KI DHALANG

Sri Wintala Achmad
__Harian Kedaulatan Rakyat

Seri Bharatayuda telah selesai dibabar Ki Dhalang selama tujuh malam di Gedung Serbaguna Kalurahan Ngudi Budaya. Namun saat fajar hari seusai menggelar lakon Rubuhan, Ki Dhalang tidak beranjak dari depan kelir. Ki Dhalang merasakan kematian keangkara-murkaan Kurawa yang memberi harapan kedamaian jagad raya itu hanya malapetaka baginya. Kekosongan kelir yang teramat mengerikan.

Menyaksikan perilaku Ki Dhalang yang nyeleneh itu, Ki Bancak mendekatinya perlahan-lahan. “Maaf, Ki! Seluruh wiyaga, wiraswara, dan waranggana telah pulang. Mengapa sampeyan masih duduk di sini? Ki Dhalang harus pulang untuk istirahat yang cukup. Lakon Pendhawa Boyong dan Jumenengan Parikesit sudah menunggu giliran.

“Pulanglah dulu, Cak! Aku masih ingin di sini.”

“Tampaknya Ki Dhalang tengah memikirkan sesuatu yang sangat penting. Apa yang tengah sampeyan pikirkan?”

“Tugasmu hanya melayaniku. Kumpulkan seluruh wayang yang telah gugur di Padang Kurusetra itu di halaman Gedung Serbaguna!”

Tanpa sepatah kata, Ki Bancak melaksanakan perintah Ki Dhalang. Memasukkan wayang-wayang ke dalam kotak. Membawanya ke halaman Gedung Serbaguna, “Tugas telah aku laksanakan, Ki.”

“Ambilkan aku bensin!”

“Untuk apa?”

“Tugasmu hanya melayaniku.”

“Baik, Ki.” Ki Bancak meninggalkan halaman Gedung Serbaguna. Beberapa saat kemudian, Ki Bancak telah kembali dengan membawa sedrigen bensin. “Tugas telah aku laksanakan, Ki.”

“Letakkan sedrigen bensin itu di samping kotak!”

“Baik, Ki.”

Ki Dhalang mendekati kotak kayu. Mengambil drigen berisi bensin. Menyiramkan bensin ke kotak. Menyentikkan sebatang korek api yang telah dinyalakan. Sontak kotak itu terbakar. Asap membumbung pekat ke angkasa. Seluruh pegawai kalurahan keluar dari ruang kerjanya. Menyaksikan ulah Ki Dhalang yang semakin nyeleneh.

***

Berita tentang Ki Dhalang yang membakar wayang di halaman Gedung Serbaguna Kalurahan Ngudi Budaya tersiar luas ke seluruh penjuru. Maka tidak heran, kalau malam pergelaran wayang lakon Pendhawa Boyong mampu menyedot lebih banyak penonton ketimbang lakon-lakon sebelumnya. Semenjak dimulainya pergelaran wayang oleh Ki Dhalang hingga adegan Aswatama yang memburu Banowati, seluruh mata penonton tertuju ke kelir.

“Dasar buaya!” Kontet mengumpat dengan lantang. “Siapakah Aswatama itu, Krik? Perilakunya menyamai jago wareng milik tetanggaku.”

“Ia anak semata wayang Pendeta Durna yang lahir dari rahim Wilutama.” Cakrik menghela napas panjang. “Bidadari yang pernah dikutuk Dewata menjadi kuda sembrani.”

“Lantas siapakah perempuan bunting yang diburu-buru Aswatama itu?”

“Banowati. Permaisuri Duryudana yang memiliki PIL Raden Arjuna. Ia lahir dari rahim wanita setia kepada guru lakinya. Setyawati.”

“Lihat Krik! Banowati berhasil digagahi Aswatama.”

Cakrik meludah. Baginya, Ki Dhalang telah melanggar pakem pakeliran. Tuntunan dan tatanan di dalam pertunjukan wayang yang seharusnya dijaga dengan sepenuh daya, justru diobrak-abrik demi kepuasan diri sendiri. Cakrik kembali meluncurkan ludahnya ke tanah.

***

Seluruh penonton cemas, manakala Aswatama dan Kartamarma yang telah melafalkan aji begananda itu berhasil melintasi penjaga gerbang kraton Astina. Di mana keluarga besar Pandawa tengah berkumpul di dalamnya. Sesudah seharian lelah melakukan perjalanan jauh dari Negeri Amarta.

Di bangsal pengapit, Aswatama berhasil menghunjamkan keris ligan ke dada Setyaki dan Udawa yang tengah pulas tertidur. Di taman kaputren, Aswatama menghabisi kisah hidup Subadra, Srikandi, Larasati, Utari, Drupadi, dan Arimbi yang tengah menjaga jabang bayi Parikesit.

Sesudah semua istri Pandawa itu lampus, Aswatama mengangkat keris ligan tinggi-tinggi. Dengan sekuat tenaga, keris itu dihunjamkan ke dada Parikesit. Darah putra Abimanyu yang diharapkan menjadi raja di Negeri Astina itu menyembur. “Mampuslah kamu, anak najis!”

Melihat adegan itu, seluruh penonton murka. Mencaci-maki Ki Dhalang, “Dhalang edan! Dhalang gendheng. Anjing! Babi! Monyet!”

Ki Dhalang tidak menghiraukan caci-maki dari seluruh penonton. Bahkan sensasi yang dilakukan Ki Dhalang semakin menggila. Aswatama yang berhasil memasuki ruang peristirahatan keluarga Pandawa itu berhasil menghunjamkan kerisnya ke dada Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Sadewa, Nakula, Kresna, Jaya Sanga Sanga, Janurwenda, Jaya Sumpena, dan cucu Pandhawa lainnya.

Sontak murka penonton yang menyerupai amuk bah itu tak dapat terbendung lagi. Mereka melemparkan batu, bungkusan plastik air kencing, dan puntung rokok berapi ke arah panggung. Ki Dhalang tidak bergeming, meski seluruh wiyaga, wiraswara, sinden, dan Ki Bancak telah meninggalkan panggung itu untuk menyelamatkan diri.

Tanpa menghiraukan lemparan benda-benda yang menghujani kepala dan punggungnya, Ki Dhalang mencabik-cabik tubuh Aswatama dan Kartamarma yang berebut takhta Astina. Karena belum puas, kayon yang melambangkan kraton Astina itu dicacah-cacahnya dengan parang di atas papan kayu.

Dengan tubuh berdarah yang membasahi blangkon dan surjannya, Ki Dhalang berdiri di depan kelir. “Aku benci perdamaian yang merupakan awal petaka. Aku merindukan kehidupan tanpa perdamaian dan sekaligus petaka. Aku mendambakan kematian sempurna. Bukan akhir dari awal kehidupan.”

Melihat ulah Ki Dhalang yang tak dapat dinalar, seluruh penonton berhenti melempar batu, bungkusan plastik berisi air kencing, dan puntung rokok berapi. Dalam diam, mereka pun tak mengerti. Ketika menyaksikan Ki Dhalang yang menghunus keris itu sontak menancapkannya ke ulu hati. Tubuh Ki Dhalang ambruk di antara dua kotak. Tak terbangun lagi.

Cilacap, 28072010
_______________________
Catatan:
Nyeleneh : aneh.
Sampeyan : andika, anda, tuan.
Pandhawa Boyong : Salah satu lakon wayang pasca Baratayuda yang mengisahkan tentang peripindahan keluarga Pandawa dari Negeri Amarta ke Astina.
Jumenengan Parikesit : Salah satu lakon wayang pasca Baratayuda yang mengisahkan tentang penobatan Parikesit sebagai raja Astina.
Jago wareng : Ayam jantan yang tak bernyali bertarung. Nyalinya hanya merayu babon (ayam betina yang telah mengalami bertelur) dan dhere (ayam betina yang belum pernah mengalami bertelur dan masih berusia muda).
PIL : Pria Idaman Lain.
Kraton : Kediaman raja.
Keris ligan : Keris tanpa warangka.
Lampus : Mati.