Yonathan Rahardjo *
“Booming” multikulturalisme (pertama kali diistilahkan pada 1957 di Swiss, masuk Kanada 1960, lalu menyebar ke negara-negara berbahasa Inggris, Eropa, Amerika dan seluruh dunia sampai kini) menggiring begitu banyak penulis kita mengaitkan sastra dan multikultural sebagai bagian yang terpisahkan guna menjadi pijakan pemikiran (yang dapat diubah dengan kata-kata dalam sastra) untuk mengatasi masalah-masalah ketegangan antar suku, ras, agama dan antar golongan yang sesekali meletup dan kadang ada yang meledak (meski berbagai instrumen jaminan kebhinekaaan diwujudkan) mendirikan bulu kuduk.
Dari berbagai pemikiran (tulisan penulis Indonesia, kajian ilmiah, seminar dan lain-lain) tampak kesadaran bahwa sejatinya orang Indonesia adakah mutikultural dicuatkan dengan menyigi sejarah sejak jaman Nusantara (juga pada jaman berkesadaran literer yang dilisankan adanya Kakawin Negarakertagama dan Sutasoma) sampai jaman Indonesia dalam cekaman terorisme dan dominasi neokolonialisme sekarang ini.
Kesadaran para penulis bahwa ihwal multikultural sudah mewarnai sastra Indonesia modern tampak dengan dibuka dan diakuinya sastra-sastra “picisan/ liar” (di luar terbitan Balai Pustaka) yang tidak diakui pemerintah Hindia Belanda sangat kental warna multikultur cebagai cermin dan kegelisahan masyarakat saat itu (gambaran tiruan dari realitas dalam konsep mimesis model Plato).
Di luar Balai Pustaka, sastra baru masuk dalam kemerdekaannya untuk bermultikultural juga setelah Indonesia merdeka terlebih setelah tahun 1950, dan seterusnya sampai kini.
Pembentukan kebangsaan Indonesia dengan diaspora budaya ke berbagai wilayah Indonesia lalu terjadi asimilasi kultur di berbagai daerah dan suku di Indonesia sesungguhnya cermin multikulturalisme sendiri yang sejatinya merupakan dasar kehidupan budaya di Indonesia. Namun boleh dikata multikultur Indonesia telah menjadi monokultur, artinya multikultur telah disirnakan dengan dalih Negara Kesatuan, Sumpah Persatuan, slogan persatuan (yang sering masuk “jurang kesatuan” dan meniadakan makna persatuan).
Proses multikultur tersebut dianggap hanya sebatas proses dan bermuara pada satu kultur Indonesia, ini hal yang telah menyeret kita makin jauh dari hakekat setiap manusia dan kumpulan manusia adalah plural (jamak, majemuk) dan masing-masing berbeda (bhinneka), hal penting yang mestinya dijaga untuk menjaga dan menghormati dalam kerukunan hidup bersama dari fitrah manusia yang unik.
Yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa setiap kita berbeda budaya dan tidak hanya sendiri (alias plural). Pengelompokan budaya-budaya berdasar suku atau daerah, cuma cara untuk mengelompokkan dalam skala-skala. Bukan berarti dengan demikian perbedaan budaya dalam setiap anggota tiap suku atau daerah sudah diredusir. Yang ada adalah dapat hidup bersama dalam dunia yang sama dengan saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing (masuk katagori pluralisme).
Ketika hubungan plural ini saling mempengaruhi meski adanya perbedaan-perbedaan (berbhinneka) yang ada adalah proses multikulturisasi, bukan lagi sekedar pluralisme yang mengutamakan perbedaan tanpa konflik asimilasi.
Tanda-tanda multikultur tampak pada karya-karya sastra merupakan keniscayaan, secara langsung maupun tak langsung. Mulai dari tanda multikultur sebagai latar, pilihan pengucapan (tak lebih sampiran dengan isi cerita tak menghunjam ke ranah konflik multikultur) sampai ke esensi dengan ketegangan-ketegangan di dalam proses menuju multikultur.
Oleh karena itu dapat dipahami mengapa dengan enteng beberapa ilmuwan sastra memilah dan memilih karya-karya yang masuk katagori multikultur (misalnya hanya berdasar setting dan keterlibatan orang-orang dari budaya/ suku/ bangsa berbeda). Semua merupakan keniscayaan.
Kultur (budaya) bukan barang jadi, ia tercipta melalui proses. Multikulturalisme yang menekankan keberagaman budaya dengan persamaan hak dan kedudukan (keberadaan egaliter dalam suatu kehidupan bersama yang saling mempengaruhi) mendudukkan elemen-elemen yang ada pada kultur (yang diidentifikasi) untuk bingung sendiri (sebenarnya dia memang terindentifikasi sebagai kultur-kultur sejati, kultur ciptaan, atau kultur seolah-olah).
Dengan demikian identifikasi kultur bagian dari multikutur sangat berpotensi mencabut keunikan masing-masing elemen dalam kultur itu sendiri. Hal ini sangat mungkin terjadi saat penguasa/ mayoritas memetakan kultur-kultur itu dalam bingkai hidup bersama. Terjadilah korupsi dalam multikultur itu.
Contoh nyata (sebagai ilustrasi, anggaplah agama merupakan kultur) agama resmi di Indonesia (Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buda) hanya dibatasi agama-agama ini, maka dengan mudah agama di luar agama-agama resmi itu tidak mendapatkan udara sesegar mereka. Demikian juga kasus Ahmadiyah di Islam, Saksi Jehovah dan Mormon dan lain-lain yang mendapat stigma sebagai sesat dalam lingkup masing-masing agama dan ada yang diseret ke ranah kebijakan negara yang melarang aktivitas mereka.
Karya sastra yang tidak sekedar berhenti sebagai tiruan dari realitas, tapi juga pembelajaran dalam pendidikan dan komunikasi makna (konsep mimesis model Aristoteles), sudah semestinya tidak cukup sekedar memotret peta adanya kultur-kultur yang ada dalam kacamata mayoritas itu. Namun, lebih menjalankan fungsi gelisah terus menyoal unsur apa yang terdapat di dalam multikultural itu sekaligus dialektikanya (yang sudah pasti ada nilai historis dari materi-materi pembentuknya).
Dengan lebih melacak jejak ini, fungsi sastra yang diharap turut membantu tata hidup manusia berdampingan satu sama lain secara harmonis dipercaya dapat mewujudkan kehidupan multikulturalisme yang bukan justru memotong kaki multikulturalisme sendiri.
Bila dalam kritik terhadap multikulturalisme dikatakan multikulturalisme berhadapan dengan isme-isme yang lain, sesungguhnya merupakan paradoks dari esensi multikulturalisme sendiri. Multikulturalisme semestinya dapat memayungi isme itu (ingat dari suatu isme dapat lahir suatu kultur atau sebaliknya). Sementara setiap isme hampir selalu berhadapan dengan isme-isme yang berbeda, bertolak belakang, atau saling melengkapi, atau saling meniadakan harus dicari jalan keluarnya bukan seperti masa pemberantasan PKI dan ormas-ormasnya sampai ke akar-akarnya terkait kultur dan isme-nya.
Keterlibatan semua unsur budaya begitu kompleks dalam berbagai hal (mulai dari masalah perut/ ekonomi, sampai masalah politik dan kekuasaan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia). Tidak mungkin pemaksaan budaya (isme dan lain-lain) dapat merobotkan manusia menjadi seragam. Ada batas-batas di mana isme-isme dan budaya itu bisa tumbuh dan berkembang. Batas itu dapat dicipta secara horisontal (dengan faktor dan elemen pembangun dalam suatu masyarakat yang secara sukarela mau memakai isme dan kultur itu). Pilihan lain yang umum terjadi adalah inkulturasi, perkawinan budaya (asal aman dan damai sejahtera tidak masalah), asimilasi sebagai ciri dari multikulturalisasi sendiri.
Sastra punya peluang untuk menyumbang pada masyarakat di wilayah itu dengan simbol-simbol dan tanda-tanda (baik sebagai penanda maupun petanda) yang lebih dalam eksplorasinya dan mengena pada hati nurani, rasa, keindahan dalam seni sastra akan memboyong perubahan pikiran masyarakat pembaca kepada suatu langkah ekstrinsik. Karena keterbatasan manusia yang mudah lupa dan mudah puas diri, langkah ekstrinsik ini akan terus digelisahi dengan laku intrinsik pada karya-karya sastra selanjutnya, tanpa henti.
Konkritnya, penulisan sastra yang menyoal masalah multikultural tidak berhenti pada simbol-simbol verbal (seperti hubungan orang dari suku/ bangsa tertentu dengan suku bangsa yang dengan segala atribut bahasa, lokalitas dan atribut tertentu dalam karya-karya sastra, seperti banyak dijadikan contoh sebagai karya sastra multikultural oleh pengamat sastra) yang membatasi kultur dalam lingkup identitas jadi yang berpotensi korup kultur dan mengebiri hak-hak minoritas dalam kultur yang sama.
Jelas, sastra yang menyoal gagasan atau realitas multikultural mesti jeli menampilkan problem-problem mendasar dari proses multikulturalisasi ini. Kalau manusia (apalagi penguasa) berpotensi korup, maka apapun isme (terlebih para pelaku konkritisasinya) juga berpotensi korup dalam melanggengkan isme, aliran, ideologinya. Bekal tentang makna dan seluk beluk multikulturalisme perlu dipersiapkan sesiap-siapnya (tidak sekedar mengikuti arus “booming” dan propaganda positifnya semata lalu ramai-ramai menulis tentang sorga multikulturalisme).
Berdasar pembacaan-pembacaan karya yang dianggap bernuansa multikultural selalu tampak ada tarik-menarik, ada nilai yang dikalahlan atau menang, ada ‘pertobatan’ dari pihak yang dianggap salah lalu tercipta kerukunan antar pihak yang bersitegang dengan suatu nilai baru, atau setelah ketegangan dibiarkan mengambang. Thema yang diangkat (dan sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat), dalam berbagi kehidupan bersama yang multikultur pun demikian adanya. Mendudukkan pihak-pihak yang saling berhadap-hadapan itu sebagai egaliter dalam tawar-menawar itu bukanlah pekerjaan mudah (juga tidak semudah orang mengakui dirinya egaliter dengan orang lain bila harta, tahta/ kekuasaan dan populasinya berbeda, dengan banyak kasus terjadi antar agama di Indonesia).
Tak berlebihan banyak pihak mengatakan multikulturalisme sebagai hal yang kekanak-kanakan, absurd, tidak mungkin, tidak menarik, dan gagal (terutama dalam mengatasi masalah-masalah konflik antar agama, suku, bangsa dan lain-lain). Tentu saja semua isme (termasuk multikulturalisme yang dituding banyak pihak sebagai akal-akalan liberalisme dan kapitalisme guna melanggengkan dominasinya) akan mengalami nasib yang sama (sebagaimana komunisme dianggap banyak pihak sebagai ideologi yang sudah bangkrut), bila isme-isme ini ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik.
Belajar dari pesismisme banyak kalangan di sini (sekaligus dari optimisme sebagian kalangan bahwa jawaban yang paling masuk akal adalah pluralisme yang secara wajar mengakui semua dari banyak pihak berbeda dan untuk hidup bersama secara rukun cukup saling menghormati satu sama lain), sastra tentu punya jalannya sendiri. Ketika semua gagasan tak dapat membuat hidup manusia lebih sorga di atas bumi, sastra akan mencari celah-celahnya sendiri.
Pasti ada sastra yang mengikuti aliran ideologi sendiri dan menyuarakan kepentingan kekuasaannya sesuai dialektikanya. Pasti ada sastra yang mengikuti hati nuraninya dan berjalan di atas semua isme itu tanpa pandang bulu, karena isme-isme itu hanyalah kesementaraan pikiran manusia, dan yang penting tata hidup manusia bersama di bumi yang satu ini masing-masing dapat hidup (sekali lagi) damai sejahtera di bumi seperti di Sorga.
Sastra yang terakhir ini tentu juga tak bakal segan memakai multikulturalisme sebagai salah satu alternatif senjata guna terus menggelisahi masalah terkait (karena keyakinannya kata-katanya akan mengubah pikiran orang untuk bertindak atau bahkan mengatasi masalah), yang mungkin (tepatnya umumnya) bukan dirinya sendiri yang menjadi eksekutor masalah itu dalam tata hidup bersama sesama manusia.
Bojonegoro, 8-10-2011
[Makalah Temu Sastra Jawa Timur 2011]
*) Yonathan Rahardjo, kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur 17 Januari 1969. Karya-karyanya diantaranya: Novel: Lanang (2008), Taman Api (2011), Wayang Urip (2012), Anak Turun Airlangga (2019), Pertobatan Seorang Golput (2019), Antologi Cerita Pendek: 13 Perempuan (2011), Antologi Puisi: Jawaban Kekacauan (2004), Kedaulatan Pangan (2009), Ilmiah Popular dan Jurnalistik: Avian Influenza, Pencegahan dan Pengendaliannya (2004), Air Sehat untuk Ternak Ayam (2012), Mengatasi Stres Ayam (2012), Flu Burung, Kajian dan Penanggulangan (2014), Beternak Ayam Petelur (2016), Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro (2018).