Jalan Sunyi Sang Penulis

Iwan Nurdaya-Djafar *
http://www.lampungpost.com/

Memilih menjadi penulis adalah memilih jalan sunyi. Kian panjang karier kepengarangan seseorang, kian panjang pula jalan sunyi yang telah ditempuhnya. Dia menempuhnya seorang diri belaka. Larut dalam kesunyian, dan bahkan hilang-lenyap ditelan kesunyian nan mahangelangut. Boleh dikatakan, dilanda sebentuk hening yang begitu mutlak.

KESUNYIAN penulis adalah kesunyian sebatang kara. Bukan saja tanpa kawan, terasing dan terpencil dari sekitarnya, terbuang dan membuang diri dari kumpulannya, bahkan juga abai, lupa, dan alpa akan dirinya sendiri! Tiba di sini, aku jadi teringat Mudji Sutrisno, sang filsuf dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, juga seorang pastur (romo) yang menjalani hidup selibat, yang rambutnya tumbuh panjang tiada beraturan seiring dengan kian memanjangnya dan mendalamnya renungan filsafati yang ditulisnya. Aku pun terkenang Socrates, sang filsuf dari Yunani kuno, yang saban hari berjalan menggelandang keliling Athena mencari teman dialog demi memperdebatkan wacana-wacana yang menyesaki benaknya. Pun aku teringat Chairil Anwar, si penyair-bohemian, yang memekikkan kepada dunia, “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang!” Dan di atas itu semua, aku harus menyebut Friedrich Nietzsche, filsuf eksistensialisme Jerman, yang disebut-sebut sebagai “manusia paling kesepian di awal abad ke-20”.

Ada suatu masa, yaitu pada dasawarsa 1970-an, jagad perpuisian Indonesia begitu didominasi oleh tema kesunyian, sedemikian menggelegaknya sampai-sampai terasa sudah sedemikian memuakkan sekaligus memualkan. Sementara di luar dirinya, karya sastra mereka sendiri tak jua dibaca oleh lingkungannya, dan kekal sebagai sastra terpencil. Jauh sebelumnya, tema kesunyian sudah pula digubah penyair lain, dari zaman dan tempat lain, sebutlah Kahlil Gibran, penyair Lebanon yang mukim di Amerika, atau penyair Spanyol Juan Ramon Jimenez dalam masterpisnya Platero y yo (Platero dan Saya). Tahukah engkau, bahwa Platero, sahabat dalam sunyi pada karya Jimenez yang memenangi Hadiah Nobel Sastra 1956 itu, bukanlah nama seorang manusia, melainkan seekor keledai, yang menjadi teman bercengkerama bagi tokoh aku-liriknya selama bertahun-tahun menyusuri desa Moguer yang menjadi latar cerita.

Tema kesunyian, biarpun sudah begitu jenuh lagi memuakkan, toh terus diproduksi kembali, seolah tak kenal henti. Kesunyian justru menjadi sahabat semata wayang sang penyair. Tak kurang dari Emha Ainun Nadjib menggubah sepotong puisi pendek yang bernas lagi indah bertema kesunyian yang lalu diangkatnya menjadi lirik sebuah lagu yang dinyanyikannya dalam album Kado Muhammad. Judulnya Jalan Sunyi, sebuah puisi-lagu nan indah lagi mendalam: akhirnya kutempuh jalan yang sunyi/ mendendangkan lagu bisu/ sendiri di lubuk hati/ puisi yang kusembunyikan dari kata-kata/ cinta yang takkan kutemukan bentuknya.

Lihat, di jalan sunyi yang ditempuh Emha, sejatinya dia tiada mendendangkan apa pun, kecuali mendendangkan lagu bisu! Frasa “lagu bisu” justru makin menandaskan kian kentalnya kesunyian. Lagu bisu itu berupa puisi yang masih bersemayam di lubuk hati, yang merahasia, yang bahkan tersembunyi dari kata-kata. Padahal, kita tahu, puisi mestilah bertulangkan kata-kata. Maka, tak pelak, puisi yang tersembunyi dari kata-kata, belumlah lahir sebagai puisi, belum mengejawantah, setidaknya dalam pengertian puisi konvensional. Tapi rupanya, puisi yang tersembunyi dari kata-kata itu tak lain adalah cinta. Cinta yang bagaimanakah, duhai gerangan? Cinta yang takkan ditemukan bentuknya. Itulah cinta yang tak terperikan oleh kata-kata, jangankan dalam ujud prosa atau prosa lirik yang boros dalam pemakaian kata, bahkan juga dalam ujud puisi yang justru menjunjung ekonomi kata.

Tema kesunyian juga hadir dalam puisi indah mendiang penyair Subagio Sastrowardoyo, bertajuk Manusia Pertama di Angkasa Luar yang melaluinya dia ingin menyindir kepincangan intelektual kaum ilmuwan yang sedemikian terasing dari kesenian, dari puisi, sehingga menjelma manusia satu dimensi yang berkacamata kuda di dalam memandang fenomena dunia: “Berilah aku satu kata puisi/ daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji/ yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi/ yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi/ Tetapi aku telah sampai pada tepi/ darimana aku tak mungkin lagi kembali.

Selain dalam ujud puisi, tema kesunyian juga digubah dalam bentuk prosa baik cerita pendek, novelet, maupun novel. Dalam cerpen Sepi, Putu Wijaya mengangkat tema kesunyian melalui sosok seorang anak muda yang mengabaikan etika seksual. Kala bapaknya mati, dia meminta dokter untuk memotong alat vital bapaknya yang masih bagus dan memasangkannya di bagian kening si anak muda. Pada mulanya dokter merasa keberatan, tapi karena terus didesak, akhirnya bersedia, tapi tidak bertanggung jawab atas akibat yang mengiringinya. Setelah alat vital terpasang di kepalanya, anak muda yang telah kehilangan rasa malu itu melakukan petualangan seks secara gila-gilaan, sampai akhirnya merasa jenuh sendiri, merasakan kebosanan yang amat getir. Alhasil dia kembali mendatangi sang dokter, meminta dioperasi demi membuang alat vital yang tertanam di keningnya. Sang dokter menolaknya karena sudah sejak awal memperingatkan bahwa dia tak bertanggung jawab atas akibatnya, seraya melontarkan wejangan, “Sudahlah anak muda, terima sajalah hal itu, dan ambillah sebagai pelajaran.” Si anak muda tentu saja amat menderita karena tersiksa oleh neraka kesepian. Di penghujung cerpen yang berakhir tragis, dia berteriak panjang sekeras-kerasnya, “Sepiiiiiii…”

Dalam ujud novelet, tema kesunyian tampak pada Sepi Terasing, Aoh K. Hadimadja. Sementara dalam bentuk novel adalah One Hundred Years of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian) Gabriel Garcia Marquez, yang mengisahkan perikehidupan rakyat di bawah tekanan penguasa diktatorial.

Jalan sunyi yang ditempuh oleh penulis—termasuk sastrawan, ilmuwan, filsuf; pendeknya orang yang memiliki kegiatan menulis—tentu berdampak secara psikologis terhadap si penulis sendiri. Dalam esainya bertajuk Mengapa Saya Menulis Sajak, Subagio Sastrowadoyo menuliskan pengakuan berikut, “Pikirannya yang terlibat pada nilai-nilai kekal itu cenderung membatasi daerah perhatian seniman sehingga menciut dan menunggal. Kemampuannya memusatkan pikiran menyanggupkan dia mencakup secara intuitif intipati-intipati, baik pada kenyataan batin maupun lahir. Tetapi sebaliknya gerak-geriknya kelihatan seperti kikuk dalam menyesuaikan diri dengan tata cara pergaulan. Ia tidak bergerak secara lancar di tengah orang-orang yang tidak dikenalnya, atau ia tidak sanggup turut serta dengan baik di dalam olahraga, main kartu atau ‘omong kosong’ saja, karena ia cenderung memandang kesibukan-kesibukan demikian hanya sekadar pengisi waktu yang luang dan tidak mempunyai nilai kekal.”

Lebih jauh, Subagio menulis, “Kemasgulan tentang nilai-nilai kekal yang memberikan ilham kepada saya untuk menulis sajak, tetapi yang di samping itu telah mendatangkan rasa hidup yang sedih tidaklah selalu menyuruki pikiran saya. Kebanyakan waktu saya ‘normal’ (seperti hari ini) dan dapat menikmati hidup dengan tinggal pada permukaan dan pinggir kehidupan. Di dalam saat-saat demikian saya tidak mempunyai sesuatu ilham dan jiwaku tergolek kosong dan kering seperti tanah gurun. Pada waktu demikian saya seakan-akan telah ke luar dari malam pemikiran puitis dan berdiri di siang bolong dan menyaksikan diri sendiri dan dunia sekeliling saya secara obyektif dan kritis. Inilah saat-saat yang terbaik bagi saya untuk menulis esai dan kritik tentang sastra.”

Akhirnya Subagio mengunci pengakuannya itu dengan berkata begini, “Saat-saat yang tak produktif itu merupakan kerugian tetapi juga keuntungan. Kerugian karena saya tidak sanggup menulis satu baris sajak pun yang terbit dari ilham yang sejati. Keuntungan karena tanpa perhentian yang panjang tanpa mencipta itu saya sudah lama akan menjadi seseorang yang penyendiri serta perenung, yang kurang cocok bagi kehidupan di dunia ini, disebabkan penatapan yang terus-menerus ke dalam bayangan batin….”

Sementara itu, esais Ignas Kleden memotret jalan sunyi sang penulis dengan uraian seperti ini, “Buku adalah femonena kebudayaan. Barang siapa hendak mengurus buku, baik sebagai penulis, editor, penerbit, pustakawan, pemilik toko buku atau peresensi tidak dapat menjalankan tugasnya dengan cukup motivasi dan kecintaan, dengan kreativitas dan kesungguhan, kalau dia tidak dibimbing oleh suatu wawasan kebudayaan yang memadai. Penulis yang tidak mempunyai wawasan kebudayaan akan melupakan bahwa menulis buku selalu memerlukan pemaksaan-diri dan sekaligus pengekangan diri yang bersifat asketis. Dia harus menyendiri untuk meneliti, menuliskan pikiran dan penemuan-penemuan dari penelitian atau perenungannya, mengecek naskahnya berulang kali, dan mau tak mau terhindar dari pergaulan sosial dan pertemuan dengan orang ramai untuk sementara waktu. Sebetulnya ini adalah hal yang biasa karena seorang petani pun selalu menghadapi saat-saat asketis kalau dia harus mengurus lumpur di sawahnya pada pagi-pagi buta, atau mengurus saluran airnya tengah malam untuk menjamin sawahnya tetap hijau dan panenannya akan menguning. Tanpa ausdauer (stamina) dan asketisme seperti ini yang akan kita hasilkan adalah tulisan-tulisan pendek dan cepat yang dibutuhkan untuk merespons suatu keadaan aktual.”

Akhirnya, agar tak tercekam oleh kesunyian nan menekan, seorang penulis mesti menyauk hikmah dari sepotong hadis Nabi berikut ini, “Jika engkau kesepian, maka ilmu pengetahuan menjadi sahabatmu.” Ilmu pengetahuan yang menjadi sahabat dalam sunyi itu di antaranya justru tersua dalam aktivitas menulis dan membaca.

Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan /19 February 2012