Pok Ami-Ami

Lan Fang
Pikiran Rakyat, 01 Mei 2008

Namaku Pipin. Dulu aku tinggal di sebuah desa di Kecamatan Rongrong. Umurku delapan tahun, belum lulus sekolah dasar. Tetapi, aku sekarang tidak sekolah lagi karena yang kelihatan dari sekolahku cuma kerangka atap. Selebihnya, yang terlihat cuma genangan bubur mendidih yang menjadi kolam. Setiap hari bubur itu semakin meluber seakan-akan sudah tidak cukup tertampung panci. Sekarang, bahkan sudah mencapai jalan raya dan menggenangi rel kereta api.

Orang tuaku juga tidak bekerja lagi. Dulu ayahku punya sepetak sawah kecil yang ditanami padi. Cuma sepetak kecil, tetapi cukup untuk mengisi perut dan menyekolahkanku serta kedua kakakku. Kalau menjelang musim panen, sawah ayah kelihatan cantik sekali dengan bulir-bulir padi yang sarat menunduk berwarna keemasan. Padahal, daun padi cuma seperti ilalang. Ayah menyebut padi adalah buah ilalang. Ayah bilang, jangan meremehkan ilalang. Kelihatannya cuma seperti belukar, tetapi ada buah yang menjadi hidup manusia di sana.

Di bagian depan pematang sawah, sejak dahulu ada pipa-pipa raksasa tertanam membujur dari ujung ke ujung desa satu ke desa lain. Aku tidak pernah tahu pipa apa itu. Kata ayah, itu milik Tuan Bakir. Tetapi, aku tidak pernah melihat Tuan Bakir. Ayah bilang, Tuan Bakir tinggal di nirwana. Kalau ayah menanam padi, Tuan Bakir menanam pipa. Ketika aku bertanya kenapa Tuan Bakir menanam pipa? Bukankah lebih baik seperti ayah, menanam padi saja? Aku tidak mengerti apa gunanya menanam pipa. Ayah berkata, tetapi tidak memberikan jawaban, “Belajarlah yang rajin, supaya bisa menanam pipa seperti Tuan Bakir sehingga tinggal di nirwana. Tidak tinggal di desa.”

Lalu ketika suatu hari, pipa-pipa Tuan Bakir mendesis mengeluarkan asap berbau busuk, aku jadi teringat mulut bayi tetangga yang dipenuhi bubur sampai belepotan ke pipi, ke hidung, ke seluruh wajahnya. Seperti itulah wajah desaku sekarang. Perut bumi meledak memuntahkan semua isinya. Ada kerikil, tanah, lumpur yang melebar dari sawah, rumah, masjid, sekolah, menenggelamkan satu desa. Tidak cukup satu desa. Lumpur itu seperti ular yang merayap menjelajah ke desa lain. Menenggelamkannya lagi.

Kata ayah, itu ular peliharaan Tuan Bakir yang sedang kelaparan setelah bertapa sekian ribu tahun. Awalnya, ia cuma pipa besi. Lama-kelamaan menjadi ular bersisik api yang kelaparan. Maka, keluar menelan apa saja sampai enam desa amblas karena dua desa masih belum cukup mengenyangkannya. Ia membuat mulut-mulut terngangga karena tidak mampu menahan laju semburannya, karena kehilangan sawah, ladang, rumah, semua yang dipunyai, karena kelaparan.

Awalnya, aku senang sekali sekolahku ditenggelamkan lumpur. Karena aku tidak perlu bangun pagi dan terburu-buru ke sekolah. Aku paling benci pelajaran matematika. Kupikir, sekarang bisa bebas bermain seharian tanpa harus belajar untuk menghadapi ulangan.

Akan tetapi, aku sekarang heran. Kalau tidak salah hitung (karena nilai matematikaku selalu di bawah lima), aku sudah tidak sekolah lebih dari 365 hari. Sudah setahun lebih! Aku mulai rindu ke sekolah. Karena di sekolah ada pelajaran menyanyi. Aku paling suka menyanyi. Cita-citaku ingin jadi penyanyi yang masuk televisi.

Pok Ami-ami, belalang kupu-kupu. Siang makan nasi kalau malam minum susu. “Pok Ami-ami” adalah lagu kesukaanku.

Sekarang bukan saja aku tidak tahu harus sekolah di mana. Yang lebih membingungkan adalah kami harus tinggal bersama banyak orang. Amat banyak orang. Kami bukan tinggal di rumah besar, tetapi tinggal di petak los sebuah pasar.

Petak los kami hanya berukuran sekitar empat kali empat meter. Di petak ini, tinggallah ayah, ibu, aku, dan kedua kakakku—Olap dan Ndo, namanya. Petak los kami hanya disekat kain terpal atau kain lebar seadanya untuk memberi batas dengan petak los di kanan, kiri, dan belakang kami. Di dalam petak los ini hanya ada sebuah televisi kecil dan kipas angin. Hanya dua benda itu yang sempat kami selamatkan ketika ular lapar itu menerjang rumah kami. Selebihnya tidak ada apa-apa. Kami tidur berhimpit-himpit beralaskan tikar-tikar yang diberikan orang lain. Untuk mandi atau buang hajat, kami harus antre berjam-jam di kamar mandi umum yang hanya ada beberapa. Padahal, yang tinggal di petak los pasar ini lebih dari 5000 orang.

Menjelang magrib, pasukan nyamuk mulai datang. Mereka juga kelaparan. Mereka menyerbu kami dengan suara mendenging, seperti bunyi pesawat terbang. Mereka menusuki wajah, telinga, kaki, dan tangan kami dengan jarum-jarum mereka yang tajam. Bila seekor kenyang, yang seekor lagi datang. Gatal dan panas ada di tiap jengkal pori-pori kami sampai pagi menyembul.

Ndo kakakku selalu mengomel kalau aku rewel. “Ini namanya pengungsian!”

“Jangan kepingin yang enak-enak. Rumah kita sudah tenggelam. Makanya kita mengungsi,” kata Olap ikut menggerutuiku.

Aku jadi mengerti bahwa mengungsi itu adalah pindah tempat tinggal beramai-ramai. Ternyata, di tempat pengungsian, aku baru tahu bahwa orang-orang dewasa punya banyak cara untuk membunuh waktu. Mereka tidak sekadar bermain catur, duduk menghisap rokok, menjemur kerak nasi, tetapi mereka juga suka bermain pok ami-ami dan petak umpet.

“Olap, Pipin, Ndo, kalau kain-kain sekat sedang tertutup, kalian jangan membuka atau mengintip ya…,” tutur ibu berpesan kepada kami.

“Kenapa?” aku memang yang paling rewel bertanya.

“Karena kami sedang bermain pok ami-ami,” kata ibu.

Aku tidak habis pikir. Kenapa kalau orang tua bermain pok ami-ami harus bersembunyi? Sedangkan aku, Olap, dan Ndo bermain di tengah lapangan.

Aku juga heran. Sejak kami di sini, setiap hari ada yang mengirim banyak nasi bungkus. Kalau nasi itu datang, semua orang di tempat ini berebut mengambil nasi bungkus itu. Padahal, nasinya keras dengan lauk, seiris telor, setipis kulit bawang. Tidak jarang sudah setengah berbau basi.

“Sudah, makan saja! Jangan cerewet!” kata Olap melahap nasi bungkus yang dibagikan itu.

“Sudah syukur ada yang memberi makan!” ujar Ndo.

Sejak itu aku jadi terbiasa menelan nasi bungkus jatah itu. Aku juga terbiasa ikut antre bila ada mobil datang membawa bermacam-macam kebutuhan mulai dari mi instan, sabun, odol, sampai biskuit. Padahal dahulu, ibu bisa membelinya di warung, di depan rumah. Walau bukan barang-barang mewah seperti yang kulihat di televisi, tetapi tidak perlu antre berebut jatah. Namun, lambat laun aku terbiasa merasa gembira ketika menerima pemberian jatah. Juga terbiasa dengan berperang melawan pasukan nyamuk. Terbiasa pula mengintip orang dewasa yang bermain petak umpet dan pok ami-ami di tengah hari bolong.

Semua yang terjadi di tempat pengungsian ini sudah bukan hal yang luar biasa.

Sama halnya dengan kami, sudah terbiasa ketika para pejabat bermobil hilir mudik keluar masuk pengungsian, bertanya makanan kami bagaimana (sepertinya bersimpati), manggut-manggut mendengarkan keluh kesah kami, lalu mereka pulang.

Kami juga terbiasa dengan para wartawan yang memotret kelusuhan kami lalu memajangnya di halaman depan koran atau muncul di televisi. Ternyata tidak harus menjadi artis terkenal untuk bisa mejeng di koran atau televisi. Menjadi pengungsi pun dihujani lampu cahaya.

Ketika ada rombongan artis datang ke pengungsian, kami berbondong-bondong menempel sedekat mungkin dengan mereka. Agar potret kemiskinan kami sama berharganya dengan keindahan yang mereka punya. Semua orang lari berebut menyalami artis pujaannya. Lupa dengan kerak nasi yang dijemur, lupa antre di kakus umum, lupa pasukan nyamuk, lupa ular lapar yang memuntahkan lumpur. Kami lupa penderitaan. Padahal itu hanya beberapa menit. Setelah rombongan itu menghilang, kami kembali dimanjakan kemiskinan.

“Siapa bilang kita miskin? Aku punya uang! Ayo, kita jajan!” begitu kata Olap dan Ndo mencela pikiranku.

Aku baru tahu kalau mereka sekarang banyak uang jajan tanpa perlu minta kepada ayah yang setiap hari termangu di depan bidak catur atau ibu yang setiap hari menjemur kerak nasi. Ndo mengatakan bahwa ia menjadi joki penunjuk jalan kepada mobil-mobil yang melalui gang kampung, karena jalan raya sepanjang Kecamatan Rongrong sudah ditutup. Sedangkan, Olap menjadi tukang parkir di lokasi sarang ular lapar memuntahkan lumpur. Olap mengatakan bahwa banyak mobil dan motor di sana. Mereka seakan sedang berdarmawisata menonton musibah.

“Kita bukan orang miskin! Ayo, kita menuntut hak kita! Rumah, sawah, ladang, dan harta benda kita semua tenggelam karena ular raksasa peliharaan Tuan Bakir memuntahkan lumpur. Kita harus meminta ganti rugi! Kita harus memperjuangkan nasib kita sendiri karena tidak ada yang memperjuangkan kita. Apa Tuan Bakir mau disuruh merasakan nasi jatah? Sudikah para pejabat yang hilir mudik itu menjadi mangsa nyamuk? Televisi, koran, dan para artis jangan cuma pasang aksi prihatin, tetapi mendapat keuntungan dari penderitaan kita. Kita tidak butuh sumbangan. Kita perlu kehidupan!” Entah dari mana mendadak para penduduk desa yang lugu menjadi pintar berkobar-kobar membawa spanduk. Mereka berteriak-teriak di jalanan, di depan kantor bupati, di depan kantor gubernur, di depan gedung wakil rakyat. Katanya mereka hendak berbondong-bondong menghadap ke istana presiden.

Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, mendadak ayah, ibu, dan para pengungsi itu menjadi pintar. Yang ku tahu penderitaan memang membuat manusia menjadi pintar. Seperti Olap dan Ndo yang sekarang pintar mendapatkan uang jajan.

Aku juga tidak tahu kenapa suara jerit begitu banyak pengungsi hanya bisa sampai di depan pintu kantor para petinggi negeri? Cuma sampai di depan! Suara kami tidak bisa terdengar ke dalam. Apakah teriakan kami kurang keras atau mereka sudah tidak bertelinga?

Suatu hari ayah pulang dengan suara yang sudah parau karena lelah berteriak-teriak. Bukan saja suaranya hilang, tetapi sinar matanya juga hilang. Padahal, ada beberapa dari para pengungsi pulang dengan wajah berbinar sumringah dan senyum lebar. Ia mengatakan, besok disuruh tanda tangan mendapatkan ganti rugi sehingga bisa langsung meninggalkan pengungsian. Meninggalkan nasi jatah, pasukan nyamuk, dan tidak perlu bermain pok ami-ami lagi di dalam sekat los. Ganti ruginya berlipat ganda, bisa untuk membeli rumah baru, sawah baru, motor baru, baju baru, karena ada yang mencapai 500 juta rupiah. Aku tidak bisa membayangkan bisa mendapat berapa telur puyuh kesukaanku dengan uang sebanyak itu.

“Mereka mendapat rezeki nomplok. Mereka bisa menunjukkan sertifikat bukti tanah,” kata ayah dengan pandangan kosong melompong. “Padahal, kepala desa tahu kita adalah warganya, tahu kita punya rumah, tahu kita punya sawah. Tetapi, bagaimana mungkin sempat memikirkan mengambil surat tanah pada saat lumpur panas menenggelamkan semua milik kita? Bisa menyelamatkan selembar nyawa di badan pun sudah bersyukur,” tutur ayah sambil menitikkan kristal bening.

Ibu menadahkan tangannya ketika kristal bening itu meluncur jatuh. “Kalau begitu, kita memang perlu bersyukur untuk seutas napas yang masih ada. Olap, Pipin, dan Ndo adalah harta kita yang paling berharga,” katanya.

“Tapi, kita jadi orang miskin. Kita tidak punya uang,” kristal beningnya tumpah berlelehan seperti lumpur yang terus meluber. Seperti itulah tangis yang hanya tersimpan dalam sedu sedan.

“Kita tidak miskin!” ujar Olap.

“Kita punya uang!” seru Ndo.

Lalu kedua kakakku itu menumpahkan semua isi sakunya yang berisi uang receh dan lembar seribuan.

“Kita bisa tetap jajan!” seruku gembira bertepuk tangan.

Olap dan Ndo menggandengku ketika ada suara penjual telor puyuh keliling di depan halaman pasar penampungan pengungsi.

Aku berlari sambil bernyanyi pok ami-ami, belalang kupu-kupu, siang makan lumpur kalau malam minum lumpur.

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=213192972042909