Hujan

Sutardji Calzoum Bachri
Kompas, 24 Juni 1990

Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar.

“Alhamdulillah hujan,” bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan.

Jika hujan datang, ia serasa kedatangan teman yang akrab. Tapi, Ayesha tak membukakan pintu bagi sahabatnya itu. Ia hanya menyibakkan gorden di ruang depan dan dari kaca jendela diamatinya hujan di halaman. Ia juga tak mengucapkan selamat datang. Buat apa, hujan selalu selamat. Kalau kata-kata semacam itu diucapkan bakal berlebihan, pikir Ayesha.

Bermula karena merajuk pada matahari, ia beranjak senang pada hujan. Itu ketika masih usia sekitar lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan anak tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam dibantai panas siang.

Kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap saja ia lebih senang pada hujan. Dari hari ke hari, dari hujan ke hujan ia selalu semakin senang pada hujan. Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap ke luar. Guru mula-mula kesal, tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimana pun, ia anak yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya.

Tidak sekadar senang pada hujan, kemudian ia pun bertanya-tanya sendiri tentang hujan. Bukan cuma butir-butir air yang mengucur di langit. Bukan hanya butir-butir runcing di ubun-ubun ketika orang lewat di jalan. Pastilah ada sesuatu yang lain dari hujan, begitu pikir Ayesha. Lantas, setiap hujan datang ia selalu menyapa, apakah hujan. Hujan menjawab dengan hujan. Dengan gemericik air, dengan gemertap di atap, dengan butir-butir dingin dan segar yang bersambungan sampai langit.

***

Kini, dalam jenjang usia enam belas, bagian-bagian tubuhnya elok membesar, bersama hati dan pikiran yang ikut berkembang. Dari hujan ke hujan, hujan semakin membukakan diri selapis-selapis padanya. Dan ia mulai semakin paham hujan. Lewat kaca jendela, ditatapnya hujan yang sedang membukakan makna. Butir-butir air lebat bersama angin menyibakkan dedaunan di halaman, dan pada dedaunan itu hujan menjadi dedaunan hujan. Deras hujan meniti-niti pagar dan pada pagar itu ia menjadi pagar hujan.

Lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan menjadi ranting hujan. Hujan pun berkisar dan mengusap-usap mawar, dan pada mawar itu menjadi mawar hujan. Lantas, pada buah jambu hujan menggelembung dan menjadi buah hujan.

Ayesha ingin memetik buah hujan tanpa menanggalkan jambu. Ia ingin meraih mawar hujan tanpa mengganggu mawar halaman. Ia ingin meniti dahan dan menyibak-nyibak ranting hujan tanpa mematahkan ranting dan membebani dahan itu. Ia ingin berjingkat pada pagar hujan tanpa menginjak besi pagar. Ia ingin, tapi ia tak mau membuka pintu melangkah ke luar dan masuk ke dalam hujan.

“Buat apa? Bercakap-cakap dengan hujan, memetik hujan, bukanlah harus berhujan-hujan. Engkau memetik makna ucapan orang, tidaklah harus masuk ke mulut orang atau memetik lidahnya,” bilang Ayesha.

***

Dan ia pun kini paham, hujan di luar mengajak bangkit hujan yang di dalam dirinya. Nyanyi hujan di atap, lambaian hujan pada dedaunan, dan kaki-kaki hujan di halaman terus memanggil-manggil. Jangan engkau bilang bunyi hujan. Hujan bukan sekadar gertap di kaleng Khong Guan, misalnya. Bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang mendedah sastra, nyanyi, musik, atau tari. Lihatlah, hujan menyibak-nyibakkan tarian pada dedaunan dan melantun anggun pada dahan dan batang.

Terpagut pada tari hujan, Ayesha mulai bersijingkat ke tengah ruangan dan segera melangkahkan tarian. Bagai angsa mengarungi telaga, ia pun asyik melayarkan tari. Ah, tidak tepat benar seperti angsa. Angsa tak pernah basah dengan tarian, sedangkan Ayesha melulu basah dengan tarian. Namun, jika engkau cicip tengkuk atau sikunya, kau takkan merasakan asin keringat di sana. Arena yang basah itu hujan.

Ia telah menjadi hujan sekarang. Ia menderas dari pojok ke pojok ruangan menarikan hujan. Bila piroutte ia putarkan, hujanlah yang memutarkan. Sesaat ia tegak tenang, membuat batang hujan dari lekuk tubuhnya dan membiarkan rintik-rintik tari merajut-rajut rambut hujan di tengkuknya. Lantas, jari-jemari kakinya meniti-niti tari sambil membiarkan tempias tari di lantai. Maka, lantai ruangan ikut basah dengan tarian. Lihatlah, ia menekukkan lutut dan tangan anggun tarinya memetik kuncup hujan yang perlahan-lahan berkembang menjadi mawar hujan ke seluruh badan. Lalu, datanglah kupu-kupu hujan dari negeri yang jauh menangkup telinganya, membuahinya dengan rintik-rintik musik dari negeri kekal yang dekat sekaligus jauh.

Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan. Sekarang ia telah sampai pada kematangan hujan. Jika tarinya membelai mawar hujan, hujanlah yang membelaikannya. Bila ia memetik musik hujan, hujanlah yang memetikkan.

***

Dalam puncak hujan tarinya itu, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Ayesha tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari supermarket terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan.

Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah di sana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk di kamar.

“Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha,” ujarnya sambil mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan gumpalan jari-jemari katun handuk itu perlahan-lahan mengembalikan Ayesha pada dunia yang kering kerontang.

Diterbitkan: harian Kompas, 24 Juni 1990. Dimuat dalam buku Hujan Menulis Ayam, Magelang: Indonesia Tera, 2001.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=211694385526101