Bingkai-Bingkai Kajian Sastra dalam Konteks Pengembangan Pengajaran Sastra (III)

Suminto A. Sayuti

Kesanggupan Guru

Dalam konstelasi pengajaran sastra, guru tetap menduduki posisinya yang utama. Akan tetapi, posisi utama itu tidak dalam artinya yang selalu berorientasi pada tindakan teacher-teaching, melainkan kapasitas dan kemampuan guru dalam mengarahkan dan memberikan dorongan kepada para siswa. Jadi, learner-learning tetap menjadi prioritas utama.

Masalah yang sering muncul di kalangan para guru yang terutama ialah adanya keluhan bahwa mereka belum memiliki kesanggupan yang memadai dalam mengapresiasi dan memahami karya-karya, termasuk misalnya bagaimana membacanya secara estetis di hadapan siswa. Terbatasnya pengalaman para guru, baik dalam hal keterlibatannya dengan karya-karya kanon maupun dalam hal mencermati perkembangan karya-karya sastra mutakhir, merupakan sumber asal-muasal munculnya problematika semacam itu.

Dalam mengajarkan karya sastra, hendaknya guru tidak terlalu bersifat kaku, misalnya saja dalam menjelaskan makna karya yang sedang dijadikan bahan pengajaran. Dalam kaitan ini, guru benar-benar berperan sebagai fasilitator bagi siswa-siswanya. Guru menampung bermacam-macam pandangan siswa mengenai karya yang sedang dibicarakan itu, mengarahkan, hingga akhirnya menyimpulkan dan memberikan penjelasan seperlunya, baik dari segi ciri formal karya maupun dari segi sejarah dan nilai kulural yang dikandungnya. Dengan cara demikian, imperatif edukasional dan kultural yang mesti ditunaikan oleh dan lewat pengajaran sastra dapat sekaligus dilaksanakan. Tujuan pengajaran yang bersifat literary knowledge diharapkan dapat tercapai bersamaan dengan elaborasi guru dalam mengaitkan teks yang dijadikan bahan pengajaran dengan nilai-nilai budaya yang penting untuk ditanamkan di kalangan para siswa. Oleh karena itu, salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk disarankan dalam konteks ini adalah strategi transaksional.

Jika hal tersebut dapat dilakukan secara terus-menerus, dapat diharapkan bahwa fungsi sekolah sebagai tempat “menghafal” informasi, sedikit demi sedikit akan bergeser dan akan menjadikan sekolah berfungsi sebagai tempat untuk “memperoleh dan mengolah” informasi, termasuk di dalamnya informasi sastra dalam rangka menumbuhkan aspresiasi di kalangan para siswa.

“Meruwat” Sastra dalam Kurikulum 2013

Jika dicermati secara saksama, dari waktu ke waktu, dari kurikulum yang satu ke kurikulum penggantinya, dunia pendidikan kita lebih cenderung memaknai kurikulum sebagai sebuah perencanaan bagi pembelajaran,[1] yang berisi berbagai materi yang diajarkan di sekolah:[2] kurikulum merupakan sebuah rencana atau program, yang melaluinya pembelajar memperoleh pengalaman diri di bawah arahan sekolah.[3] Dalam kaitannya dengan pelajaran Bahasa Indonesia, secara material Kurikulum 2013 berisi seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran Bahasa Indonesia. Akan tetapi, khusus dalam kaitannya dengan sastra, terdapat catatan yang perlu dikemukakan. Pertama, sastra tidak dihadirkan secara eksplisit, baik dalam rumusan KI maupun KD. Kedua, terkait dengan yang pertama, sastra dihadirkan secara implisit dalam KD, tetapi terbatas pada sedikit subgenre.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, baik melalui diskusi terbatas, seminar, maupun wawancara aksidental dengan guru, “hilangnya” sastra dalam kurikulum telah menimbulkan kegelisahan dan kebingungan. Bagi saya sendiri, ibarat anak, kurikulum sudah lahir. “Cacat bawaan” atau sukerta yang dibawanya tentu tidak membuat kita ingin membuang atau membunuhnya. Ia tidak boleh dibiarkan, tetapi mesti diruwat agar ia mampu tumbuh dan berkembang secara wajar. Artinya, berbagai upaya harus dilakukan agar kurikulum itu dapat diimplementasikan dengan baik. Bukankah setiap kurikulum hampir selalu membawa serta sukerta-nya masing-masing?

Upaya pertama yang dapat dilakukan agaknya terkait dengan terminologi “teks” yang terdapat dalam KD karena diam-diam kurikulum ini disusun dengan basis utama teks. Artinya, hadirnya teks-teks dalam kurukulum dapat disikapi sebagai pintu masuk untuk mengintrodusir sastra seperti dicita-citakan bersama. Terlepas dari persoalan apakah kurikulum ini mendasarkan diri pada teori teks sastra, yang jelas “any text is constructed as a mosaic of quotations; any text is the absorption and transformation of another,” seperti dinyatakan Julia Kristeva, atau pernyataan Teeuw bahwa teks sastra kapan pun diciptakan tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.

Tujuan utama mengkaji teks-teks sastra dalam perspektif pembelajaran adalah memaknai teks yang dikaji itu secara lebih penuh, yakni dalam konteks-konteks yang dimungkinkannya. Terlebih jika disadari bahwa pada hakikatnya teks-teks sastra adalah world in words, “jagat dalam kata-kata,” seperti kata Dresden. Jadi, ketidakhadiran “karya sastra” yang digantikan dengan kehadiran “teks” dalam kurikulum kita sikapi secara positif saja. Karena apa? Karena sesuai dengan kecenderungan puitika kontemporer: seyogyanya memang digunakan istilah teks dan bukan karya, karena, seperti dinyatakan oleh Roland Barthes, istilah karya (work) hampir selalu merujuk pada sesuatu yang dihasilkan oleh seorang pembuat (maker), sementara text merupakan sebuah gelanggang tempat bermacam ragam kutipan dan referensi bergabung, berseteru, dan kemudian berpadu.

Dengan demikian, terminologi teks dalam kurikulum hendaknya diartikan secara sempit dan luas. Dalam pengertian yang sempit, sebuah “teks” berarti sepotong tulisan yang memiliki sifat eksplisit, terbatas, dan terstruktur. Pada sisi lain, “teks” juga diartikan sebagai sistem pemaknaan, dan karenanya, pembaca adalah penerima pesan, dan penulisnya harus dipahami dalam pengertian yang abstrak. Penyikapan seperti ini memang memerlukan keberanian tertentu dari para guru karena upaya dekonstruktif tidak dapat dihindari, dan hal ini meniscayakan resiko tertentu.

Dekonstruksi terhadap istilah teks yang terdapat dalam KD tentu akan berpengaruh terhadap elemen kurikular lainnya, baik dalam kaitannya dengan rumusan tujuan, penetapan skopa, maupun dalam hal penetapan strategi pembelajaran berikut evaluasinya. Yang jelas, upaya dekonstruksi itu memang harus selalu disertai upaya rekonstruksi. Demi kemaslahatan, tidak ada jeleknya ke depan kurikulum ini memang wajib dilihat ulang agar cacat-condetnya dapat diperbaiki.

Seperti apa pun kurikulumnya, pembelajaran sastra di sekolah pasti berorientasi pada literary knowledge dan literary appreciation. Orientasi itu dapat diturunkan menjadi knowing, doing, dan being sastra; apresiasi, ekspresi, dan produksi sastra; atau dapat dirumuskan dalam (istilah Jawa) nga-3: ngerti, nglakoni, dan ngrasakke sastra, yang kesemuanya dapat dikontestualisasikan secara lebih luas, dapat didialogkan dengan “teks-teks” lain.

Seperti halnya dengan persoalan yang ramai dibicarakan orang, titik tolak Kurikulum 2013 adalah tematik-integratif. Bagi saya, dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra, hal itu juga bukan sesuatu yang baru. Demikian pula halnya dengan persoalan kompetensi. Jika dalam kurikulum terdahulu dikenal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, dalam Kurikulum 2013 digunakan istilah Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Bagi saya, esensinya sama. Pembelajaan sastra di sekolah berbasis kurikulum manapun sudah seharusnya tematik-integratif jika pembelajaran sastra dikehendaki untuk berfungsi kontributif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan, apalagi ketika kita sedang menggalakkan educating for character. Fungsi-fungsi edukatif, ideologis, dan kultural selalu melekat dalam praksis pembelajaran sastra di tingkat persekolahan. Tematik-integratif itu tidak terbatas pada konektivitas antara sastra dengan mata pelajaran lain, yang biasa digambarkan secara variatif: jejaring, konektif, dan lainnya; bahkan dalam tataran relasional antara bahasa dan sastra itupun harus terintegrasi. Demikian pula halnya dengan tataran knowing, doing, dan being.

Khusus untuk yang terkait dengan genre teks sastra, Kurikulum 2013 melakukan reduksi besar-besaran. Dari sejumlah kekayaan yang ada dalam khasanah sastra Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang disebutkan secara eksplisit. Bagi saya, hal ini tidak perlu dirisaukan, apalagi di tangan seorang guru sastra yang kreatif. Penyebutan yang banyak juga sering menjadi sia-sia jika tidak disikapi secara kreatif dalam praksis pembelajaran.

Mengajarkan sastra pada dasarnya merupakan sebuah upaya menciptakan suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar sastra. Sistem lingkungan ini terdiri atas komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yang terdiri atas: (a) tujuan instruksional yang ingin dicapai; (b) teks sastra yang diajarkan; (c) guru-siswa yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu; (d) bentuk kegiatan pembelajaran yang dilakukan; (e) sarana dan prasarana belajar-mengajar yang tersedia. Komponen-komponen sistem lingkungan ini saling mempengaruhi secara bervariasi. Dengan demikian, setiap peristiwa belajar-mengajar sastra pun menuntut “profil” yang unik.

Untuk mencapai tujuan belajar sastra harus diciptakan sistem lingkungan belajar sastra yang khas pula. Dalam kaitan ini, tujuan-tujuan belajar sastra yang diusahakan dengan tindakan instruksional untuk mencapai efek instruksional menjadi penting. Akan tetapi, tujuan-tujuan yang lebih merupakan efek pengiring juga tidak kalah pentingnya. Dinyatakan demikian karena siswa menjadi to live in lingkungan belajar sastra, misalnya saja mereka menjadi berkemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan bersikap terbuka dalam menerima pendapat orang lain.

Seorang guru sastra harus memilih satu (atau biasanya lebih) strategi belajar-mengajar jika ingin mencapai efek instruksional, efek pengiring tertentu, atau karena ingin mencapai kedua-duanya. Apapun yang dikehendaki, kesadaran pertama dan utama yang harus selalu dipegang adalah bahwa penekanan lebih ditujukan pada “siswa-belajar sastra” dan bukan pada “guru-mengajarkan sastra.” Karena, the learning process is complete only when the learner understands, accepts and puts the knowledge acquired into practice. Oleh karena itu, “continuous interplay between texts and the reader” menjadi imperatif yang seharusnya ditunaikan dalam pelaksanaan pembelajaran.

Uraian di atas menunjukkan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional, dalam arti memilih dan melaksanakan SBM yang efektif, seorang guru sastra membutuhkan wawasan yang cukup memadai tentang kemungkinan-kemungkinan strategi belajar-mengajar sastra yang sesuai dengan tujuan-tujuan belajar sastra, baik dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, yang ingin dicapai berdasarkan rumusan tujuan pendidikan yang utuh. Di samping itu, ia juga memerlukan penguasaan teknis di dalam menyiapkan (baca: mendesain) sistem lingkungan belajar-mengajar sastra berikut implementasinya secara efektif.

***

One Reply to “Bingkai-Bingkai Kajian Sastra dalam Konteks Pengembangan Pengajaran Sastra (III)”

Comments are closed.