Ahmad Zaini *
Sayup terdengar hembusan angin malam. Gemerisiknya menimbulkan bunyi irama mendesah di tengah keheningan malam. Aku tersadar dari kantuk di malam itu. Mata penat kubuka perlahan menatap sekeliling yang hanya terlihat temaram lampu yang menyala tak sempurna. Tanganku merayap menggapai dinding yang catnya mulai mengelupas. Kasap pasir yang tak berselimut semen membuat telapak tangan sedikit tergores.
Ah, malam. Engkau telah menggelapkan pandangan. Mataku tak mampu menerobos tebal gelapmu yang pekat. Namun mata hatiku masih berusaha menembus kegelapan dengan ketajaman insting. Pendengaranku merajut suara yang timbul tenggelam di tengah gemerisik gesekan dedaun pohon. Hatiku tergugah. Kaki yang semula terbujur, bergerak menyangga tubuh yang lemas. Suara rintihan. Ya, suara rintihan di balik tirai malam.
Hatiku semakin penasaran. Aku mencari tahu suara-suara rintihan yang selalu hadir di tengah malam itu. Jika diperhatikan suara itu, seperti seorang gadis yang merintih kesakitan. Tapi kalau diperhatikan lagi terkadang menyerupai gadis yang sedang mendesah menikmati kehangatan malam. Dengan pandangan mata hati, kucoba menelusuri suara rintihan yang terkadang menyayat juga terkadang menggairahkan.
“Wih, merinding!” ucapku.
“Aku harus berani menyibak rintihan misteri di tengah malam. Aku akan mencari tahu sendiri tentang arah suara itu,” kataku meyakinkan diriku sendiri.
Pada pertengahan malam, saat sinar purnama mengguyur bumi. Aku sengaja tak memejamkan mata. Aku begadang hingga aku berhasil mengetahui suara rintihan itu. Tepat di tengah suasana hening, aku mengarahkan pendengaran ke suara di sekeliling rumahku. Tiba-tiba muncullah suara rintihan dari gedis yang tersembunyi di balik tirai malam. Kupertajam pendengaranku dengan menghentikan napas yang sempat terengah karena tegang. Kuperhatikan ternyata suara rintihan itu tak jauh dari tempat aku berdiri.
Suara itu mendayu-dayu seakan meminta pertolongan. Aku berhasrat ingin menolongnya, tapi wujud dari suara itu tak tampak. Aku belum berhasil menyibak kegelapan yang menyembunyikan suara tersebut. Jemari tanganku kucakarkan pada pekat malam namun tetap saja tak mampu membongkar mesteri yang membuatku penasaran dalam seminggu ini.
”Ayolah…, tampakkan wujudmu! Aku akan menolongmu,” bisikku pelan.
Mata hatiku sejenak kehilangan rintihan tatkala kucing jantan melompati pagar di depanku. Sontak saja bulu kudukku berdiri. Tubuhku merinding disertai rasa gemetar oleh seramnya malam.
”Tolong, aku! Tolong, aku!” rintih suara dari balik gelap malam.
Rintihan itu sekejap hilang lantas muncul suara dua lelaki yang saling mengumpat. Mereka rupanya dua lelaki yang sedang memperebutkan cinta dari gadis yang selalu merintih.
“Tapi di manakah mereka?” tanyaku penasaran.
Kuberjalan menyelinapi rerimbunan bunga taman. Batang-batangya kuterjang hingga bunga indahnya terkoyak oleh sapuan kakiku.
“Masak di dunia ini hanya ada satu wanita saja. Setiap malam mereka berkelahi memperebutkan cinta gadis yang aku sendiri belum tahu wajahnya,” gumamku dalam hati.
Dari suara rintihan yang kudengar, pastilah gadis itu cantik jelita. Aku mendengar dari desah napasnya yang memancarkan aroma kecantikan dan menebar birahi yang luar biasa. Aku sendiri sempat terangsang oleh rintih kesakitan yang mencuat dari balik tirai malam. Akan tetapi, rasa itu segera kuusir dengan rasa iba dan bersegera ingin menolongnya.
“Mas, tolonglah aku!” suara mendayu merembeti gelombang alam.
Aku tersentak mendengar suara itu. Langkah kakiku mendadak berhenti lantas kujulurkan tanganku menembus batas antara diriku dan dirinya. Aku melihat bayang-bayang semu yang menggeliat membutuhkan pertolonganku. Rambut panjangnya teracak-acak oleh cakaran-cakaran jemari dua lelaki yang memperebutkannya. Aku tatap setiap gerik dari mereka. Bayangan gadis itu semakin kabur dan dalam waktu sekejap bayangannya menghilang bersama kabut pagi.
“Aduh, gagal lagi!” kataku kesal.
Matahari pagi muncul kemudian mengusir embun-embun yang merangkul rerumputan semalam suntuk. Embun-embun itu juga merasa ketakutan seperti yang kualami pertama kali. Sinarnya menerpa mataku yang sayu. Pedih rasanya sinar matahari di siang itu. Kedua telapak tanganku mengayomi kedua mataku yang tampak memerah. Perlahan-lahan mataku menyipit lalu aku terbuai dalam tidur siang.
Badanku terasa pegal-pegal semua. Seluruh tubuhku terasa remuk dihantam angin malam. Tanganku kesemutan tak mampu menyangga secangkir teh hangat sisa semalam. Lantas aku biarkan secangkir teh itu duduk sendiri di atas meja marmerku.
Di siang bolong rintihan gadis itu muncul mengundangku. Ia seakan membutuhkan pertolonganku. Di tengah rintihan, terdengar pula suara bak-buk, bak-buk, bak-buk. Rupa-rupanya kedua lelaki itu berhantam berebut cinta yang bersemayam di balik rintihan gadis itu.
”Di mana kau?” teriakku padanya. Namun suara itu menghilang lagi ditelan angin siang.
Gelisah hatiku memikirkannya. Aku ingin menolongnya tapi tak tahu bagaimana caranya? Aku hingga saat ini hanya mendengar suara rintihnya yang terbang bersama angin yang melintasi telingaku. Aku tak tahu rupanya, juga tak tahu namanya. Mana mungkin aku bisa menolongnya?
“Tolong, Mas! Aku haus…!” rintihan itu muncul lagi.
“Iya, di mana kau? Aku akan membawakan secangkir teh yang sudah kupersiapkan sejak semalam. Maukah kau datang lalu memperkenalkan dirimu ke kepadaku? Jika kau mau datang aku akan mengentaskanmu dari penderitaan yang kau alami. Ulurkan tanganmu….!” teriakku sendirian.
”Ini kujulurkan tanganku. Sambut dan dekaplah diriku!” katanya mendesah. Kedua tangan kujulurkan lewat celah-celah rerimbunan semak. Namun itu hanya fatamorgana. Aku tak pernah bisa menyentuh tangannya. Tak pernah aku membelai rambutnya. Tak pernah aku memeluk tubuhnya. Semua yang kulakukan seakan hanya menyentuh, membelai, dan memeluk udara hampa.
Aku terkesima saat melihat kanan-kiriku sepi tak ada orang yang bersimpati. Aku semakin menderita oleh sayatan rintih gadis yang bersembunyi di balik tirai. Mataku memerah karena hampir seminggu aku tak tidur malam. Suara-suara itu yang selalu membangunkan aku dari tidurku.
Pada lembaran koran terdapat sebuah berita. Dalam halaman utama tertulis, ”Suami Cemburu, Cakar Sang Maru”. Aku teringat oleh peristiwa yang selama ini membayangi hidupku. Apakah yang mereka alami seperti kejadian yang tertulis dalam koran ini? Dari setiap bayangan yang kulihat, ada dua lelaki yang sedang berkelahi. Mereka semakin garang jika mendengar rintihan gadis yang menggeliat di sampingnya. Bau anyir darah selalu menusuk hidung bercampur dengan aroma wangi gadis itu. Rasa mual membuncah ingin keluar muntah. Pening kepalaku samakin menjepit seakan mau menghancurkan kepala yang keras ini.
Lambat laun rintihan itu memenuhi otakku. Setiap malam aku teringat rintihan yang mengharu biru kalbu. Ketika siang datang bersama sang raja, dalam lamunanku hanya liukan gadis itu yang bermain di kelopak mataku. Aku semakin heran pada diriku sendiri. Aku belum mengenalnya. Aku belum pernah berjumpa dengannya, namun getaran dalam hatiku terukir oleh bayang-bayang wajahnya.
”Apakah aku sudah gila? Tidak. Tidak! Aku tidak gila,” tanyaku lantas kujawab sendiri.
Rentihan itu muncul yang kesekian kalinya. Aku dibuat sibuk olehnya hingga pekerjaan rutinku terbengkalai oleh bayangannya. Aku ingin mengusir rasa ini dari otakku, namun semakin kupaksa pergi, dia semakin menggila bermain dalam ingatanku.
”Aku menyerah. Aku pasrah. Tak kuasa pikiranku menjangkau sesuatu yang sangat mustahil menurut ukuran akal sehat. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta kepadanya? Itu kan hanya bayangan!” kataku pasrah bercampur penasaran.
Sejengkal demi jengkal langkah, aku merambat meninggalkan tempat yang penuh dengan onak. Aku akan pergi mencari realita. Aku ingin yang nyata. Dalam hati yang suci, aku dituntun menelusuri jalan hari dengan harapan semoga Tuhan membuka mata hati yang terbelenggu oleh tirai selama ini. Bayang-bayang gadis yang selama ini mengusik hariku, siapa tahu akan muncul kemudian menyambut diriku dengan uluran tangannya yang lembut dan putih berseri.
Bau anyir darah menyeruak memenuhi udara di tengah perjalananku. Tetes-tetes merah memenuhi jalan setapak yang kulalui. Kedua lelaki itu tersungkur bersimbah darah cemburu. Seorang gadis berderai air mata berlari meninggalkan kedua lelaki yang telah menjemput ajalnya sendiri. Ia berlari menuju ke arahku kini. Ia menjulurkan tangannya lalu kusambut dengan mesra.
__________________________
*Dilahirkan di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di Tabloid Telunjuk, majalah sastra Indupati (Kostela), majalah MPA (Depag Jatim) dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya terkumpul dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006). Selain menulis, juga sebagai pembina di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat. Penulis beralamt di Wanar Pucuk Lamongan. Email: ilazen@yahoo.co.id.