Fadlillah Malin Sutan *
harianhaluan.com 22 April 2012
Perbincangan tentang sajak agaknya lebih kepada individu puisi, karena ada jebakan untuk menyamakan sajak dengan puisi, yang pada hakekatnya tidak sama, sebagaimana kata Pradopo (1984:2) puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak adalah individu puisi, dalam istilah bahasa Inggrisnya puisi adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang sebelum ada istilah puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) ataupun individu sastranya (sajak). Namun dalam perkembangan yang terjadi banyak juga disamakan orang.
Puisi sering disamakan orang dengan kata-kata yang indah. Ketika ada kawan-kawan yang merangkai kalimat dan terasa indah, maka ada yang mengatakan “waduh puitisnya”. Namun mengapa ada kawan-kawan atau sahabat mempertanyakan, ketika membaca puisi Indonesia terakhir ini, terasa ada atau banyak yang tidak indah dan bahkan tidak dimengerti. Seperti pertanyaan seorang ibu guru SMU kepada Gus tf (2005:xi), “Apakah sebenarnya maksud kata daging pada judul buku puisi Anda?” dan penyair pun sulit untuk menjawabnya. Dalam pertanyaan itu, sesungguhnya sudah terjadi jarak yang cukup jauh tentang persepsi keindahan.
Agaknya mirip dengan kejadian ketika banyak orang tua sulit memahami persepsi keindahan anak-anaknya yang berselera punk dan selera pop lainnya. Sehingga sering didengar para orang tua mengatakan, “aku tidak paham, apa indahnya anak laki-laki memakai anting-anting dan gaya rambut seperti itu?”. Dalam hal ini bukan tidak mungkin sesungguhnya sudah terjadi “jarak” yang cukup jauh, sehingga tidak termasuki, dan selanjutnya tentu tidak terpahami.
Tahun 90-an dunia perpuisian heboh dengan pebicaraan “puisi gelap” dengan tokohnya Afrizal Malna, dan tahun 2000-an heboh dengan “sastra mazhab selangkang” (SMS), Ayu Utami, Jenar, Binhad, Hudan versus Taufiq Ismail. Tentu akan terjadi juga, bagi berbagai ibu guru SMU, tentang sulit dan tidak dapat dipahaminya bagaimana keindahan puisi-puisi “Di Bawah Kibaran Kain Sarung” karya Djoko Pinurbo.
Estetika yang berjarak
Dalam dekade ini, dalam puisi Indonesia, “jarak” estetika (keindahan) itu semakin banyak, apalagi dalam era globalisasi, semua seakan tumpah ruah begitu saja, dan kita seakan berada di dunia yang asing. Semakin jauh “jarak” yang terjadi, apalagi semakin tidak ada niat dan tindakan untuk memasukinya, semakin tidak dipahami, maka dia hanya dihadapi dengan prasangka dan dugaan yang tidak terpahami juga. Dengan demikian terjadilah “perang prasangka”.
Mungkin yang diperlukan adalah kesadaran, bahwa perubahan zaman bergerak dengan cepat, sebagaimana di ungkapkan Afrizal Malna sebagai abad yang berlari, mungkin lebih dari itu. Zaman tidak mungkin menetap, resepsi keindahan bergerak berubah dengan cepat. Kita tidak mungkin menutup diri, hanya dengan demikian akan memungkinkan untuk memahami bahwa ada fenomena ‘sejarah yang berulang’, ada filosofi dasar perubahan yang memungkinkan kita untuk memetakan dengan baik.
Persajakan dalam puisi Indonesia bergerak pada estetika prase, dan potongan metafor yang melompat lompat begitu saja, yang tidak lagi menari lemah gemulai seperti deklamasi, bergerak kepada sesuatu yang selama ini dilegitimasi tidak indah maka sekarang dikatakan indah. Bagaimana sesuatu yang selama ini di tengah masyarakat adalah buruk dan tidak bermoral, tiba-tiba dunia puisi menghadirkannya sebagai sesuatu yang indah dan bermoral. Masyarakat tidak menerimanya, masyarakat marah kepada penyair, sulitnya, penyair berbalik memarahi masyarakat. Sebagaimana terjadi pada puisi-puisi “Kuda Ranjang” Binhad Nurrohmat (polemik SMS), dan penyair memarahi siapa saja yang bersuara miring tentangnya. Persoalannya, yang terjadi adalah estetika penyair sudah jauh berbeda dengan masyarakat, “jarak” mereka sudah jauh, sehingga sulit untuk memahami.
Estetika yang berjarak itu adalah suatu diskursus, dan diksi; pilihan kata, sudah merupakan; menjadi “dunia”, dengan maksud bahwa ketika kata-kata sudah dipilih, waktu itulah direkam pandangan dunia, sikap hidup, wawasan, politik, budaya, agama, yakni; berada pada kata itu, ini yang membuat dia berjarak, jarak yang tidak terjangkau.
Penjajahan Estetika
Kemudian ada kehendak untuk saling memaksakan konsep keindahannya, dan memonopoli kebenaran (baca: kebenaran tunggal). Memaksakan estetika kita kepada orang lain atau masyarakat dan melakukan penjajahan; adalah tindak kriminal estetika. Estetika yang berjarak dapat dimaklumi, akan tetapi tindakan penjajahan estetika (baca;kolonialisme estetika) suatu tindakan yang tidak dapat diterima secara kemanusiaan.
Penjajahan estetika berbeda dengan estetika penjajahan, pada penjajahan estetika terjadi pemaksaan estetika, baik secara halus maupun secara kasar, sembunyi atau terang-terangan, suatu tindakan kekerasan. Namun kalau estetika penjajahan adalah bagaimana indahnya penjajahan, bagaimana sisi positif penjajahan, bagaimana melestarikan penjajahan.
Kolonialisme Estetika adalah sungai-sungai yang akan bermuara kepada imperialisme estetika, yakni kerajaan besar dari penjajahan estetika. Contohnya, tentang kecantikan terhadap perempuan, baik dalam sastra, maupun di luar sastra, untuk seluruh dunia, bahwa yang dikatakan perempuan cantik itu adalah perempuan berkulit putih. Ini adalah imperialisme estetika, dengan pengertian selanjutnya, bahwa perempuan berkulit sawo matang (hitam, kuning, merah, coklat) adalah buruk, harus memutihkan kulitnya kalau ingin cantik, ini yang universal. Berlomba-lombalah perempuan timur untuk memutihkan kulitnya. Begitu jugakah dalam puisi, bahwa berpuisi dengan berbahasa Eropa, baru hebat, dan indah, serta diakui dunia? Antalah….
*) Staf FIB Unand, Mahasiswa S3 Kajian Budaya Universitas Udayana