Damhuri Muhammad*
Kompas, 16 Feb 2008
FASE awal pertumbuhan tradisi filsafat Islam dilatarbelakangi oleh interaksi dua kebudayaan besar, yaitu tradisi semitik dan tradisi hellenistik. Persinggungan itu dijembatani oleh penerjemahan filsafat Yunani kuno ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-823) di Baghdad.
Periode ini ditandai dengan berdirinya Bait Al-Hikmah yang diprakarsai Al-Ma’mun sendiri. Lembaga ini menjadi sentral diskursus keilmuan, sekaligus titik awal lahirnya tradisi pemikiran spekulatif. Pada perkembangan selanjutnya melahirkan golongan terpelajar Muslim yang dikenal sebagai filsuf.
Di antara filsuf Yunani yang paling menarik perhatian umat Islam adalah Aristoteles. Dari dia terwarisi metode berpikir sistematis-rasional, yakni al-mantiq (logika formal). Tetapi, yang kurang disadari adalah bahwa pemikiran Aristoteles yang dipelajari itu secara keseluruhan diperoleh melalui kaca mata Neoplatonisme.
Kecenderungan menerima pemikiran Neoplatonisme boleh jadi karena coraknya yang mistik-religius dan menganut paham ketuhanan monoteistik. Neoplatonisme yang menyelusup ke dalam urat nadi kefilsafatan Islam berpengaruh besar terhadap sejarah filsafat Islam selanjutnya.
Secara epistemologis, filsafat Islam masih mengikuti tradisi skolastik zaman pertengahan. Para ahli agama waktu itu merasa perlu menyelidiki bagaimana iman dapat dipertanggungjawabkan secara akali. Maka, gesekan dan ketegangan antara tradisi semitik dan tradisi hellenistik tak terelakkan. Dalam tradisi semitik (tempat lahir agama-agama besar; Yahudi, Kristen, dan Islam) sangat ditekankan bahwa pengetahuan sejati berasal dari Tuhan melalui wahyu, sementara dalam tradisi hellenistik, pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui refleksi kritis dengan akal (Budy Munawar Rahman, 1994).
Meskipun para filsuf Muslim telah memperkenalkan filsafat profetik di jagat filsafat, tetapi dalam persoalan-persoalan filsafat lainnya (utamanya epistemologi) pengaruh alam pikiran Yunani masih sangat kentara. Kekurangan dan kelebihan filsafat Yunani ditemukan pula dalam filsafat Islam.
Corak Platonis dan Neoplatonisme yang mengabaikan pengalaman inderawi untuk meraih pengetahuan begitu jelas mendominasi pemikiran para filsuf Islam. Mereka cenderung berpegang pada dunia abstrak intelektualistik a-historis. Teori Emanasi (faidh) dalam hal penciptaan alam merupakan contoh konkret.
Kebekuan
Kira-kira satu generasi setelah Ibnu Sina, tampillah Al-Ghazali, pemikir yang dengan dahsyat melontarkan kritik-kritik terhadap filsafat, khususnya pada Neoplatonisme Al-Farabi dan Ibnu Sina. Meski Al-Ghazali menolak filsafat, namun ia mendalaminya sehingga penolakannya terbangun dengan kompetensi yang tak diragukan.
Berkat Al-Ghazali, asy’arisme memperoleh kemenangan yang terakhir. Karena karya-karya Al-Ghazali pula, kesenjangan antara sufisme dan bidang-bidang agama lainnya (khususnya akidah dan syariah) dapat diluruskan.
Teologi asy’arisme ternyata tidak mampu mendorong perkembangan keilmuan dan filsafat. Sesudah zaman Al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam (bagian Timur). Tak mengherankan jika setelah zaman Al-Ghazali, ilmu dan filsafat tidak berkembang lagi di Baghdad, sebagaimana sebelumnya di zaman Mu’tazilah (Harun Nasution, 1995).
Kebekuan ini berlangsung selama berabad-abad, lalu menggumpal sedemikian rupa membentuk lapisan arkeologi pemikiran keagamaan. Kecenderungan untuk meneliti lapisan-lapisan arkeologi itu makin langka di kalangan ulama klasik, apalagi setelah kebudayaan taqlid tersebar luas pada abad pertengahan.
Kritik epistemologi
Sebaliknya, dalam tradisi keilmuan Barat, kritik epistemologi berjalan wajar dan alami tanpa halangan berarti. Pergumulan antara tradisi idealis dan empiris berlangsung sejak zaman Plato dan Aristoteles, terus dikembangkan oleh David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804), bahkan sampai saat ini masih berkesinambungan. Melalui mazhab Frankfurt dan Kritik Ideologi.
Sains Modern tumbuh dari pola pikir rasionalis-empiris, dan keduanya telah menjadi pilar utama metode keilmuan modern. Atas dasar ini, Herman Kuhn menyimpulkan: sains modern telah mengukuhkan suburnya pertumbuhan budaya inderawi yang bersifat empiris, sekuler, humanistik, dan utilitarian (Haidar Baqir, 1990).
Sains dan agama
Sejak pengujung kurun 14 H, sejalan dengan makin mencoloknya ketimpangan-ketimpangan akibat terpisahnya sains dan agama, telah muncul beberapa gelombang pemikiran, antara lain Islamisasi Sains (Ismail Raji Al-Faruqi), Dewesternisasi (Naguib Al-Attas), dan gerakan-gerakan seperti Association of Moslems Social Science. Meski masih terkesan sporadis dan belum terpadu, pada awal kurun 15 H, Islamisasi Sains menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan Muslim. Ini harus dihargai sebagai upaya menghubungkan sains dan agama, namun masih tetap ada jurang pemisah di antara keduanya.
* Damhuri Muhammad, Editor Buku; Alumnus Pascasarjana Filsafat UGM; Anggota Bale Sastra Kecapi Jakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/02/pemikiran-memecah-kebekuan-tradisi.html