Menyingkap Tumpukan Koran Medan 1919

Damiri Mahmud
Jurnal Nasional, 12 Mei 2013

BABAKAN Sastra Indonesia Modern lazim disebut baru dimulai awal 1920-an ketika roman “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli terbit tahun 1922 dan “Percikan Permenungan” karya Rustam Efendi terbit tahun 1926. Salah satu syair Rustam Efendi yang sangat terkenal adalah “Bukan Beta Bijak Berperi” sebagai kredo yang menyatakan selamat tinggal kepada syair-syair lama dan dimulainya babakan sy air-syair baru yang mengandalkan kepada imajinasi individual. Demikian bunyinya:

Bukan beta bijak berperi
pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri
musti menurut undangan mair

Sarat saraf saya mungkiri
untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah-laun lagu dengungan
matnya digamat rasaian waktu.

(…)

Apabila karya ini dikatakan sebagai awal babakan puisi Indonesia Modern, maka dapat kita amati bahwa yang modern atau yang baru dalam puisi ini hanyalah karya itu tidak lagi anonym; kemudian isinya yang berupa pernyataan penulis: Sarat saraf saya mungkiri/untai rangkaian seloka lama..dst. Sementara bentuknya masih yang lama atau yang beta buang beta singkiri itu.

Bahkan dengan kredo pembaruannya itu sangat mengejutkan juga di sini Rustam Efendi memasukkan begitu banyak kata-kata kuno bahkan arkais ke dalam sebuah syair yang terbilang singkat itu: madahan = lagu, syair; mair = jiran, kerabat; saraf = tatabahasa; laun = lembut; digamat = diraba, dibentuk; mamang = imajinasi.

Jadi, sebenarnya Rustam Efendi berseru atau berteriak untuk menyingkiri atau memungkiri untai rangkaian seloka lama itu justru dengan bentuk dan gaya lama itu sendiri! Ini tentu sesuatu yang paradoks yang menimbulkan kesan ironi. Ditambah lagi pada bait akhir yang seakan menidakkan atau mengingkari pernyataan atau kredo yang telah diteriakkannya di atas: Bukan beta berbuat baru. Seperti kita katakana di atas, karya ini hanya pada isinya boleh dikatakan baru, sementara bentuk dan gayanya masih terikat pada metrum lama: kombinasi syair dan pantun.

Tapi ada yang lebih ironi. Lebih mengejutkan! Sesuatu yang telah lama tersembunyi atau terpendam yang baru sekarang bisa terangkat ke permukaan. Adalah seorang sejarawan kita bernama Dr.Ichwan Azhari, dua tahun lalu, minta bertemu saya di Taman Budaya Medan dan berlanjut di kedai minum “Tip Top‘. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Dulu di masa remajanya dia sering saya bawa “menjual sastra” ke sekolah-sekolah. Atau nonton pilem di LIA.

Rupanya dia masih ingat saya. Dari sekian pembicaraan kami dia ngelantur ke suatu masalah bahwa Ichwan banyak mengumpul Koran-koran lama terbitan Medan awal abad dua-puluhan. Salah satu isinya, katanya, juga banyak memuat karya sastra berupa puisi, cerpen dan cerbung. “Tahun berapa itu tepatnya‘, sambut saya. “1918 dan 1919 Bang!‘ Jawabnya. Saya terkejut. “Kalau begitu sejarah Sastra Indonesia Modern harus ditulis ulang!”

Tanggal 2 Mei yang lalu, Ichwan kembali menelepon saya. Ada seorang bernama Pidia Amelia telah menyusun sebuah antologi puisi berisi karya-karya penulis perempuan yang berasal dari tumpukan Koran-koran lama itu. “Tolong, Bang! Diberi pengantar‘, sarannya. Saya menyanggupi namun minta tempo beberapa hari karena saya harus ke Tanjung Balai dulu. Ada pesan-pesan dari pertemuan di Makasar dan Bukittinggi yang saya hadiri yang mau saya sampaikan di sana.

Ternyata benar, di Medan telah terbit beberapa bahkan banyak Koran. Ada Koran Soera Ibu, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin Karo, Asahana, Bintang Karo, Moetiara, Ichtiar, dan banyak lagi. Fenomena ini sungguh luar biasa dan tak menduga bahwa tempo-doeloe Medan telah begitu maju dan modern! Percaya diri ini dibangkitkan oleh “hanya‘ satu tumpukan Koran bekas yang dengan tekun dikumpulkan oleh seorang Ichwan Azhari.

Sebuah koran yang bernama Perempuan Bergerak juga tak ketinggalan memuat syair-syair. Salah satu syair itu ialah berjudul “Ajakan‘, karya Oepik Amin yang dimuat dalam Edisi 16 Mei 1919. Kita petikkan tiga bait di antaranya:

Adapun pada suatu hari
Sedang duduk seorang diri
Datanglah kawan menghampiri
Mevr Lhutan guru jauhari

Setelah dekat dia berkata
Hai Oepik Amin saudara beta
Perempuan Bergerak korannya kita
Sudah terbit di Medan kota

(…)

Apabila ditelisik, ternyata isi dan bentuk puisi atau syair ini sama sekali baru! Sungguh tidak biasa dalam sebuah syair diterakan nama seorang penggubah bahkan menuliskan nama dalam isi karangannya itu dengan begitu percaya diri. Biasanya dalam karya syair lama, nama pengarang disembunyikan bahkan dengan gaya merendah-rendah. Misalnya dalam “Syair Burung Pungguk” ini.

Dengarkan tuan mula rencana
Disuratkan oleh dagang yang hina
Karangan janggal banyak tak kena
Daripada faham belum sempurna

Dari segi bentuk pula puisi Oepik Amin ini menunjukkan kebaruan dan kepiawaian pengarangnya. Dia dengan berani memasukkan kosakata asing atau Belanda. Kata “Koran‘ dari bahasa Belanda itu hingga kini masih dikenal. Begitu juga kata “proef‘ dalam kalangan percetakan dan penerbitan masih disebut. Begitu juga kata “mevr‘ atau atau “mevrouw‘ masih ada atau dipakai dalam “kalangan atas‘.

Oepik Amin, pengarang syair ini, juga bisa “mengicuh‘ pembaca syair tradisional dari satu kebiasaan yang telah klise kepada satu kejutan yang baru. Cobalah kita lihat bait pembuka: Adapun pada suatu hari/ Sedang duduk seorang diri/ . Dalam syair-syair lama, ungkapan seperti itu selalu diikuti oleh peristiwa bersifat legenda, mitos, atau fabel. Misalnya dalam “Syair Bidasari‘, bait pembukanya berbunyi:

Dengarkan tuan suatu riwayat
Raja di desa Negeri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Supaya menjadi tamsil ibarat

Adalah raja suatu negeri
Sultan halifah akas bestari
Asalnya baginda raja yang bahari
Melimpah ngadil dagang senteri

Tapi dalam syair Oepik ini justru menunjuk kepada satu realita bahkan bersifat pribadi!: datanglah kawan menghampiri/ Mevr Lhoetan guru jauhari. (dalam transkrip teks disebut “guru jauh hari‘, tapi dalam kopi teks asli memang disebut: “goeroe djauhari‘). Lagi pula diksi dan idiomnya selalu praktis dan tegas yang mengacu kepada ekonomi kata, tidak bertele-tele atau berpanjang-panjang yang dihiasi oleh banyak bunga kata sebagaimana umumnya dalam sebuah naskah syair lama. Dalam puisi ini pun kita mengetahui bahwa kata “perempuan‘ pada masa itu memang memuat makna yang bersifat ameliorasi. Lama sekali, terutama pada era Orde Baru, kata “wanita‘ yang bermakna seperti itu. Sementara “perempuan‘ harus menanggung beban peyoratif.

Sebuah syair selalu mengisahkan peristiwa (luar biasa) yang dapat menghabiskan beratus halaman dan beribu bait. Syair Bidasari di atas misalnya, berisi 1551 bait! Syair Ajakan ini juga berisi kisah (luar biasa) tentang telah hadirnya Koran Perempuan Bergerak. Ia mengisahkan atau mempromosikan kebagusan Koran ini kepada sahabat-sahabatnya supaya jangan ketinggalan membaca dan menulis di sana. Kalau syair-syair lama itu harus menghabiskan ribuan bait untuk satu peristiwa yang dikisahkan, Oepik Amin cukup membuat syairnya 20 bait saja!
Karangan Siti Alima Organ untuk Perempuan Bergerak juga menyambut terbitnya Koran Perempuan Bergerak, dimuat dalam Edisi 16 Mei 1919. Dia pun menunjukkan kebaruan dalam pengucapan dan lebih bernuansa “Melayu Medan‘.

Misalnya bait ini:

Lama sudah kami di kali
Entah bila pula mengedari
Harap kami minta tetapi
Sama perempuan gemari

Mungkin bisa diterjemahkan seperti ini:

Kami sudah lama sekali (berjuang)
Entah kapan pula bisa tercapai
Kami berharap supaya diakui
Terhadap perempuan harus dihormati

Emansipasi mencuat dalam karya ini. Yang dituntut dalam hal ini adalah persamaan hak dalam belajar atau menuntut ilmu. Kita berdecak, bahwa telah hampir satu abad yang silam, kaum perempuan kita di Medan telah begitu maju. Begitulah Koran-koran lama yang berisikan sejarah perjuangan dan pergerakan, dapat membuka cakrawala baru bagi kita dewasa ini.

*) Damiri Mahmud, sastrawan, berdomisili di Medan.