Akhmad Sahal
Kompas, 02-06-2000
Dewasa ini, banyak orang mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mereka mengabaikan sastra. Dalam mengkaji sastra, mereka tidak seperti kalangan kritikus yang melihat sastra sebagai medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri. Karena di mata mereka, sastra hanyalah suatu teks budaya atau dokumen sosial yang mengandung – di baliknya atau di luarnya – praktek-praktek penandaan (signifying practices) yang selalu merupakan hubungan kekuasaan yang timpang. Dan, sastra dikaji dengan kepentingan menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktek penandaan itu.
Dalam membaca sastra, mereka tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap sastra selalu bersifat “politis”, bukan dalam arti kuno seperti dislogankan Lekra, yakni mengabdikan sastra untuk partai atau menjadikan politik sebagai panglima, melainkan dalam arti melihat karya sastra sebagai representasi sosial. Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda politik di sini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan.
Dalam pandangan mereka, sastra sebagai dokumen sosial bahkan tidak lebih tinggi atai lebih penting dari dokumen sosial lain, semisal praktek kehidupan sehari0hari (everyday practice) yang ditawarkan oleh budaya massa dan budaya media. Apa yang disebut nilai-nilai keindahan yang menjadikan teks sastra selama ini diletakkan dalam posisi high culture ternyata hanyalah suatu konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah. Posisi yang adiluhung dalam budaya adalah hasil pemaksaan selera dan cita rasa kelas sosial tertentu yang dominan. Mungkin persisnya bukan pemaksaan, melainkan hegemoni. Pemaksaannya tidak berlangsung dengan kekerasan melainkan dengan bujukan dan kesukarelaan, yang ditutup-tutupi atau dilupakan sehingga selera dan cita rasa kelas tertentu itu seolah-olah merupakan nilai universal yang bernama keindahan. Jadi teks sastra sejatinya sama nilainya dengan karya pop, tajuk rencana Kompas, jingle iklan, lirik lagu dangdut atau naskah sinetron Paulina.
Yang saya maksud “mereka” dalam dua alinea pertama tulisan ini adalah para pendukung cultural studies. Di negeri-negeri utara, cultural studies tak pelak merupakan fenomena penting dan kontroversial dalam dunia akademis, terutama bidang humanities selama kurang lebih tiga dekade terakhir. Bukan saja lantaran ia adalah “gerakan akademis” yang multi-disipliner (melibatkan sastra, sejarah, antropologi dan filsafat sekaligus), melainkan juga melampaui dinding disiplin ilmu, bahkan dinding akademis. Pretensinya bukanlah kajian-kajian yang steril yang selama ini tampak dalam disiplin akademis yang ada, melainkan kajian yang berwatak emansipasi, yakni berpihak kepada yang terpinggirkan dan tak tersuarakan (the subaltern) – baik dari segi kelas sosoal, ras, maupun gender – dalam kanon resmi suatu kebudayaan.
Dan karena kanon resmi ditentukan oleh mereka yang borjuis, berkulit putih, dan laki-laki, berpusat-Barat dan berwatak logo-sentris, maka aksentuasi pemihakan terhadap “yang lain” (the other) dalam cultural studies tercermin dalam kajian yang merayakan difference dan pluralisme, seperti kajian postkolonial, multikultural, juga kajian feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna. Nama-nama luar negeri seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Spivak, juga Raymond Williams dan Michel Foucault, serta nama-nama dalam negeri seperti Melani Budianta dan Ariel Haryanto merupakan pendukung, atau setidaknya sering dihubung-hubungkan, dengan cultural studies ini.
Genealogi dan Karakteristik
Dalam bahasa kita, sebutan cultural studies mungkin tidak bisa dengan mudah diterjemahkan menjadi “kajian-kajian budaya” karena istilah tersebut mengandung riwayat hidup dan karakteristiknya sendiri yang khas, yang bisa jadi tidak terangkum ketika diterjemahkan. Ada baiknya kita lacak genealoginya dan kita usut karakteristiknya.
Simon During, dalam pengantar buku The Cultural Studies Reader (1993), menunjukkan dua jalur genealogi cultural studies. Jalur pertama adalah mereka yang melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Istilah hegemoni, kita tahu, berasal dari Antonio Gramsci, seorang Marxis Italia. Hegemoni berarti dominasi yang sering berlangsung tidak dengan cara paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yng didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan bukanlah ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencemirkan identitas kolektif, melainkan alat yang memungkinkan hegemoni itu berfungsi dalam sistem dominasi. Perintis jalur ini adalah Raymond Williams, Marxis dari Inggris, ketika ia mengkritik fenomena terlepasnya “budaya” dari “masyarakat” dan terpisahnya “budaya tinggi” dari “budaya sebagai cara hidup sehari-hari”. Cultural studies jenis ini lebih menekankan pembacaan budaya sebagai tindakan kontra hegemoni, resistensi terhadap kuasa “dari atas”, dan pembelaan terhadap subkultur.
Sedangkan cultural studies jalur kedua, yang mendapat banyak pengaruh dari pemikiran post-strukturalisme Prancis, terutama Michel Foucault, menggeser perhatiannya dari kontra hegemoni dan resistensi terhadap kuasa “dari atas” menuju perayaan terhadap kemajemukan satuan-satuan kecil. Kebudayaan dilihat sebagai wacana pendisiplinan dan normalisasi, yang tidak tepat dihadapi dengan macro-politics, karena relasi kuasa bukanlah melulu bersifat vertikal (negara versus masyarakat). Bagi Foucault, kekuasaan bersifat menyebar dan merata dalam setiap hubungan dalam masyarakat, dan karena itu hanya bisa dihadapi dengan semacam micro-politics, yang pernah dirumuskannya sebagai insurrection of the subjugated knowledge (membangkitkan pengetahuan-pengetauan yang tertekan). Pada titik inilah cultural studies tegak berdiri. Kajian-kajian dengan label multikultural, postkolonial, feminis, gay dan lesbian, etnik dan kulit berwarna, untuk menyebut beberapa yang menonjol, adalah upaya membangkitkan pengetahuan yang tertekan itu.
Pemetaan dua jalur tersebut tentu saja bersifat menyederhanaan karena dalam prakteknya cultural studies tentu jauh lebih meriah dan beragam. Tetapi paling tidak, melalui riwayat hidup semacam itu, kita bisa meraba-raba apa karakteristik yang menonjol pada cultural studies. Dalam pandangan saya, tiga hal bisa disebut di sini.
Pertama, penolakan terhadap esensialisme dalam kebudayaan. Melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni dengan sendirinya mengakui proses konstruksi sosialnya. Budaya tidak terbentuk secara alamiah, given dan menyatu dengan komunitas tertentu, melainkan selalu dikonstruksikan. Dan dalam proses konstruksi, pertarungan memperebutkan pemaknaan pun terjadi. Contoh kajian yang berhasil menolak esensialisme ini adalah buku Orientalisme Edward Said yang dengan meyakinkan menunjukkan bahwa identitas Timur yang eksotis dan irasional ternyata bukanlah esensi melainkan konstruksi dan representasi Barat.
Selain merupakan konstruksi sosial, budaya juga bersifat hibrida. Tidak ada yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolotik. Budaya merupakan situs bagi proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh para pelaku kebudayaan itu sebagai respons terhadap kondisi kekiniannya. Dengan demikian, sebutan “Jawa”, “Islam” atau “Barat” selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks merek yang juga kompleks dan majemuk.
Kedua, penghargaan terhadap budaya sehari-hari terutama budaya pop dan media. Cultural studies tidak sekedar mendekonstruksi kanon dalam budaya dan melumerkan pemisahan antara “budaya tinggi” dan “budaya massa”, tetapi juga menyambut dan merayakan budaya massa ini. Mereka menolak pendapat yang melihat budaya massa semata-mata sebagai komoditas kapitalisme yang selalu berdampak hegemoni, pengulangan, dan penyeragaman. Karena dalam prakteknya, orang menerima dan menggunakan budaya massa tidak dengan sikap pasif, melainkan aktif memakainya dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Penjual Warung Tegal menonton telenovela Amerika Latin di televisi sekadar untuk selingan sembari melayani pembeli, ibu-ibu rumah tangga menontonnya untuk bahan obrolan di pasar atau di meja makan, dan panyair melihatnya untuk cari inspirasi atau bahan guyon. Penerimaan mereka terhadap budaya massa tidak dengan sendirinya membuat mereka terkooptasi atau teralienasi. Dengan kata lain, konsumen selalu punya kebebasan dalam proses negosiasi untuk memaknai (decoding) citraan budaya massa, dengan cara meriuhkannya dari maksud sang pemilik modal atau menjadikannya sebagai kesenangan belaka.
Sesungguhnya, naiknya pamor budaya sehari-hari di mata cultural studies ini tidak bisa dilepaskan dari semakin mendunianya gaya hidup yang dijajakan media massa yang sekaligus mengubah nilai yang ada di dalamnya. Konsumerisme, misalnya, yang dulunya dikecam karena tidak berangkat dari kebutuhan riil sang konsumen tetapi berdasar kebutuhan yang diciptakan oleh citra media kini justru merupakan simbol dan ekspresi menjadi manusia kontemporer.
Dalam konteks mendunianya budaya media yang ditopang dengan pasar global inilah cultural studies yang semula bertumbuk di dunia akademi Barat kini juga merambah ke seluruh dunia.
Ketiga, kuatnya sikap politis. Cultural studies, baik dari jalur Gramsci maupun Foucault, adalah suatu agenda politik dalam dunia akademi. Perhatian mereka adalah penelanjangan terhadap hubungan kuasa yang timpang dalam kebudayaan, melalui pembacaan terhadap pelbagai dokumen sosial. Dan seperti saya sebutkan di awal tulisan, kalaupun toh mereka mengkaji karya sastra, mereka lebih tertarik pada yang di luar sastra ketimbang sastra itu sendiri, pada konteks ketimbang teks.
Lebih peka
Lalu bagaimana kita menanggapi cultural studies ini? Saya kira, sikap anti esensialisme dan pengharhaan kepada prektek budaya sehari-hari yang menjadi ciri cultural studies layaklah dicatat sebagai sumbangan pemikiran yang sangat berharga baih kita. Setidaknya, kita tidak lagi melihat kebudayaan dengan kaca mata antropologi lama yang memakai dikotomi budaya maju/primitif, atau mematok kebudayaan dalam satu karakter tunggal yang ajek (misalnya, “budaya Jawa adalah harmoni”, “Barat berdasarkan rasio, Timur pakai rasa”). Kita juga dibuat lebih peka dan apresiatif terhadap praktek-praktek penandaan (signifying practices) dari budaya massa yang menyerbu kita setiap hari.
Hanya saja, sikap politik yang kental dalam cultural studies bisa menimbulkan problem tersendiri, terutama bila menyangkun pembacaan mereka terhadap karya sastra. Harus diakui, langkah mereka mendekonstruksi kanon budaya (yang memusat pada kulit putih, borjuis dan laki-laki) menyemaikan karnaval multikulturalisme yang beragam suaranya dan setara posisinya. Meskipun dalam kenyataan hal ini belumlah sepenuhnya tercapai, tetapi ada pengakuan yang semakin luas bahwa karnaval semacam itu adalah suatu kebajikan. Mereka juga berhasil menempatkan yang bukan kulit putih, bukan laki-laki dan bukan borjuis tidak lagi berada dalam posisi the other yang hanya direpresentasikan dan tidak punya suara sendiri. The subaltern kini punya hak dan kemampuan untuk merepresentasikan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka di Indonesia, sastra kiri dan sastra peranakan yang selama ini dibungkam dan tidak terangkum dalam kanon resmi sastra Indonesia menjadi pentung untuk ditampilkan.
Namun, watak politis ini sering dilantunkandengan sikap yang kelewat serius dan heroik sehingga mengutamakan PC (political correctness) dalam melihat karya. Apa yang dianggap berharga dalam suatu karya bukanlah kualitas literernya melainkan “kebenaran politik”-nya. Pertimbangannya lebih pada pesan politik ketimbang eksplorasi literer, lebih pada “isi” ketimbang “bentuk”, kalau dikotomi “isi-bentuk” masih mau dipakai di sini.
Repotnya, ini bisa menjadi semacam dalih bagi karya sastra yang sebenarnya gagal secara sastra, tetapi karena melantunkan politk (sering secara verbal), memekikkan pemihakan terhadap suara pinggiran atau menampilkan suara kaum pinggiran itu sendiri, ia seakan terselamatkan. Hanya karena suatu karya ditulis oleh buruh, perempuan, gay dan lesbian, atau kulit hitam, maka ia dianggap berharga. Penelitian Melani Budianta tentang sastra pinggiran dua tahun lalu adalah sumber rujukan yang baik bagaimana label “pinggiran” bisa menjadi perlindungan bagi karya sastra yang buruk.
Selain itu, PC juga bisa terjebak menjadi rezim kebenaran baru, meskipun pada mulanya ia membongkar rezim kebenaran yang dominan. Ini bisa terjadi manakala karya sastra dibebani semacam moralitas politik yang didatangkan dari luar sastra. Jadinya orang akan berpikir sekian kali kalau mau menampilkan karya yang mengkritik, memparodikan, bermain-main atau menghumorkan the subaltern, karena takut jangan-jangan itu menyinggung mereka. Jangan-jangan tidak “benar secara politik”.
Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita rasa dan selera tertentu yang dianggap sebagai nilai yang “obyektif” dan universal? Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran bagi mereka, sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa. Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya ketimbang sastranya.
Bahwa keindahan adalah konstruksi sosial dan tidak melekat begitu saja dalam karya, itu bisa saya terima. Tetapi saya ingin membedakan keindahan (yang tidak lain ternyata hanyalah tentang konsep keindahan) dengan pengalaman estetik. Pengalaman estetik inilah yang sejatinya menyertai kita manakala kita terlibat dalam penciptaan maupun pembacaan karya. Tetapi apa itu pengalaman estetik?
Wacana Tubuh
Terry Eagleton, Marxis dari Inggris, pernah menyatakan bahwa estetik pada prinsipnya adalah discourse of the body, wacana tubuh, yang berbeda dengan wacana konseptual. Wacana tubuh berurusan dengan sesuatu yang indrawi (sensuous) yang konkret, bersifat nisbi, terbatas, sementara dan tak bisa dikendalikan oleh kerangka diskursif. Karena itu, yang berharga di sini adalah momen-momen pengalaman yang tak bisa diulang (einmalig) dan penuh ketakterdugaan. Berbeda dengan wacana konseptual yang dikendalikan oleh gagasan, kebenaan atau tujuan yang bisa dipatok sebelumnya, wacana tubuh mengimplikasikan suatu proses gerak yang bernilai pada dirinya sendiri, tanpa memikirkan telos (tujuan). Kalau boleh mengutip ungkapan Chairil Anwar, wacana tubuh adalah kesiapan untuk: “Terbang/mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat// – the only possible non-stop flight// Tidak mendapat.”
Dengan wacana tubuh semacam inilah kita menghadapi karya sastra. Kesiapan untuk “tidak mendapat” menjadikan kita tidak hanya menerima Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer yang mendedahkan semangat humanisme, melainkan juga cerpen-cerpen “nonsens” Umar Kayam, imaji surealis Sepotong Senja untuk Pacarku dari Seno Gumira Ajidarma, ataupun absurditas dunia Olenka dalam novel Olenka Budi Darma. Kesediaan untuk berurusan dengan yang sensuous membawa kita memasuki puisi imaji Sapardi Djoko Damono dan puisi suasana Goenawan Mohamad, yang bergelut dengan ikhwal yang sepele, yang ephemeral, dan tak menawarkan “guna” dalam hidup, dan sama sekali tidak mengandung isi politik dan semangat emansipasi.
Saya menduga, pengalaman estetik inilah yang tersingkir ketika cultural studies mengkaji dan membaca sastra. Mereka tampaknya lebih memilih wacana konseptual dalam arti yang dikemukakan Eagleton, sehingga yang dicari atau ditutntut dalam karya adalah gagasan dan keberartian, dalam hal ini isi politik.
Yang perlu diperhatikan, kebanyakan mereka tidak bergitu tertarik pada puisi, kecuali puisi sosial politik. Karena dalam puisi, pergulatan dengan momen-momen estetik dioptimalkan. Dalam puisi, kata-kata berpaut erat dengan imaji, rima, alusi dan bunyi yang membuatnya tidak bisa lepas dari kekonkretan pengalaman indrawi. Dalam puisi, kita berhadapan dengan ketakterdugaan, bukan dengan suatu proyek yang terencana. Watak puisi semacam inilah yang menjadikannya tidak akrab dengan cultural studies.
Boleh jadi, mereka menolak disebut mengabaikan estetika. Karena mereka merasa tetap mengamalkan laku estetik, tetapi dengan arti baru, yakni bukan sebagai pengejawantahan wacana tubuh melainkan sebagai ethos atau etika untuk suatu praksis. Pandangn semacamini setidaknya pernah dilontarkan oleh salah satu pendukung cultural studies, Ian Hunter dalam karyanya Aesthetics and Cultural Studies. Di situ Hunter menegaskan bahwa estetika haruslah dipandang senagai etika dalam arti “seperangkat teknik dan praktek yang otonom yang memungkinkan individu melakukan problematisasi perngalamannya secara terus-menerus”. Hanya saja, pendirian Hunter yang menyamakan laku estetik dengan laku etik ini mengandung cacat serius. Kalau memang yang ingin ditonjolkan adalah etika untuk suatu praksis, kenapa harus dengan karya seni atau sastra? Apakah ini tidak termasuk apa yang dalam filsafat Anglo-Saxon disebut sebagai category mistake (kesalahan menempatkan kategori)?
Tersingkirnya estetik dalam cultural studies tak pelak menjadikan cultural studies terjerumus pada sikap salah urus terhadap kesusastraan. Mereka memang memecah kebekuan, ketika menyatakan kebudayaan sebagai konstruksi sosial dan ketika mengapresiasi budaya sehari-hari. Tetapi intensi pembebasan yang terlalu bersemangat itu telah memiskinkan bacaan mereka terhadap sastra. Dengan hanya membatasi sastra sebagai dokumen sosial, mereka sesungguhnya melupakan dimensi lain yang jauh lebih penting, yakni sastra sebagai dunia imajinasi dengan segala kesubtilan dan kegilaannya. Padahal itulah sesungguhnya raison d’etre kesusastraan kapan pun, baik di zaman cultural studies hari ini maupun zaman Homeros ribuan tahun yang lalu.
***
*) Diterbitkan ulang dalam buku Kumpulan Esai Kompas 2002.