Maling Kondang, Rizal Ramli, dan Komunitas Sastra Kali Malang

Syarifuddin Arifin
harianhaluan.com 15 Juli 2012

Sebuah rakit mengapung di Kali Malang Bekasi, antara Jalan Cut Mutia dan Jalan Chairil Anwar yang ditata menjadi sebuah panggung pertunjukan berbagai genre seni, teater, seni rupa, musi­kalisasi puisi, pembacaan puisi, orasi budaya, musik tradisi dan seni pencak silat tradisi. Diselenggarakan oleh Saung Sastra Kali Malang, Minggu (8/7) lalu yang dikomandoi Andre Putra yang lebih dikenal dengan nama Ane Matahari, yang dimaksudkan sebagai upaya seniman mengam­panyekan kali bersih.

Orasi budaya yang tadinya akan disampaikan oleh Prof Dr Abdul Hadi WM, digantikan oleh seorang ekonom/politikus Rizal Ramli. Ia mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat dan teguh dengan komitmennya untuk bersatu. Sejak merdeka 1945 lalu sampai hari ini, Indonesia tetap utuh dalam sebuah kerangka NKRI.

“Kita bangsa yang sabar dan patuh mengikuti komitmen bersama. Tapi, dirusak oleh sekelompok elit yang sedang berkuasa. Perjuangan pendahulu kita menjadi sia-sia bila kita membiarkannya,” kata Rizal Ramli yang mantan Menko Ekonomi di zaman Presiden Gus Dur itu. Lalu ia mengajak seniman untuk melakukan perlawanan melalui karyanya masing-masing.

Begitu ia turun dari perahu (untuk mencapai panggung terapung dan pinggir kali, harus naik perahu karet) seorang penyair Sumbar, Syarifuddin Arifin mendapat kehormatan untuk menye­rahkan buku puisi “Maling Kondang” yang baru saja dibedah di PDS HB Yassin, TIM Jakarta.

“Wah ini bukan Malin Kundang, tapi Maling Kondang yang banyak berkeliaran di Jakarta ya?” selorohnya yang disambut ketawa riuh dari berbagai seniman yang hadir ketika itu. Tak lama kemudian, Syarifuddin Arifin didaulat untuk membacakan sajak-sajaknya tersebut di Panggung Terapung, diikuti seruling bansi yang ditiup oleh Irman Syah, alumni Fakultas Sastra Unand. Lalu, penari dan penata artistik terkenal, M. Aidil Usman pun melengkapkannya dengan membaca sajak Bengkalai Utopia dari buku Maling Kondang tersebut.

Sastra Kali Malang Bekasi: Bersih-bersih!

Komunitas Sastra Kali Malang Bekasi, pada Minggu, 8 Juli 2012 lalu, melakukan ‘kampanye kali bersih melalui seni pertunjukan’. Kampanye oleh sejumlah seniman ini, sangat menarik perhatian saya. Oleh salah seorang panitianya, Irman Syah saya diundang sebagai peserta bersamaan dengan penyair Abdul Hadi WM dan Hanna Fransisca, Yuki Sastradirja, pelukis Agoes Jolly, Ki Djoko Wasis, pemantun Kang Guntur el Mogas. Lalu, diselingi oleh sejumlah pemusik jalanan, Farid Jus Melon (anak Mbah Soerip), Komunitas Seniman Gedung Juang (KSGJ) Kabupaten Bekasi, dan lain-lain.

Yang menarik itu, kegiatan ini justru didukung oleh Pemda setempat melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bekasi dan pengawasnya Harun Alrasyid langsung sebagai pemateri pada diskusi publik dengan topik Peran Serta Masyarakat dalam Menciptakan Lingkungan Bersih. Siasat yang dilakukan oleh sejumlah seniman Bekasi ini, agaknya perlu ditiru. “Kalau tidak begini, so pasti nggak dapat izin manggung di pentas terapung ini,” kata Adre Putra yang lebih dikenal dengan nama Ane Matahari, seorang seniman teater dan musik jebolah IKJ, yang menjadi motor penggerak kegiatan ini melalui Saung Sastra Kali Malang.

Dalam Saung Sastra Kali Malang tersebut, ada kelom­pok seni jalanan, kelompok seni tradisi, beberapa grup teater ( Teater Korek Unisma dan Teater Ompong), Paduan suara Unisma, sejumlah sastrawan dan pelukis jalanan secara pribadi ikut di dalamnya.

Kampanye Kali Bersih didahului dengan gotong-royong bersama masyarakat dan aparat terkait. Lalu mereka membuat sebuah rakit di tengah sungai tersebut, di persimpangan Jalan Cut Mutia dan Chairil Anwar yang cukup ramai. Malamnya hing­ga menjelang subuh diseleng­garakanlah “Apresiasi Sastra dan Seni Pertunjukan” yang saya ikuti sampai selesai.

Sebuah lampu sorot meng­arah ke tengah panggung, di mana seniman-seniman terse­but mengekspresikan karya-karyanya. Ada yang dengan terang-terangan mem­rotes pemerintah, bahkan ada juga yang dengan guyon-guyon segar dan menarik. Demons­trasi pelukis Agoes Jolly yang menyelesaikan lukisannya langsung dipang­gung dan ‘menyetubuhi’ luki­san­nya, merupakan sebuah pertunjukan alternatif yang menarik. Lalu memvisualkan karya sastra, seperti sejumlah penyair membacakan sajak-sajaknya dengan berbagai latar, memperpanjang malam yang semakin bergairah itu. Irman Syah alias Mpu Gon­drong Sae meniup seruling/bansi dengan idiom musik Jawa. Lalu pembacaan sajak-sajak yang umumnya bernada protes, atas ketidak­seimba­ngannya politik ekonomi akhir-akhir ini. Semuanya berjalan dengan mulus, bahkan dalam be­berapa dialog lepas, terdengar suara-suara sum­bang. Tapi semuanya berjalan dengan lancar dalam kemasan ap­resiasi sastra tersebut.

Rizal Ramli, dalam orasi budayanya mengajak seniman untuk melakukan protes de­ngan santun. “Jangan biarkan sebagian elit politik menindas rakyat semaunya. Karena kesabaran itu ada batasnya,” kata Rizal Ramli, rang awak ini pula.

Ia mengingatkan, bahwa rakyat Bekasi ikut berjuang mati-matian mempertahankan kemerdekaan yang direbut dengan darah dan nyawa. Sajak Chairil Anwar, Kera­wang-Bekasi jelas-jelas menye­butkan ribuan nyawa terbaring dan tulang-tulang berserakan menjaga Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahril.

Komunitas seni di Padang (Sumatera Barat) agaknya juga bisa menyelenggarakan kegiatan serupa, dengan me­man­faatkan dinas terkait. Bisa saja diselenggarakan di Pantai Padang, Jalan Samu­dera, belakang Taman Buda­ya, atau di bawah jembatan Purus, terbuka untuk siapa saja yang berminat menyaksikannya.
***

Bahasa »