Jamil Massa
degorontalo.co
Sejumlah komunitas sastra di Gorontalo menghelat sebuah diskusi kesusastraan dan kebudayaan bertajuk “Linimasa Komunitas Sastra Gorontalo. Banyak kegelisahan dan persoalan terlontar di dalamnya. eksistensi komunitas sastra di Gorontalo sepi dari kegiatan dan pagelaran.(BACA: Risno Ahaya, Perawat Syair Gorontalo Di Tepi Zaman)
Hal tersebut diutarakan jurnalis sekaligus seniman, Syam Terrajana. Menurutnya saat ini komunitas-komunitas sastra di Gorontalo seperti terkotak-kotak dan tidak padu. “Kadang komunitas di Kota (Gorontalo) buat acara, komunitas di Limboto tidak hadir. Sebaliknya kalau Limboto buat acara, komunitas di Kota tidak tahu,” ujarnya pada diskusi yang digelar di Rumah Adat Dulohupa, Kota Gorontalo, Sabtu (20/12) kemarin.
Menurut Syam, kurangnya silaturahmi antar komunitas tersebut berimbas pada redupnya diskusi-diskusi sastra di Gorontalo dan akhirnya berujung pada kurangnya sastrawan mencipta, serta sepinya minat masyarakat membaca karya sastra. (BACA: Kasimu Motoro, Kisah Moral Ayah yang Makan Anaknya).
Karena itu menurutnya, seluruh komunitas sastra di wilayah itu memerlukan satu wadah, semacam forum bersama untuk menjalankan berbagai gerakan kebudayaan, seperti baca puisi, pengkajian dan diskusi sastra hingga berbagai macam festival maupun perlombaan untuk memacu motivasi.
Banimal Malabar dari Komunitas Tanggomo, menyebut komunitas-komunitas di Gorontalo kurang optimal memanfaatkan ruang-ruang publik yang telah banyak terbuka di Gorontalo. Padahal menurutnya Gorontalo sudah memiliki sejumlah tempat yang cukup kondusif untuk menggelar acara-acara seni budaya seperti diskusi buku, pembacaan puisi dan pentas teater di Gorontalo.
“Kita di sini punya taman kota, Limboto punya taman menara. Kenapa tidak manfaatkan saja dengan menggelar acara mingguan? Supaya kita bisa lebih banyak bertemu dan menghidupkan sastra di Gorontalo.” (BACA: “Alphabet Challenge” Cara Beda Kenalkan Budaya Gorontalo).
Dalam pertemuan yang digagas Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo tersebut, sejumlah persoalan lain diutarakan peserta diskusi yakni mengenai kurangnya fasilitas seperti perpustakaan dan kurangnya apresiasi dari media massa di Gorontalo yang tidak menyediakan kolom untuk sastra.
Arif Makmur, salah seorang penggiat sastra dan guru SMA 2 Limboto, juga melontarkan kegelisahannya soal sastra yang mulai jarang memasuki anak-anak usia sekolah terutama sekolah menengah. “Padahal kita bisa mencari bibit-bibit penulis dari SMP dan SMA yang ada di Gorontalo,” ungkapnya. (BACA: Buku Karya Maestro Gorontalo Ini Hanya Dijual 10 Ribu Perak !).
Diskusi ini merupakan rangkaian pagelaran seni budaya yang berlangsung dua hari (20-21/12) di Rumah Adat Dulohupa Gorontalo. Beberapa acara menarik dilangsungkan dalam rangkaian ini seperti pementasan teater, sastra lisan, dan pembacaan puisi. Di tempat yang sama Pada Minggu (21/12), juga digelar diskusi kebudayaan dengan tajuk “Sastra dan Budaya sebagai Pembentuk Identitas Masyarakat Gorontalo” dengan pembicara Prof. Dr Nani Tuloli, seorang pakar bahasa daerah dari Universitas Negeri Gorontalo dan Zulkifli Lubis, seniman sekaligus akademisi dari perguruan tinggi yang sama. (BACA: Asal Usul Nama Gorontalo dan Peringatan Leluhur).
Menurut Handoko, panitia kegiatan, acara ini dimaksudkan untuk mempertemukan kembali komunitas-komunitas sastra di Gorontalo, serta untuk menumbuhkan kembali semangat penggalian tradisi lisan setempat. “Kita juga berharap acara ini akan mampu merangsang lahirnya penulis-penulis sastra berkualitas di daerah ini,” pungkas lelaki yang juga merupakan salah seorang staf kantor bahasa tersebut.
http://degorontalo.co/komunitas-sastra-di-gorontalo-perlu-wadah-bersama-gerakan-kebudayaan/