. Anak itu pun mencari-cari sepatu hujan yang pernah dibelikan pamannya yang kerja sebagai wartawan, ini sepatu anak-anak jepang jika musim dingin tiba, katanya ketika kembali tugas dari negeri di utara itu. Negerinya Oshin, pikirnya. Paman itu tidak juga mau kawin meskipun suka didesak kakaknya, ibu gadis kecil itu, kau ini nunggu apalagi. Tampangmu tidak jelak-jelek amat, koranmu laku, gajimu besar. Dan gadis kecil itu cekikikan kalau lelaki lajang itu menjawab seenaknya, hla aku terlanjur sayang sama Rini, gimana? Ibunya kemudian menjewer kuping atau menabok kepala atau meninju perut adik satu-satunya yang sontoloyo itu.
Dan sebenarnya diam-diam itu beruntung juga adiknya belum kawin, ia suka menemani suaminya nonton bola di Televisi sampai larut malam kalau sedang ada Piala dunia. Masak indomie atau goreng pisang atau nyegat tukang sate yang suka sengaja dagang malam-malam kalau ada bola. Ayah gadis itu sangat diam sehingga isterinya sulit menebak apa suaminya sedang marah atau tidak. Tapi, dalam bayangan gadis kecil itu, hubungan antara ayah dan ibunya tidak pernah tidak beres. Mereka bertiga keluarga yang sederhana, tidak pernah macam-macam, dan menganggap masalah keluarga sebagai ajinomoto dalam kehidupan berkeluarga. Gadis yang pertengahan tahun ini akan naik ke kelas enam diam-diam menyayangi kedua orang tuanya meskipun tidak pernah meperlihatkannya secara berlebihan-itu mungkin watak yang diturunkan ayahnya.
Dan masih juga gerimis. Sesekali hujan. kasihan ayah, nanti basah kuyup. Nanti pilek lagi seperti tempo hari. Gadis kecil itu mulai gelisah. Ia pegang payung yang ia di bawa ayahnya. Di bukanya, lalu ditutupnya kembali. Dibukanya, diputar-putarkannya. Lalu ditutupnya kembali dengan sangat hati-hati. Di taruhnya dekat pintu depan. Ia membayangkan angkot yang berhenti di bawah pohon asam, gerimis masih jatuh, ayahnya turun, lari-lari berteduh di bawah pohon, lalu lari-lari menteberang lapangan yang tentunya sudah ditinggalkannya anak-anak yang main bola karena yang sudah hampir magrip. Ibunya tidak juga menelepon padahal biasanya jam-jam begini suka menelepon dari hotel menanyakan apa semua sudah makan, makan apa, atau menyuruh masak indomie jika ayah gadis itu tidak sempat beli makanan di jalan.
Gadis itu mulai merasakan sepi yang muncul dari sela-sela cahaya sore yang redup dan gerimis. Ia akhirnya berketetapan untuk menjemput ayahnya, membawakan payung untuknya. Ia tak mau melihat ayahnya selesma dan demam kalau kena gerimis senja. Ia lihat jam dinding, lalu langsung mengambil payung yang tersandar dekat pintu itu, keluar rumah setelah menutup pintu dengan hati-hati dan menguncinya. Beberapa kali dicobanya handelnya. Sudah aman terkunci.
Sambil melewati pagar tanaman rumahnya, payung itu dibukanya. Sepanjang jalan semakin terasa suasana sepi itu-rumah tetangganya ditutup, tampaknya mereka menyekap anak-anak agar tidak main. Lagi pula sudah dekat magrip. Sampai di ujung jalan perumnas tampak lapangan yang luas itu. Becek. Bekas anak-anak main bola, ada beberapa kubangan. Ia menghindarinya. Gerimis jatuh semakin deras. Ia berjalan sangat hati-hati, payung bergoyang-goyang, air menetes-netes dari pinggirnya. Ia suka butir-butir air itu, yang semakin lama semakin cepat tergelincir karena gerimis semakin deras. Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting-tetapi ini bunyinya lain. Di atas payung. Ia sayang pada gerimis, pada titik-titik air yang jatuh ke payung, pada butir-butir air yang tergelincir.
Untuk kesampai pinggir jalan yang ada pohon asam itu ia harus melewati turunan dulu, yang sekarang berubah menjadi selokan dangkal, lalu menaiki beberapa anak tangga tanah yang dibuat orang kampung. Ia ragu-ragu menyeberangi selokan dangkal itu, berdiri saja di pinggirnya, kasihan ayah, lupa bawa payung. Kembali lagi lapangan rumput yang basah itu ia memutar-mutar payungnya maju-mundur seperti layaknya penari payung. Lalu melangkah lagi ke selokan. Airnya coklat. Tampaknya licin, tapi ia harus melewatinya. Ayah, kenapa tadi lupa bawa payung? Mikir ibu tidak menelepon, ya? Ayah nggak suka nelepon, sih. Akhirnya ia berhasil menepis kekhawatirannya kalau terpeleset: kemudian tanpa ragu-ragu menyeberangi selokan dangkal itu. Air masuk sepatu jepangnya.
Sampai di pinggir jalan di bawah pohon asam yang umurnya sudah puluhan tahun itu ia berhenti. Menunggu. Ada suara cericit burung disela-sela daun yang basah. Tak tampak yang bercicit itu. Ia masih anak-anak, pikirnya mendengar cericit itu. Mungkin induknya belum pulang. Ia menunggu sambil terus memutar-mutar payungnya. Tak banyak air menimpa payung karena terlindung pohon asam. Sudah empat atau lima angkot lewat, ayahnya belum tampak juga. Angkot ke enam menurunkan seorang perempuan muda, tetengganya, kerja di supermarket.
“Ada apa di sini, Rin?”
“Nunggu Ayah. Tadi lupa bawa payung.”
Perempuan itu tak mendengar jawabannya karena langsung berlari sambil menggunakan tangannya sebagai penutup kepala. Gadis kecil itu meliriknya, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke ujung jalan. Burung kecil itu, bercicit lagi. Kasihan mungkin ia belum makan. Ibunya ke mana? Beberapa angkot lewat, terus saja tidak ada yang turun. Kasihan Ayah. Kenapa lupa bawa payung, yah? Ayah mestinya tidak usah bingung, dan kalau ibu nggak nelepon. Suara cericit burung. Semakin sering dan nyaring. Gadis kecil itu mendangak, mencari-carinya di atas daunan yang rimbun dan basah. Matanya kena air, diusapnya. Seperti mengusap air mata. Angkot lewat saja. Cericit burung. Gadis itu mendongak lagi, mengusap lagi air matanya yang kena air. Suara azan magrip.
Di rumah, beberapa kali telepon berdering.
***
*) Sapardi Djoko Damono, karya yang mutakhir adalah kumpulan cerita pengarang telah mati (2001) dan kumpulan puisi Ada Berita Apa Hari Ini. Dan sastra 2002.