Ben Okri, Pak Leo, dan El Boom

Wawan Eko Yulianto *
berbagi-mimpi.info 8 Agu 2007

Andaikan Pak Leo Lumanto mahir menulis novel, dan dia melakukannya sebelum tahun 1991, dan dalam bahasa Inggris, dan distribusinya sampai ke Inggris, tidak mustahil pemenang Booker Prize tahun 1991 adalah Leo Lumanto. Saya yakin Saudara sekalian tahu ke mana arah mimpi saya kali ini. Ya, tentang novel pemenang Booker Prize 1991, atawa The Famished Road, atawa karya Ben Okri, atawa novel yang berkisah tentang alam roh di Afrika.

The Famished Road, yang terjemahan Indonesianya baru terbit bulan Juli kemarin, berkisah tentang Azaru, seorang anak kecil yang sebenarnya adalah abiku, roh yang suka lahir menjadi manusia dan kemudian mati lagi sebelum beranjak dewasa. Nah, pada kesempatan yang diceritakan dalam The Famished Road ini, si abiku, Azaro, memutuskan untuk tidak mati dulu, dia tidak ingin melihat ibunya menderita karena harus berulangkali melahirkan anak dan melihat si anak mati sebelum dewasa. Jadinya, dia pun diteror sama teman-temannya sesama abiku di alam roh, mereka memaksanya agar mati dan melakukan segala cara agar nyawanya melayang.

Terus, yang bikin saya menghubung-hubungkan The Famished dengan dengan Pak Leo Lumanto (dengan segala hormat, pak) adalah: di dalam novel ini banyak sekali diceritakan si Azaro memasuki alam roh dan mendeskripsikan apa-apa saja yang dia lihat di sana. Memang sih, deskripsi hantu di sana agak beda sama kita: ada seorang bocah yang wajahnya rusak separoh karena kecelakaan, ada yang berwujud manusia dengan mata gelap, ada hewan serupa anjing tapi berekor ular (mengingatkan kita pada mantikor dalam beberapa versi mitologi Yunani), ada seorang tua yang kuku kakinya seperti kuku binatang buas. Agak beda dengan yang diceritakan pak Leo dalam acara Percaya Nggak Percaya: ada pocong, perempuan berwajah pucat, k… (hii…, saya sendiri jadi ngeri kalau melanjutkan ini).

Dalam pengantar, Eka Kurniawan (salam kagum!) menyebutkan bahwa Ben Okri berhasil mencuri tradisi literer barat untuk menulis buku ini. Dan Eka Kurniawan juga menyebutkan bahwa ada jejak-jejak Gabriel Garcia Marquez di sini. Mungkin. Sepengetahuan saya (yang cuma baca beberapa saja cerpen dan novel Marquez), saya merasakan kemiripannya ada pada Roh sang guru peramal yang suka hadir di kamarnya meski sudah mati (wah, saya kok lupa apa lagi ya yang sama?). Pemberi komen lainnya mengatakan novel ini realisme magis ala Afrika. Bisa juga mungkin disebut begitu, karena novel ini memang meniupkan aroma realis (mengisahkan realitas yang terjadi, termasuk juga kritik-kritik sosial dan ideologisnya) dan menghembuskan aroma magis yang deras (cerita-cerita tentang alam roh).

Nah, yang seperti itu kemudian membuat saya tersentak. Ternyata lagi-lagi kita kalah langkah, kalah jujur. Pertama kalah sama El Boom, ledakan sastra Amerika Latin realisme magis, yang secara bahan sebenarnya tidak jauh-jauh amat dengan apa yang kita alami di negara kita. Amerika Latin diakuisisi secara budaya oleh bangsa Eropa dan kepercayaan-kepercayaan leluhur–termasuk hubungan antara manusia dan makhluk gaib–menjadi terdesak. Rasionalitas mengganyang spiritualitas dan supernaturalitas. Di Indonesia, infiltrasi budaya profan sedikit demi sedikit menggerus spiritualitas dan supernaturalitas (meski sebenarnya supernaturalitas pernah muncul di tivi sebagai komoditas, barang, tak beda nilainya dengan jualan syampo). Tapi sayang, orang-orang Indonesia modern kalah cepat mengeksplorasi dunia supernatural untuk dituangkan ke dalam sastra (kecuali cerpen-cerpen di majalah Liberty diterima sebagai sastra!). Jadinya Amerika Latin meraja dengan realisme magisnya. Dan kekalahan kedua kita adalah kalah cepat sama Ben Okri yang sudah berani menuliskan alam gaib pada tahun 1991 dengan penggambaran yang jernih dan semangat bercerita yang hidup sepanjang novel.

Jadi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya kita tidak perlu terlongong-longong dengan isi One Hundred Years of Solitude atau The Famished Road. Secara bahan sebenarnya kita ini punya yang tak kalah hebat ketimbang mereka. Kita “hanya perlu” sangat kagum kepada mereka karena keberanian mereka mengungkapkan apa yang mereka miliki dan menuangkan protes tidak dengan emosi meletup-letup dan menghangat-hangat tahi ayam. Kepada diri saya, saya berpesan untuk belajar dari mereka bagaimana memposisikan yang supranatural (yang tidak semua orang percaya tapi diyakini mati-matian ada oleh sebagian orang yang tak sedikit jumlahnya) sehingga hal-hal itu menampakkan signifikansinya ke dalam kehidupan nyata.

Untunglah di antara kita orang Nuswantara ini ada yang telah mencerap semangat itu dan menuangkannya dalam tulisan-tulisan dia. Ya, saya tahu Anda akan bilang Eka Kurniawan. Ya, memang dia yang saya maksud. Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau menunjukkan berkas-berkas saripati semangat El Boom.

Membaca Ben Okri, saya jadi sedikit menyesal (sedikit saja, toh sudah terlewat!) kenapa saya dulu tidak terlalu memperhatikan apa yang dipercaya ada oleh Pak Leo Lumanto dan beberapa orang lainnya. Sungguh, bukan saya mengajak kembali tenggelam ke dalam kegaiban, bukan. Saya hanya ingin bersikap begini: kalau memang menurut sejumlah orang hal semacam itu ada, dan bisa disampaikan untuk membuka kesadaran orang atau untuk menyampaikan kritik-kritik halus, kenapa tidak kita lakukan? Sepertinya begitu moral dari luar cerita.

Isi The Famished Road sendiri? Keunggulan-keunggulan sastrawinya? Akrobat-akrobat literernya? Sepertinya lain kali ya. Dan saya sendiri merasa kurang berkewenangan melakukan itu, secara saya ini kan cuma pemimpi (alah! kok sok menggunakan gramatika jakarta gini penutupnya!). Have a nice go!

have a nice reading… and please consider ethics even in this opensource era…
***

*) Wawan Eko Yulianto, lulusan sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang, telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa penerbit: GPU, Jalasutra, Ufuk Press dan Banana Publisher. Aktif di Bengkel ImaJINASI dan OPUS 275.