Maman S. Mahayana *
Betawi, Jakarta, Batavia, Jayakarta, Jacatra adalah nama-nama wilayah etnik, geografik, historis, dan administratif, bahkan juga lokalitas dalam lingkup budaya. Perbincangannya, tidak terhindarkan, meliputi kehidupan sosial-politik-budaya penduduk yang mendiami daerah itu. Di dalamnya, termasuklah komunitas etnik Betawi yang mengklaim sebagai penduduk asli di kawasan itu dengan sejarah panjang berada di belakangnya.
Jakarta adalah wilayah administratif politik kenegaraan, bagian dari teritorial Indonesia yang di sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Jawa Barat, barat laut dengan Banten, dan utara dengan Laut Jawa. Dalam posisinya sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta sesungguhnya merepresentasikan keindonesiaan. Dengan segenap penduduknya yang heterogen dan multikultur, Jakarta menjelma miniatur Indonesia.
Jakarta telah sekian lama dihuni—didiami, dan dikembangkan oleh suku-suku bangsa dengan segala etnisitasnya yang berasal dari seluruh daerah yang bertebaran di Nusantara. Bahkan, sebagai wilayah politik negara, bermacam-macam bangsa asing, tinggal dan bekerja di Jakarta. Dengan begitu, Jakarta tidak hanya sebagai pusat berbagai kegiatan kenegaraan, tetapi juga merupakan wilayah yang paling heterogen dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Nama lain Jakarta, seperti Batavia, Jayakarta, dan Jacatra berhubungan dengan peristiwa sejarah. Di sana perjalanan panjang etnik Betawi berada dalam kancah pergolakan berbagai peristiwa yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup masyarakat Betawi. Dalam perjalanannya yang panjang itu, masyarakat Betawi bersiteguh mempertahankan jati dirinya, bersikeras menjaga tradisi yang telah menjadi sistem nilai dalam kehidupan mereka, dan bersikukuh menunjukkan identitas budaya untuk menegaskan keberadaannya di tengah keberbagaian penduduk pendatang.
Mengapakah para penduduk pendatang itu dapat hidup damai, sehingga mereka sebagian besar ogah kembali ke tanah leluhurnya? Inklusivisme manusia Betawi yang memungkinkan segala etnik, segala bangsa yang datang dan memasuki kehidupan masyarakat Betawi, merasa nyaman, beranak-pinak dan kemudian menganggap diri sebagai bagian dari perkembangan wilayah ini. Meskipun demikian, dalam banyak hal, latar belakang etnisitas menyebabkan para pendatang itu menjaga jarak dari problem kebetawian. Bahkan, karakteristik masyarakat Betawi yang inklusif, well come, menempatkan tetamu sebagai orang yang wajib dihormati, bersahaja, lugas –bahkan cenderung lugu—lurus, egaliter, solider dengan semangat tolong-menolong, senantiasa berprasangka baik, sering kali malahan dimanfaatkan beberapa penduduk pendatang untuk ngapusi, menipu, bahkan memperalat.
Kekayaan alamlah yang mengajari masyarakat Betawi mempunyai karakteristik seperti itu. Lalu, karakteristik itu seolah-olah memperoleh legitimasi ketika agama (Islam tradisional) menanamkan nilai-nilai yang sejalan dengan semangat itu. Maka, kecenderungan untuk cepat puas, menyembunyikan ambisi dengan segala konsep kebaean—berbuat baik— sebagai pembenaran untuk menghindari keserakahan dan ketamakan. Hidup dengan orientasi akhirat dimaknai sebagai tidak perlu mengejar kepentingan duniawi.
Filosofi carte diem—raihlah selagi ada kesempatan—tidak berlaku bagi masyakarat Betawi. Nikmatilah kehidupan duniawi mumpung ajal belum tiba, sangat dihindarkan lantaran agama tidak mengajarkan harta—kekayaan dan ilmu pengetahuan bukan termasuk bekal akhirat. Jodoh, rezeki dan kematian sudah diatur Tuhan. Jadi, yang jauh lebih penting adalah menyiapkan bekal untuk akhirat. Begitulah ajaran agama secara salah kaprah diterjemahkan secara hitam—putih lantaran ada janji, bahwa kehidupan akhirat yang kekal dan paling utama. Oleh karena itu, kehidupan duniawi, menjadi tidak penting. Itu pula sebabnya, orang Betawi cenderung kompromistis, bahkan lebih banyak mengalah—jika berurusan dengan perkara jual beli atau urusan utang-piutang. Konsep teologisnya sederhana saja: idup buat nyari keselametan (hlm. 177) yang berimplikasi pada sikap yang cenderung menghindar risiko.
Orang Betawi juga bukan tipe manusia ekspansif. Ketergusuran atau keterpinggiran masyarakat Betawi yang kemudian hijrah ke pinggir-pinggir kota, bukan lantaran mereka hendak melakukan ekspansi ke luar daerahnya, melainkan kemengalahan atas derasnya para pendatang memasuki wilayah ini. Itulah sebabnya, laku penyerobotan tanah yang bukan miliknya, apalagi tanah negara, sangat dihindarkan, tidak hanya lantaran kesadaran teologis itu, melainkan juga semangat untuk tidak melakukan pelanggaran hukum: “Jangan melanggar wet!” (hlm. 171).
Itulah yang terjadi pada masyarakat Betawi sejak entah kapan. Lalu, mencapai puncaknya ketika Jakarta disulap menjadi kota metropolitan yang menciptakan impian bagi penduduk dari berbagai pelosok Tanah Air. Sistem pemerintahan yang sentralistik dengan Jakarta sebagai pusat telah menyedot aroma kota metropolitan sampai ke pelosok daerah sebagai kota impian. Maka, membanjirlah orang-orang udik mencari penghidupan di kota ini. Mereka yang berhasil, akan berusaha menjadi penduduk tetap. Dengan bangga, ia akan mengaku sebagai penduduk Jakarta, tetapi dengan tetap menjaga jarak sebagai bukan Betawi. Lalu, yang setengah berhasil atau berharap berhasil, menjadi penduduk musiman. Mereka pada setiap lebaran, juga dengan bangga, akan memamerkan keberhasilannya yang baru setengahnya itu kepada penduduk di udiknya, seolah-olah Jakarta sudah berada dalam genggamannya. Belakangan, mudik yang dilakukan orang-orang udik ini kemudian menjadi problem tersendiri.
***
Penduduk Betawi yang merasa sebagai penduduk asli, lantaran karakteristiknya sebagaimana telah disebutkan tadi, mula-mula –terkesan—menyikapinya sebagai hal yang wajar dan merasa tidak terlalu bermasalah. Belakangan, ketika komunitas Betawi makin tercerai-berai, tanah perkebunannya sudah menjadi gedung-gedung bertingkat, dan pekuburan leluhurnya tergusur oleh pembangunan jalan atau fasilitas umum, sejumlah tokoh Betawi tampak mulai menyadari, bahwa tradisi dan akar budayanya, ikut tergerus. Maka perlu semacam gerakan untuk mempertahankan keberadaan kekayaan budaya Betawi sambil sekalian coba menjungkalkan stigmatisasi negatif tentang Betawi (periksa bagian “Etos Kerja” hlm. 163—165).
Kesadaran itu muncul bukan sebagai bentuk reaksi perlawanan, melainkan pertahanan, resistensi ketika urbanisasi dan pengaruh globalisme makin dirasakan menjadi bahaya laten yang dapat memreteli nilai-nilai budaya dan sekaligus memarjinalkan keberadaan kaumnya. Nilai-nilai budaya dan tradisi leluhur, harus dijaga agar anak-cucu mengetahui asal-usul dan tidak kehilangan orientasi. Berbagai upaya dilakukan: lembaga kebudayaan didirikan, pagelaran-pementasan-perhelatan diselenggarakan, dan pendokumentasian-penerbitan disebarluaskan.
***
Ridwan Saidi adalah salah dari begitu sedikitnya budayawan Betawi yang mempunyai kesadaran itu. Dikatakannya: “Inilah jawaban yang sebenarnya untuk memajukan kaum Betawi. Hanya dengan pendidikan, hanya dengan menumbuhkan lingkungan intelektual. Tidak dengan cara yang lain.” (hlm. 166). Ia tidak duduk berpangku tangan, tiada sudi pula bertindak sebagai penonton. Maka, selepas Sang Dato “kembali ke jalan yang benar” (baca: tidak lagi mengurusi kegiatan politik praktis), ia makin gencar mempublikasikan penyikapannya sebagai seorang tokoh Betawi. Sedikitnya 20 buku telah dihasilkannya, termasuk di antaranya enam jilid buku Ragam Budaya Betawi yang ditulisnya bersama penulis lain.
Buku Potret Budaya Manusia Betawi (Jakarta: Perkumpulan Renaisance Indonesia, 2011, x + 218 halaman) adalah wujud ketidaksudian Ridwan Saidi menjadi penonton. Sebuah buku yang sungguh memperlihatkan kesadarannya sebagai Manusia Betawi. Suaranya lantang, di beberapa bagian malah sangat sumbang bagi pembaca sasaran tembaknya. Secara keseluruhan, ada sembilan bagian yang menjadi pokok bahasan buku ini. Jika ditarik benang merahnya, ada tiga perkara yang sangat mempengaruhi manusia Betawi—bahkan juga berlaku pada etnis lain yang inklusif—yaitu alam, agama (sistem kepercayaan), dan pengaruh dari luar.
Alam adalah sumber kehidupan. Perhubungan dengan alam telah menumbuhkan kesadaran, bahwa kekayaan alam yang telah menyediakan segalanya bagi kelangsungan hidup manusia Betawi, sama sekali tidak melahirkan sikap eksploitatif atas alam, melainkan persaudaraan, bujuk rayu, bahkan juga pengagungan. Dari sini sesungguhnya sistem kepercayaan (religi) bermula yang lalu mengakar dan mengeram begitu kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Betawi. Dengan pandangan ini, Ridwan sekaligus hendak menolak anggapan yang menyebutkan Hinduisme atau Buddhisme yang menjadi fondasi sistem kepercayaan masyarakat Betawi. Jika memperhatikan karakteristik manusia Betawi—bahkan juga karakteristik sebagian besar suku bangsa kita—yang inklusif dan akomodatif, maka pandangan budayawan Betawi itu sesungguhnya lebih dapat diterima dan sangat masuk akal.
Bagi Ridwan Saidi perkaranya tidak cukup sampai di sana. Berdasarkan sejumlah data linguistik, sangat mungkin yang mula datang ke Nusantara, dan Betawi khususnya, adalah bangsa Mesir dan bangsa Asia Barat (hlm. 57—94). Betawi sebagai wilayah yang begitu bebas didatangi berbagai warga etnik dan bangsa-bangsa asing, tidak terhindarkan menciptakan terjadinya akulturasi, dan sekaligus juga inkulturasi. Penandanya dapat dicermati dari benda-benda peninggalan budaya, bahasa, bahkan juga tata nilai dan pola berpikir.
Pada bagian awal pembicaraan tentang asal muasal manusia Betawi (hlm. 1—18), pandangan Ridwan Saidi tidak sekadar coba menarik persoalannya sampai ke zaman prasejarah, tetapi juga mengaitkannya dengan toponomi dan lingkungan alam yang bagi bangsa mana pun di dunia ini, sangat mempengaruhi perilaku dan tata kehidupan masyarakatnya.
Dari sejumlah penjelasan berdasarkan data linguistik yang dijadikan contoh kasus, Ridwan Saidi menegaskan bahwa hubungan antarbangsa dengan masyarakat yang mukim di Betawi, justru telah terjadi jauh sebelum bangsa Portugis (Eropa) dan Belanda (VOC) menginjakkan kaki di wilayah ini. Secara logika, uraiannya terterima, argumentatif. Meskipun begitu, kurangnya rujukan, termasuk kritiknya atas pandangan “sesat” beberapa pakar tentang asal-muasal Betawi, mengesankan kurangnya data pendukung yang berlandaskan sumber lain. Justru dengan itu pula, kajian yang dilakukan Ridwan Saidi, terbuka untuk didiskusikan kembali.
Pandangan tentang pengaruh kekuasaan pada masyarakat Betawi, Ridwan Saidi menariknya tidak pada zaman kolonialisme Portugis atau Belanda, melainkan ke abad ke-17 pada naskah Wangsakerta (1667), bahkan mencantelkannya juga pada kemungkinan adanya hubungan dengan pendiri Aki Tirem yang berlokasi di Kali Tirem pada abad ke-2. Dalam perkara sistem kekuasaan pada manusia Betawi, Ridwan menolak adanya pengaruh Hindu pada masyarakat Betawi, sebagaimana dikatakannya: “… tidak satu pun orang Betawi yang memeluk agama Hindu, bahkan hampir tidak ada pengaruh Hindu pada peradaban Betawi …” (hlm. 96).
Sebagai budayawan Betawi, buku ini dapat dimaknai sebagai sebagian kecil dari kegelisahan panjang Ridwan Saidi dalam coba mengangkat marwah Betawi. Meskipun dalam bagian Epilog (hlm. 199—206) niatnya sekadar berbuat—sekecil apa pun—untuk kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya, setidak-tidaknya ia telah meneladankan, bahwa hidup adalah penyejarahan. Baginya, hidup bukan sekadar perbuatan (yang mungkin benar, mungkin juga salah), atau perjuangan (yang mungkin tidak dilandasi dasar teologis), melainkan memelihara kehidupan itu sendiri. Dikatakannya, “hidup adalah memelihara kehidupan.” Lantaran hidup hanya sekali, maka peliharalah kehidupan itu. (hlm. 203).
***
Terlepas dari begitu berlimpahnya kesalahan ketik dalam buku ini, saya berkeyakinan, bahwa buku ini termasuk buku yang baik. Atas dasar apa keyakinan itu?
Buku yang baik senantiasa akan memberikan lima hal: informasi, edukasi, kontribusi, inspirasi, dan kontroversi.
(1) Informasi yang disampaikan dalam buku ini tentang dunia Betawi tentu saja penting untuk memahami manusia Betawi dengan segala karakteristiknya yang tidak terlepas dari perjalanan sejarah yang begitu panjang. Uraian buku ini yang sebagiannya bersifat ensiklopedis, memberi banyak informasi tentang dunia Betawi.
(2) Edukasi yang hendak disampaikan Ridwan Saidi dalam buku ini, bukan hanya menyangkut nilai-nilai positif yang melekat pada diri manusia Betawi, tetapi juga penyikapan atas nilai-nilai negatifnya sekaligus. Diperlukan pandangan dan paradigma baru dalam menerjemahkan doktrin agama tentang akherat. Pementingan kehidupan abadi di akherat, tidaklah berarti persoalan kehidupan duniawi serta-merta menjadi tidak penting. Keseimbangan dalam menyikapi orientasi kehidupan duniawi dan kehidupan akherat, secara metaforis dikatakan Ridwan Saidi sebagai: Hidup adalah memelihara kehidupan. Dalam rangka memelihara kehidupan itulah, laku sekadar menjadi penonton hanyalah milik orang-orang yang tidak mau berpikir. Dikatakannya: “Berpikir adalah sebuah kesenangan,” menegaskan pentingnya manusia berpikir agar ia berbeda dengan binatang. Maka, “hanya dengan pendidikan, hanya dengan menumbuhkan lingkungan intelektual” seseorang punya peluang untuk berpikir dan menjadi pemain serta ikut menentukan sejarah kaumnya.
(3) Kontribusi buku ini sesungguhnya punya efek domino. Bagi masyarakat Betawi, buku ini tentu saja penting sebagai contoh kongkret, bagaimana manusia Betawi memelihara kebudayaan kaumnya. Maka, tak ada alasan jika generasi muda Betawi memilih hidup sekadar menjadi penonton. Jika itu pilihannya, tunggu saja saatnya menjadi pecundang. Maka lagi, berbuatlah sesuatu untuk kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Bagi masyarakat etnis lain, penting artinya untuk memelihara ibu budayanya. Keogahan etnis lain dan sikap menjaga jarak dalam persoalan kebetawian menunjukkan masih terlalu banyaknya etnis lain terkungkung pada sikap primordialsme yang sempit. Peribahasa: “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” sekadar pemanis bibir saja. Pertanyaannya kini: berapa banyak etnis lain, suku bangsa lain, yang hidup gilang-gemilang di Jakarta, di tengah masyarakat Betawi, memberi kontribusi bagi kemaslahatan masyarakat Betawi?
(4) Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, buku ini inspiring, memberi inspirasi. Uraiannya yang dalam beberapa bagian bersifat ensiklopedis, memberi inspirasi untuk segera menyusun (a) ensiklopedi Betawi yang tentu penting artinya sebagai usaha pendokumentasian tentang berbagai hal yang berkaitan dengan dunia Betawi; (b) kamus Betawi—Indonesia. Pengertian kalimat: Minta-minta diangkatlah penyakitnya; ngebekasin, jenat, tajir, kored, dan seterusnya, maknanya lain dalam bahasa Indonesia. Maka gagasan penyusunan kamus Betawi—Indonesia, patut kiranya dipertimbangkan; (c) adanya bagian tentang humor Betawi (hlm. 130—162) membuktikan bahwa humor Betawi tidak kalah lucunya dibandingkan humor sufi atau cerita humor lain. Maka, elok pula diterbitkan buku kumpulan humor Betawi.
(5) Kontroversi tidak dapat dihindarkan ketika kita menyimak secara cermat beberapa hal yang berkaitan dengan asal-usul masyarakat Betawi serta kedatangan bangsa Mesir dan bangsa Asia Barat. Dengan begitu, terbuka peluang untuk melanjutkan, memperdalam, bahkan mempertanyakan kembali sejarah kedatangan bangsa-bangsa asing di Nusantara serta pengaruh besar Hinduisme dan Buddhisme.
***
Akhirnya harus saya nyatakan kritik saya atas buku ini, agar tidak berhamburan kesalahan ketik. Kecenderungan Ridwan Saidi bertindak sebagai pemain tunggal dalam menerbitkan buku-bukunya, kerap mendatangkan berlimpahnya kesalahan ketik. Oleh karena itu, perlu campur tangan seorang editor yang memenuhi syarat berikut: (i) menguasai bahasa (Indonesia), (ii) serbacukup memahami kehidupan masyarakat dan kebudayaan Betawi, dan (iii) dapat menerjemahkan kegelisahan Ridwan Saidi dalam usahanya mengangkat marwah Betawi.
Demikianlah!
* Diskusi buku Potret Budaya Manusia Betawi karya Ridwan Saidi (Jakarta: Perkumpulan Renaissance Indonesia, 2011, x + 218 halaman) diselenggarakan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), 10 Februari 2011.
** Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kini bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).