Melanjutkan Pemikiran Gus Dur

Akhmad Syarief Kurniawan *
lampungpost.com

Genap dua tahun tak terasa K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita, sejak 30 Desember 2009 silam. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) dikenal istilah tradisi peringatan haul (peringatan 1 tahun wafat seseorang). Haul akan terasa dahsyat gemanya jika yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, pendiri sebuah pesantren, dan seterusnya, dan Gus Dur salah satunya.

Suatu hal yang tak terbantahkan di kalangan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya, bahwa hingga hari ini almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masih menjadi sosok tokoh bahan pembicaraan, terutama ihwal yang positif, baik sebelum menjadi presiden maupun sesudah menjadi presiden keempat Republik Indonesia.

Popularitas Gus Dur semasa hidup bukan semata-mata karena ia merupakan keturunan darah biru, popularitas Gus Dur dibentuk melalui proses panjang, di mana ia pernah belajar menuntut ilmu dan berorganisasi di Mesir, Bagdad, dan beberapa bagian negara Eropa. Di sejumlah negara tersebut, Gus Dur muda tekun mempelajari berbagai macam pengetahuan, baik yang lahir dari rahim (tradisi) Islam maupun Barat.

Perjalanan pendidikan Gus Dur tersebut tentu ikut memberikan kontribusi dalam memopulerkan nama besarnya. Gus Dur juga dikenal sebagai pembela sejati orang-orang tertindas yang termarginalkan di banyak sektor. Seperti Jamaah Ahmadiyah, Inul Daratista, dan banyak aliran sesat yang oleh kelompok-kelompok tertentu dinilai menghina Islam.

Islam era Gus Dur itu terhitung sejak Gus Dur melemparkan gagasan pergantian “assalamualaikum” dengan “selamat pagi” serta semangat “pribumisasi Islam”, hingga Gus Dur menjadi presiden RI dengan gagasan toleransi dan demokratisasinya tidak hanya di mata dunia internasional, tapi masyarakat Indonesia sendiri mulai merasakannya sebagai suatu perkembangan positif yang justru dapat mendamaikan dan menyatukan bangsa.

Dalam buku Beyond the Symbols (2000), misalnya, Mudji Sutrisno, seorang budayawan, rohaniwan, dosen STF Driyarkarya dan Universitas Indonesia (UI), yang mengatakan bahwa ada dua obsesi yang selalu diperjuangkan Gus Dur. Pertama, obsesi makro, obsesi ini muncul bukan hanya karena dia anak atau cucu pendiri bangsa ini, melainkan karena Gus Dur memperjuangkan tiga hal.

Pertama, keutuhan bangsa agar tidak pecah. Pada posisi inilah Gus Dur sesungguhnya sosok yang selalu mengusahakan terbentuknya demokrasi, masyarakat pluralis yang saling menghormati, masyarakat lintas agama, lintas suku, dan lintas golongan. Kedua, dia selalu mau tampil sebagai pionir, guru bangsa, terutama saat terjadi krisis. Dia selalu bisa mengambil posisi kunci (strategis) dalam setiap konflik.

Ketiga, obsesi mikro, dalam arti tidak hanya sebagai diri sejati Gus Dur, tetapi sebagai bagian dari keluarga besar NU. Sebagai warga NU, dia amat concern dan prihatin terhadap peningkatan pendidikan, taraf hidup, dan cara berpikir warganya. Mereka yang dalam sejarahnya (historis) selalu diidentikkan sebagai kelompok ”sarungan”, di tangan Gus Dur diusahakan menjadi kelompok yang multidimensional, baik ekonomi, dalam sosial, budaya dan segala macamnya.

Bagi kaum muda NU khususnya dan bangsa Indonesia umunya sangat berutang budi kepada Gus Dur, banyak hal dalam pemikiran, sikap, dan tindakan beliau wariskan untuk negeri ini. Pertama, semangat silaturahmi, silaturahmi itu sesunguhnya mampu menjembatani berbagai perbedaan hingga dapat kembali rukun dan kembali menyatu, sehingga silaturahmi tidak berhenti pada tataran dogmatis agama atau berkutat dalam norma atau nilai-nilai adat istiadat, tapi menyatu dalam pranata dan komunikasi kebangsaan secara menyeluruh.

Kedua, menyebarkan Islam inklusif, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (mengayomi dan melindungi semesta alam) harus menjadi Islam yang terbuka dan mampu berdialog dengan budaya lokal. Islam yang ditawarkan Gus Dur adalah Islam yang menghargai pluralitas dalam keberagaman, bukan Islam yang eksklusif yang merasa bahwa kelompoknyalah yang berhak atas surga Allah swt. Gus Dur menyajikan Islam yang menghormati tradisi ijtihadi dan mengapresiasi budaya intelektual yang kritis dan dinamis dengan tetap berpegang kepada kaidah-kaidah yang berlaku, al muhaafadhatu ’alal qadiimish shaalih wal akhdu bil jadiidil ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Ketiga, selera humor yang tinggi, tradisi humor bagi Gus Dur telah melekat dan menjadi pelengkap hidup dalam kepribadiannya. Dalam kesempatan dan pembicaraan masalah-masalah apa pun selalu terdengar joke-joke segarnya. Sikap Gus Dur yang humoris ternyata mampu mencairkan situasi yang tegang, mempermudah sesuatu yang rumit, meringankan hal yang berat. Meskipun demikian, humor-humor yang ditujukan Gus Dur bukannya tanpa makna atau sekadar bercanda, ingat tentang masalah DPR, Gus Dur menyindir dengan sebutan Dewan Play Group.

Kiai Bangsa adalah salah satu layaknya predikat yang perlu kita sematkan untuk Gus Dur, sosoknya kiai budaya, kiai politik, kiai kemanusiaan, kiai keberagaman, kiainya warga nu, kiai bangsa yang merangkul semua golongan tanpa tedeng aling-aling atau sekat perbedaan.

Seorang tokoh Tionghoa pun mengakui akan jasa besar Gus Dur, yang dengan tegas dan berani memulai langkah penting dalam berkehidupan bernegara di Indonesia hal ini ditandai dengan upaya pengakuan agama Kong Hu Cu, penghapusan SBKRI, dan mencanangkan Imlek sebagai hari libur nasional.

Bahkan, ketika Gus Dur Wafat, Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs, mewakili Presiden Barack Obama, mengatakan Gus Dur merupakan suri teladan bagi toleransi beragama dan figur penting dalam transisi demokrasi di Indonesia. Karena itu, Gus Dur akan diingat atas komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan pandangan politik yang inklusif. Dia bekerja untuk perdamaian dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia dan menjadi jembatan antarumat beragama. Wallahualam.

30 December 2011

*) Gusdurian, anggota GP Ansor NU Lampung Tengah.