Revolusi Media, Sastra Internet dan Kerinduan Pada HB Jassin

Sutrisno Budiharto

REVOLUSI MEDIA benar-benar mengalir deras menyusul pesatnya perkembangan tehnologi – baik itu perangkat keras mupun perangkat lunak – yang mendorong berkembangnya media informasi dan komunikasi. Pada dekade 1990-an silam, media informasi yang jamak dipakai masyarakat adalah koran, majalah, tabloid (media cetak), radio dan televisi (media eletronika) konfensional yang masih terkendala oleh jarak, ruang dan waktu. Sekarang, semenjak menjamurnya pelayanan internet yang didukung dengan digitalisasi pengolah data, arus revolusi media sulit terbendung lagi hingga menghapus batas-batas ruang, jarak dan waktu. Terlebih, kekuasan represif Orde Baru telah tiada, ruang berekspresi pun menjadi sangat leluasa, bahkan nyaris tiada batas, termasuk dalam berkesenian; baik itu seni sastra, seni musik, maupun seni rupa/grafis. Siapa pun, di mana pun, kini bisa mengekspresikan bahasa seninya melalui media internet. Dalam jebakan kemacetan lalu-lintas Jakarta pun, orang bisa menulis puisi dan mempublikasikannya melalui media sosial seperti facebook atau twitter.

Pada dekade 1990-an lalu, kebebasan macam itu belum bisa dijumpai. Selain masih adanya tekanan represif kekuasan Orde Baru, akses masyarakat dalam memperoleh layanan media informasi dan komunikasi juga masih terbatas. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memperoleh layanan media koran, majalah, tabloid (media cetak), radio dan televisi (media eletronika) karena aksesnya masih terkendala oleh jarak, ruang dan waktu. Keterbatasan akses tersebut juga dialami para seniman daerah yang hendak mengekspersikan karya seninya. Bahkan, keterbatasan akses media tersebut sempat melahirkan polemik hebat yang dipicu adanya gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman”.

Seingat Saya, gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman” tersebut tak lepas adanya anggapan bahwa ruang media untuk berekspresi kala itu sangat terhegemoni oleh para seniman pusat ibu kota, Jakarta. Beno Siang Pamungkas, penyair asal Semarang, menjadi salah seorang penggerak “Revitalisasi Sastra Pedalaman” itu. Penyair Jawa Tengah tersebut pernah menyatakan, “Kalau saja jurnalisme seni kita lebih punya kesungguhan untuk memotret… bukan mustahil akan terkuak tambang-tambang emas karya sastra yang sampai saat ini masih terpendam jauh di bawah permukaan bumi.”

Dari Sastra Sampah hingga Kritikus Sembarangan

Sekarang, setelah terjadi revolusi media yang menghapus batasan ruang, jarak dan waktu — gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman” sudah tiada tampak lagi manuvernya. Yang terjadi adalah menjamurnya karya-karya sastra internet; entah itu berupa puisi, cerpen, dan kritik sasra. Dalam facebook ada banyak komunitas penulis puisi maupun prosa. Di twitter juga demikian. Tak hanya itu, dalm blog juga tumbuh subur para penulis wajah baru, baik tua maupun muda. Mungkin saking banyaknya karya sastra internet yang muncul (entah puisi, cerpen atau yang lainnya), akhirnya ada juga yang melontarkan cibiran bahwa karya sastra yang lahir di internet tak ubahnya sastra sampah karena dianggap memiliki mutu yang rendah.

Cibiran rendahnya kualitas karya sastra internet itu memang tidak bisa disalahkan. Sebab, dalam internet, siapa saja bisa mengklaim sebagai sastrawan atau seniman setelah mereka mempublikasikan karyanya melalui internet tanpa ada batasan estetis yang menyaringnya. Ribut Wijoto pernah mengeluhkan hal itu. Menurut Ribut Wijoto, ‘sastrawan internet’ dapat mempublikasikan teks apa saja, kapan saja, tentang apa saja, latar apa saja, tawaran estetik apa saja, dan sebagainya apa saja. Peminat sastra, yang baru belajar menulis karya sastra, juga bisa mempublikasikan karyanya. Tulisan apa saja yang dianggap karya sastra pasti bisa dimuat di media internet. “Tinggal menunggu giliran. Bagi yang berminat terhadap kritik sastra, sang kritikus boleh memilih karya sembarangan, pendekatan sembarangan, teori sembarangan, komentar sembarangan, polemik sembarangan. Pasti ditampilkan. Tinggal menunggu giliran,” kata Ribut Wijoto dalam tulisan berjudul “Pencerahan Estetik Sastra Internet” (terpelanting.wordpress.com).

Masih Miskinnya SDM yang Peduli Membangun Sastra

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bernakah semua karya sastra yang dilahirkan melalui internet adalah sastra sampah yang bermutu rendah? Harus diakui terlalu bebasnya ruang internet sebagai media untuk mengekspresikan karya apa saja yang dianggap sastra, memang bisa melahirkan karya-karya sastra yang bermutu rendah. Namun saya kurang sependapat jika ada yang menggeneralisir bahwa semua karya sastra yang dilahirkan melalui internet, semuanya dianggap sastra sampah. Saya punya keyakinan bahwa di belantara internet yang sedemikian hiruk pikuk oleh jutaan informasi tersebut pasti ada karya sastra yang bernilai tinggi.

Persoalannya, mungkin terletak pada miskinnya sumber daya manusia yang punya kepedulian dalam membangun sastra di Indonesia agar menjadi lebih baik dan lebih berbobot. Paling tidak, Indonesia sangat membutuhkan orang-orang peduli sastra seperti yang pernah ditunjukkan HB Jasin. Kalau sumber daya manusia peminat sastra mungkin jumlahnya bisa disebut sudah ‘meledak’ seiring menjamurnya sastrawan internet. Tapi untuk sumber daya manusia sekelas HB Jasin, yang memiliki ketekunan tinggi dalam mendokumentasikan buku-buku karya sastra dan budaya sekaligus mengkrikitisi karya-karya sastra yang ditemukannya, Indonesia bisa disebut masih miskin.

Dengan kata lain, sastra internet bisa disebut rindu akan kehadiran HB Jasin baru. Kalau dalam sepakbola Eropa dan Amerika ada banyak para pemandu bakat yang punya peran penting dalam pengembangan sepakbola. Pekerjaan para pemandu bakat itu hanya mengamati dan menyaring para pemain muda berbakat yang diprediksikan bisa menjadi pemain profesional bagus di kemudian hari. Dalam sastra internet, mestinya ada juga orang yang bertindak sebagai pemandu bakat seperti dalam sepakbola. Jika ada banyak pemandu bakat sastra dalam media internet, bisa jadi sastra bermutu dari media internet akan dapat dikumpulkan.

Perlu Waktu dan Kesabaran

Pendek kata, Saya tidak risih atas menjamurnya sastra internet belakangan ini. Biarkan saja mereka berkarya dengan gaya apa adanya. Yang jelas, Saya sependapat dengan Kiswondo bahwa dalam suasana gegap gempita reformasi, maka kehidupan bersastra, berbudaya serta bermasyarakat, kita harus lebih rasional, humanis, dan demokratis. Penghormatan terhadap perbedaan merupakan imperatif demokrasi yang harus dikerjakan. Masa Sandya-kalaning (masa kegelapan dan keruntuhan) Indonesia, di mana perbedaan diartikan sebagai kutukan, pemenjaraan, dan pembunuhan — harus segera dihentikan. (Kiswondo: Bangkitnya Counter-Hegemony dalam Masyarakat dan Sastra Indonesia; 1999). Bagaimanapun Saya tidak sepakat jika sastra internet hanya dipandang dengan sebelah mata, kemudian dikucilkan. Sebab, kalau ingin tumbuh dan berkembang saja sudah dikekang, kapan sastra Indonesia bisa maju?

Suatu saat, mungkin saja di antara sastra internet akan tampil ke permukaan dan menjadi populer karena memiliki bobot kualitas kesastraan yang kuat. Bukankah terkenalnya lagu “Canon in D” karya Johann Pachelbel (lahir 1 September 1653 – meninggal 9 Maret 1706) juga datang terlambat setelah pengarangnya meninggal ratusan tahun? Awalnya, “Canon in D” terlupakan berabad-abad sampai ditemukan pada abad ke-20. Beberapa dekade setelah dipublikasikan pada tahun 1919, lagu ini menjadi sangat terkenal hingga banyak dimainkan jutaan pemusik dari berbagai penjuru dunia hingga saat ini. Semoga saja di antara sastra internet Indonesia ada yang mengalami ‘nasib’ serupa dengan lagu “Canon in D”, dicintai banyak orang dari berbagai negara.[*]

http://sutrisno-budiharto.blogspot.com/2012/10/revolusi-media-sastra-internet-dan.html

Bahasa »