Quo Vadis Standardisasi Puisi?

Alief Mahmudi *
seputar-indonesia.com

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah acara diskusi rutin yang diselenggarakan komunitas Kutub Yogyakarta membahas tentang puisi karya seorang penyair yang hilang, Wiji Thukul.

Dalam diskusi yang sesekali memancing perdebatan panjang itu,ada beberapa hal yang tercatat, terutama dalam masalah kritik sastra. Berawal dari sebuah pertanyaan yang menyinggung bentuk puisi Wiji Thukul, yang menuliskan puisinya dengan bahasa gamblang dan lebih menyerupai orasi, pembahasan melebar sampai wilayah keabsahan suatu karya hingga dapat disebut sebagai puisi.

Seorang peserta diskusi dengan ngotot menyampaikan bahwa karya Wiji Thukul bukanlah puisi, melainkan orasi ataupun pidato politik. Pasalnya, puisi-puisinya tidak mengindahkan estetika bahasa. Perdebatan yang alot dan panjang itu spontan mengingatkan penulis pada ungkapan seorang kritikus, Ahmad Mufid AR, beberapa tahun lalu, yang dengan terang menyebutkan bahwa buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Musthofa Bisri bukanlah kumpulan cerpen, melainkan kumpulan khotbah.

Dari sini,penulis pun tidak bisa menghindar dari pertanyaan, apa sebenarnya syarat sebuah karya hingga sah untuk disebut cerpen atau puisi? Dan perlukah adanya patokan- patokan atau standar sebuah karya sastra? Fakta bahwa perdebatan dalam diskusi itu tak menemukan kesepakatan, dengan merujuk beberapa pemikiran, penulis pun mencoba merangkai-rangkai bagaimana mestinya sebuah karya sastra, terutama puisi.

Kenyataan bahwa perjalanan sastra Indonesia hingga kini masih mencari bentuknya, menggelitik minat untuk sedikit urun rembuk dalam menggagas karya sastra Indonesia ke depan. Sejak dahulu, karena banyaknya bentuk dan model puisi yang berkembang di Indonesia, gagasan untuk memberikan kriteria-kriteria tertentu guna membedakan mana karya yang layak disebut puisi atau tidak memang sangat sulit.

Berbeda dengan negara Arab misalnya,yang memiliki patokan jelas untuk sebuah karya sastra. Bentuk dan isi puisi Indonesia selalu berubah sesuai dengan perjalanan waktu serta kondisi lingkungan sosialnya. Sebagaimana puisi Wiji Thukul,jika dihadirkan pada masa kini maka orang akan melihat itu adalah sebuah orasi. Seperti sebaris puisinya yang berbunyi, “Hanya ada satu kata, lawan!” yang hingga kini masih abadi dalam setiap kegiatan demonstrasi.

Jika ditabrakkan, sebaris puisi di atas tentu mengalami keminderan dengan karyakarya sastra masa kini. Pembaca tentu merasa tidak menemukan estetika bahasa di dalamnya, sementara puisi-puisi lain syarat permainan bahasa. Akan tetapi, sejarah telah membuktikan, sebaris kalimat itu mampu menggerakkan demonstran pada masa jatuhnya Orde Baru silam. Jadi, dari sini sedikit kita dapat tarik gambaran, bahwa setiap puisi memiliki “rumahnya” sendiri-sendiri.

Maka melihat kerangka ini kita pun dapat memahami, bahwa segala jenis dan bentuk puisi yang hadir di masa kini, adalah bentuk dari sebuah ekspresi kesenian yang muncul dari pengaruh kondisi sosial yang ada. Maka itu, gagasan bahwa harus ada standarisasi dalam pengesahan suatu karya untuk dapat disebut karya sastra adalah tidak mungkin.

Sebagaimana diutarakan Abdurrahman Wahid (2001) dalam sebuah esainya yang bejudul Negara dan Kebudayaan. Dia mengatakan bahwa puisi berada dalam wilayah budaya, dan budaya bukanlah suatu benda mati, melainkan seni hidup (the art of living). Dengan kata lain, kebudayaan adalah sesuatu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Amatirisme

Akan tetapi, dari sini kembali muncul permasalahan.Jika perkembangan puisi diserahkan sepenuhnya kepada penulis dan tanpa adanya sebuah patokan yang jelas, yang terjadi adalah amatirisme dalam berkarya. Seorang penulis bebas melakukan kehendak hatinya tanpa ada rasa tanggung jawab terhadap karya itu. Di samping itu, para sastrawan yang telah memiliki nama di mata publik pun akan bersikap “ngawur” dalam menciptakan karya-karyanya.

Sebagaimana contoh, satu puisi Sutardji Chalzoum Bachri yang berjudul Kalian. Dalam puisi itu,hanya berisi satu kata, “pun”. Bagi sebagian masyarakat, puisi ini tentu sangat mengganggu pikiran. Bagaimana Sutardji—yang terbukti memiliki kredibilitas dalam dunia kepenyairan—dengan begitu mudah mengeluarkan satu kata dan itu disebut puisi.

Kritik Sastra Baru

Satu langkah yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan kembali gerakan kritik sastra.Dalam hal ini, keberadaan seorang kritikus sastra menggantikan esensi dari standardisasi. Dalam kegiatan ini, kritikus sastra tidak berjalan atas sebuah kerangka teori dan standar sebagaimana dalam sebuah karya ilmiah yang syarat batasan.

Namun, tugasnya adalah memperbaiki puisi dari sudut pandang bagaimana puisi tersebut hidup di tengah masyarakat, dan apa saja kekurangan-kekurangannya. Acuannya yakni ketika sebuah karya telah dilemparkan ke publik, sejauh mana puisi itu berperan dalam konteks wilayah yang diusungnya.

SI: 16 October 2011

*) Alief Mahmudi, peneliti kebudayaan IDEKATA. Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.