Ekodhanto Purba *
sinarharapan.co.id
Jika ingin mengetahui atau mengkaji sejarah dan budaya Indonesia, tidaklah salah jika karya novel Pramoedya menjadi bahan dan landasan pengetahuan serta pengkajiannya.
Betapa tidak, kisah-kisah yang diangkat dalam novel Pramoedya tidak lain dan tidak bukan merupakan cerminan wajah Indonesia pada masa penjajahan—khususnya kerajaan, serta Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba).
Selain itu, kita sebagai bangsa Indonesia sudah sepatutnya mengacungkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pramoedya sebagai sastrawan yang dengan ide kreatif dan imajinatifnya memperkenalkan Indonesia pada masyarakat dunia.
Kekreatifan dan kemampuan dalam mengolah cerita, kisah yang berangkat dari sejarah serta fakta, membuat Pramoedya sempat menjadi calon penerima Hadiah Nobel pada 1980-an dan pada 1986, dengan kata lain Pramoedya hampir mendapatkan hadiah bergengsi tersebut.
Bahkan lebih jauhnya lagi, oleh para akademikus, pemerhati, dan penggiat karya novel, novel Pramoedya kerap dijadikan pijakan jika ingin belajar dan mengetahui sastra, sejarah, budaya, bahkan politik Indonesia.
Seperti halnya yang dilakukan Prof Koh Young-hun, salah seorang tenaga pengajar/dosen dari Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan, yang dengan sengaja membaca, mempelajari, meneliti, dan mengkaji novel-novel fenomenal Pramoedya yang berjudul Bumi Manusia, Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai. Dari novel-novel tersebutlah selanjutnya Young-hun menerbitkan buku Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia.
Adapun hal yang ingin dilacaknya adalah persoalan sejarah dan budaya Indonesia pada umumnya dan pada khususnya di daerah Jawa. Hal tersebut selanjutnya dapat diapresiasi dari judul, narasi, serta nama-nama tokoh yang dengan sengaja serta sadar dihadirkan dalam setiap peristiwanya.
Seperti yang terdapat dalam novel Arus Balik. Novel ini mengambil latar abad ke-15 dan ke-16. Sebagai karya novel yang berdasarkan fakta sejarah, Pramoedya mengetengahkan berbagai cerita yang terkandung dalam sejarah. Di dalamnya termasuklah cita-cita besar pemimpin dan para pembesar Majapahit. Mereka sebenarnya berhasil menguasai maritim sebelum terjadi “Arus Balik” (hlm 257).
Novel Arus Balik berusaha mengembalikan ingatan terhadap kebesaran, kejayaan, serta kekuatan Nusantara pada masa kerajaan, terutama Kerajaan Majapahit.
Tidak hanya itu, novel tersebut juga berusaha memaparkan cerita dan kisah kejatuhan Majapahit dan Malaka di tangan Portugis, yang disebabkan faktor dari dalam kerajaan itu sendiri. Dalam hal ini, novel tersebut mencoba menguak sejarah yang pernah terjadi di Tanah Air.
Selain peristiwa sejarah, novel Pramoedya juga berusaha mengurai peristiwa budaya bangsa Indonesia. Adapun peristiwa politik dan budaya yang ingin digugat Pramoedya selanjutnya tercermin dalam cerita Arok Dedes atau lebih dikenal dengan sebutan Ken Arok dan Ken Dedes.
Konsep pertama naskah “Ken Arok dan Ken Dedes” diselesaikan Pramoedya di Pulau Buru pada 24 Desember 1976, dengan kisah yang mengangkat cerita tentang kudeta yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.
Kisah Arok Dedes adalah kisah kudeta pertama dalam sejarah Indonesia, kudeta unik menggambarkan peralihan kekuasaan dari Akuwu Tumapel Tungul Ametung kepada Arok dengan rekayasa kelicikannya yang baginya sangat masuk akal.
Novel ini menceritakan pergulatan seseorang untuk mencapai kekuasaan dengan kemapuan pengorganisasian massa seperti yang dilakukan Arok, yang menghindarkan pergantian kekuasaan yang selalu diawali dengan pertumpahan darah (hlm 280).
Selain kisah Arok Dedes, peristiwa budaya yang juga ingin ditawarkan Pramoedya dapat ditemukan pada novelnya yang berjudul Gadis Pantai. Novel ini mengisahkan perikehidupan seorang gadis belia yang dilahirkan di sebuah kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang, yang merupakan kampung halaman ibunya Pramoedya.
Gadis Pantai adalah gadis yang manis. Dia cukup cantik untuk memikat hati pembesar santri setempat yang bekerja untuk Belanda. Dia diambil sebagai istri sementara oleh pembesar tersebut dan menjadi perempuan yang melayani kebutuhan seks laki-laki sampai kemudian dia memutuskan menikah dengan perempuan yang sekelas dengannya (hlm 308).
Peristiwa budaya tersebutlah yang selanjutnya ingin dibagikan dan digugat Pramoedya. Budaya yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan dan nafsu, bahkan pertumpahan darah sekali pun demi mendapatkan kuasa dan kekuasaan.
Selain peristiwa sejarah dan budaya, novel-novel Pramoedya juga sarat dengan peristiwa politik, dari penguasa yang satu ke penguasa yang lain, termasuk juga masa-masa pergantian kekuasaan yang tidak relevan.
Mempertahankan Gaya Realis Humanis
Jika memperhatikan karya-karya novel Pramoedya, semua karyanya mengangkat gaya realis humanis. Cerita-cerita yang berangkat dari latar fakta sejarah dengan menghadirkan waktu/tanggal peristiwa semuanya mengangkat gaya kemanusiaan.
Kondisi tersebut tentunya tidak dibuat-buat, dengan kata lain, disebabkan karena Pramoedya hidup dekat dan bahkan mengalami setiap peristiwa-peristiwa kemanusiaan tersebut.
Seperti peristiwa pergantian kekuasaan, penangkapan tanpa proses pengadilan, pembunuhan atau penembakan, bahkan peristiwa pengasingan seperti yang terjadi pada diri Pramoedya.
Karena itu, walaupun bersifat fiksi dan berupa karangan analisis deskriptif, kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkaitan dengan kenyataan dan pengalaman sejarah sosial budaya bangsa.
Dengan menggunakan data, dokumen, dan teori sastra mutakhir, Young-hun dalam bukunya ini berusaha menganalisis dan menguraikan dunia Pramoedya melalui karya, termasuk cara pandang Pramoedya yang tajam dan lugas mengenai keindonesiaan.
Judul: Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia
Penulis: Prof Koh Young Hun
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: pertama, Desember 2011
*) Peresensi adalah penyair dan penyuka karya Pramoedya Ananta Toer. /04.02.2012