Tradisi Sastra Lisan yang Terlupakan

Muhammad Ali Fakih A.R. *
Lampung Post, 17 Feb 2008

DALAM khazanah kesusastraan Melayu kuno, tradisi sastra lisan, baik yang berbentuk syair maupun prosa, merupakan corak kekhasan tersendiri yang terbangun melalui relasi lajur sejarah yang panjang. Satu tradisi dari bangsa Yunan (China) yang diyakini sebagai nenek moyang bangsa Indonesia, dan satu tradisi dari ranah India ketika ajaran Hindu-Buddha menjadi sistem kepercayaan utama masyarakat, ditambah oleh sumbangan tradisi Arab-Islam yang disebarkan oleh para musafir Timur Tengah, tak pelak menjadi unsur sejarah teramunya corak kekhasan tradisi sastra lisan bangsa Indonesia yang asli.

Di dalam tiga tradisi yang berbeda tersebut, secara simultan meniscayakan terjadinya dialektika budaya yang diharapkan saling mengisi dan melengkapi. Ekpresi estetik tradisi sastra lisan Indonesia dalam bentuk mantra, tembang macapat, cerita rakyat, hikayat-hikayat, atau pun syair pantun serta gurindam yang berkembang di Indonesia menjadi serangkaian manifestasi dialektika dari tiga unsur kebudayaan kuno tersebut.

Corak khas tradisi sastra lisan pada akhirnya mendapatkan tempat dan menemukan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah dalam ruang etnis dan suku yang mengusung flok budaya dan adat yang berbeda-beda. Heddy Shri Ahimsa-Putra (1966) mengatakan bahwa sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, tradisi sastra lisan tidak hanya mengandung unsur-unsur keindahan (estetik), tetapi juga mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai salah satu data budaya, sastra lisan dapat diperlakukan sebagai gerbang untuk memahami salah satu atau keseluruhan unsur kebudayaan daerah yang bersangkutan.

Tradisi sastra lisan ini bertahan cukup lama dan telah menjadi semacam ekspresi estetik masyarakat dalam tiap-tiap daerah atau suku yang tersebar seantero Nusantara. Namun, ketika sebagian kalangan menganggap bahwa tradisi sastra tulis itu mempunyai nilai lebih tinggi dalam konteks ihwal pembangunan karakter bangsa yang lebih maju dan mengikuti perkembangan arus zaman, maka eksistensi tradisi lisan terlihat semakin dekaden, bahkan hampir saja punah.

Karena itu, tidak dapat kita pungkiri, dalam khazanah kesusastraan modern Indonesia, baik yang berkenaan dengan ekspresi proses verbal kesastrawanan maupun dalam bentuk kajian sastra tulis dari segi kuantitas lebih mendominasi, sedangkan kajian-kajian sastra lisan cenderung sebagai “anak tiri” yang dinomorduakan. Ketimpangan semacam ini sungguh menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi awal yang dilontarkan A. Teeuw (1983) bahwa sastra, baik dari segi sejarah maupun tipologi, tidak baik apabila dilakukan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan, tidak terpecah-belah berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki.

Fenomena “penganaktirian” sastra lisan ini pada dasarnya tidak sejalan dengan realitas empiris sejarah yang menunjukkan bahwa sastra lisan dan sastra tulis tidak sekadar hidup berdampingan, tetapi keduanya menciptakan keterpaduan menyangkut konvensi atau struktur, baik pada genre syair maupun cerita rakyat. Sastrawan Sapardi Djoko Damono (1999) menunjukkan bahwa puisi Indonesia modern, yang notabene adalah sastra tulis, merupakan bagian urgen dari konvensi kelisanan. Bahkan, menurutnya, piranti puitis yang kini lekat menjadi idiomatis dalam puisi Indonesia modern, seperti rima, irama, metrum, aliterasi, asonansi, repetisi, paralelisme, dan onomatope, terinspirasi oleh tradisi lisan seperti pantun dan mantra.

Bertolak dari fenomena tersebut, tampaknya menjadi semacam keniscayaan bahwa tradisi lisan merupakan sumber paling utama bagi penciptaan sastra tulis. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa sastra lama sebagai penunjang berkembangnya sastra modern. Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa tradisi sastra lisan mesti “dianaktirikan” dari pada sastra tulis? Adakah sesuatu yang merupakan kesatuan dan keseluruhan itu dapat pisah-tempatkan secara timpang?

Persoalan ini, tidak bisa lepas dari konsepsi “kemapanan”, suatu corak yang dibawa oleh modernisme. Tradisi lisan yang merupakan corak masyarakat kuno (awam), dipandang misalnya oleh Ayu Sutarto (2004) dan Daniel Dhakidae (1996), sebagai penghambat kemajuan bangsa. Supaya suatu bangsa menjadi maju seiring arus zaman, maka tradisi lisan harus diubah kepada budaya menulis, karena tradisi tulis-menulis selalu identik dengan kemajuan sebuah peradaban keilmuan. Pendapat ini menciptakan adanya tendensi “penganaktirian” dan seakan mengabaikan terhadap terjadinya suatu paralelisme dari kedua konsepsi (lisan dan tulis) yang sesungguhnya bersifat kesatuan dan keseluruhan itu. Tapi, apakah semangat pemberdayaan budaya tulis menjadi umpan-balik pengabaian terhadap tradisi lisan?

Jika kita sadari, tradisi lisan merupakan salah satu bentuk semangat, harga diri dan tradisi bangsa Indonesia. Tradisi lisan yang berkembang sebagai corak kebudayaan kita yang azali dalam dimensi dan aspek apa pun saja pada akhirnya akan mengundang decak kagum bangsa-bangsa asing, sehingga mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi nantinya di “pasar budaya” global. Apalagi dewasa ini, di mana sekat-sekat ruang budaya tidak lagi dapat mempertahankan dirinya dari arus zaman, kehadiran tradisi sastra lisan dari berbagai banyak modelnya akan mengesankan bahwa bangsa Indonesia tidak lupa dan tidak gampang melupakan sejarah tumpah darahnya.

Selain dari pada itu, terciptanya paralelisme antara tradisi tulis dan tradisi lisan akan semakin memperkaya khazanah kesusastraan kita. Paralelisme di sini dimaksudkan sebagai kerangka konseptual yang mencoba untuk mengintegrasikan antara dua kebudayaan atau lebih. Paralelisme, dalam arti yang sebenarnya, tidak mengharapkan terciptanya konstruksi budaya baru (komodifikasi budaya) dari dua kebudayaan yang berbeda, tetapi ingin memenuhi niatan bahwa pelestarian budaya adalah hal yang niscaya untuk dilakukan.

Pelestarian tradisi sastra lisan semestinya bersanding dengan pemberdayaan tradisi sastra tulis, karena dua kebudayaan ini merepresentasikan kekayaan khazanah kesusastraan kita. Fungsi dari unsur-unsur kebudayaan ini adalah dipergunakan untuk memelihara keutuhan konstruksi dua kebudayaan tersebut, selain juga untuk memuaskan sebentuk rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri kehidupan kita yang harus disadari.

Dengan demikian, pemenuhan tujuan akan suatu kebudayaan sesungguhnya terletak pada bagaimana kebudayaan itu dapat dilestarikan sepanjang zaman. Karenanya, yang berkenaan dengan “penganaktirian” atau “penomorduaan” suatu kebudayaan daripada kebudayaan lain semestinya tidak harus ada, karena pada hakikatnya seluruh entitas kebudayaan senantiasa membentuk suatu jejaring hidup antara satu dan lainnya. Demikian juga dengan persoalan ini, bahwa tradisi sastra lisan tidak harus dipisahkan atau bahkan “dianaktirikan” dari pada tradisi sastra tulis.
***

*) Muhammad Ali Fakih A.R., pemerhati budaya pada The Indonesia View Yogyakarta.

Bahasa ยป