Sketches Perjalanan Pelukis Rengga AP


Nurel Javissyarqi *

Sebelum memperkenalkan Rengga AP ke sidang pembaca, saya ingin bercuap-cuap terlebih dulu, sekiranya bagi pengantar makolah sekaligus merambahi dunia lukis terdahulu, sekarang dan masa akan datang?

Jauh sedurung manusia mengenal lukisan, di kedalaman batinnya paling wingit, suara-suara mitos didongengkan atau bersama perubahan dinaya alam, umat manusia memahami keseluruhan jagad alit jagat besar, kedirian serta alam raya, membaca warna siang juga malam, mengamati pesona fajar pula senjakala. Tatkala kuda hitam menjelma angin menyeret arak-arakan gemawan, daya tenaganya yang besar merangseki bentuk kemauan, hasratnya perpindahan, sedang untaian rambut ekornya mengibas, menjatuhkan tiap-tiap pengharapan, lalu anak manusia penuhi pilihan-pilihan menggetarkan, takdir menentukan dari gambaran lama, dan lahirlah kenangan dari setiap tarikan nafas diantarkan jemari demi dilukiskan di dinding goa kesunyian. Atau rupa-rupa bahaya mengancam nyawanya, mereka menebar kabar berita yang diusung dari kemurnian menyelamatkan jiwa kemanusiaannya, menutup pintu goa atas batu besar dengan rapatnya, nafasnya tersengal was-was menderai sukmanya menuju terbitnya kesungguhan, lalu pelahan-lahan dimakmurkan perasaan dengan topangan jati keyakinan; apa yang menyala pastikan redup, yang berkobar-kobar dihempaskan angin sepi, sewarna sunyi-sepi diperoleh dari riuhan.

Di puncak kesadaran ini, sang bocah pelajari apa saja yang berkisar di sekelilingnya, gradasi warna pohon serta getahnya, men-yinauh-i rupa bebatuan, menggesek-gesekkan yang padat menjelma api, bebatang kayu dicobanya demi hadirnya ruh nyata, di sisi menyimak nyanyian gerimis, kemarahan hujan angin deras, petir guntur menyambar disertai kilatan-kilatan cahayanya menebang pepohonan, menciumi pepucuk gunung, menyentakkan pebukitan, lantas warna membiru dimengerti setelah api membakar keseluruhan diri. (‘Jika saya tidak memiliki warna merah, saya menggunakan warna biru’ Pablo Picasso).

Ketika waktu dilipat-lipat pemiliknya, angin-gelombang uluran selendang mengikuti irama tarian, lekuk leliku gemulainya atas tabuhan gending-gending dalam goa, bebulir air terpelanting, wewarna cahaya, angka hitungan, mendiami tempat-tempat terpencil, menjelma hal diperebutkan kala pelbagai makna dipijak di ruang kenyataan, bersama nama-nama disematkan, tapi semuanya berpulang kepada nurani, kala naluri saling gasak bertabrakan, dan darah mengucur menjelma rupa menentukan, tanah letak berdiri pun demikian, lalu putih pada bola mata senilai kepurnaan.

Hijau dedaunan, kuning kemarau melanda, coklat meranggas, hitam kelam menyerupai dendam yang siap melambrak apa saja di depan, seolah lama menanti, membeletat pagar kemendadakan, lelukisan ekspresi tak lagi nyata, menjalari jari-jari benalu memeluk erat pohon sengketa, semacam cinta lara, timbullan abstraksi mengejawantah. Lama sebelum itu telah di-rapal-kan datangnya musim kerinduan, entah diantarkan bayu pula gerimis mendatang nan mendentang, dilanjutkan tetabuhan keharmonisan, dan makhluk manusia tetap saja mencari, menjelajahi kulit bumi melayari lautan api, bibir-bibir retak mewujud tekstur perubahan. (‘Dunia tidak masuk akal, jadi mengapa saya harus melukis gambar itu?’ Pablo Picasso).
***

Saya bukan pelukis pun sastrawan, barangkali diri ini seniman, dan darah yang mengalir-mengarus deras dalam tubuh berasal dari jiwa seni. Seniman paling mujur pada keseluruhan hidupnya Pablo Picasso pun berkata-kata ‘Semua anak adalah seniman. Masalahnya, bagaimana tetap jadi seorang seniman setelah tumbuh besar nantinya.’ Tetapi saya tegak berteguh keyakinan, orang-orang yang berhasil mengembangkan jiwanya, sukses di bidang ditekuninnya itu seniman tulen, terus lahirlah seistilah seni berperang, seni berdagang, seni merampok, seni berkhotbah, seni menjiplak dst.

Berasal gemuruh suara sebelumnya lalu Andy Warhol melantunkan nada puitis, ‘Di masa mendatang, seseorang bisa terkenal, hanya dalam waktu lima belas menit.’ Bersamaan arus besar itulah seni lukis khususnya mencapai senjakalanya, berakhirnya sejarah, tamatnya filsafat, Tuhan pun wafat di tangan seniman kondang Friedrich Nietzsche. Guratan pun relief di goa, pula di barisan percandian serta cat minyak di tubuh kanvas sudah barang langka, diganti wajah seni rupa modern beraliran kontemporer, postmodern, hyper-postmodern, sampailah transformer-hyper-postmodern, misal hadirnya teknologi kamera nan canggih, instalasi seni rupa, instalasi seni pertunjukan kian menggila, tapi seolah hanya perpanjangan sampur dari capaian lama, lalu kitab Kamasutra kalah tenar film XXX. Seni lukis bernasib sama dengan takdir agama, yang awalnya asing kembali kepada keterasingannya.
***

Dan Rengga AP hadir dalam jaman yang sudah menganggap karya lukis telah terasing, pun ijek di-recoki persoalan klasik yang mewabahi negara berkembang, masyarakatnya masih mementingkan materi, ini dibenturkan paham keluarga, bahwa mencari uang dengan bekerja, bukan lewat melukis, menulis, apalagi baca buku, ditambah masalah pemula serta hal-hal seharusnya diberantas di dalam kepala orang tua demi masa depan anaknya; biarkan mereka bernasib malang-melintang melintasi alam dunianya, terpenting bertanggungjawab atas gagasan-gagasannya.

Rengga Ari Prasetyo lahir pada tanggal 4 Agustus 1989, putra pertama dari tiga bersaudara di Desa Purworejo, Geger, Madiun. Sekolah Dasar di desanya, Sekolah Menengah Pertama di Geger, Sekolah Menengah Kejuruan Kimia di Madiun, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Ponorogo dengan gelar SHI, 2014. Sedari tahun 2009 sampai 2014, menekuni Kitab-kitab Kuning di Pesantren Darul Hikam, Joresan, Mlarak, Ponorogo, kini sedang menumpuh S2 di kampus STAIN Kota Warok, maka praktis persahabatannya dengan lukisan sebagai autodidak nekat. Saya awal kali mengenalnya saat berada di Pesantren DH tahun 2011 dengan lukisan-lukisanya.

Ia bukan anak orang kaya dan tidak lahir dari rahim seorang ibu yang mengenyam pendidikan tinggi, namun sejarah tekat hidupnya patut diacungkan jempol sebarisan seniman idealis. Sengaja ‘memang’ dalam pengembaraan kedua di Bumi Reog tahun 2011 (sebelumnya tahun 2001 di Tegalsari), selain mengemban nasib tengah terdampar di SSC (Sutejo Spectrum Center) juga mencari orang-orang tekun yang layak meraih kesenangan batiniah. Di pesantren yang dalam keadaan melarat, Rengga AP masih sanggup mementingkan beli cat minyak yang berharga mahal, dibandingkan kebutuhan makan, ini mengingatkan saya semasa di Jogja berpuasa mutih, lantaran uang saku dibelanjakan demi membeli alat-alat lukis, dari situlah kami semakin akrab.

Hari-hari melewati wulan, bulan-bulan melampaui tahun, Rengga AP jadi bulan-bulanan atas teror saya tebarkan, saya pun dihantui nasib sedang menerkam kedalaman batin yang terus menerawang, istilah penulis Sutejo ‘Wayang kelangan gapite.’ Maka jadilah kami sama-sama tertawa, keluyuran mencari-cari corak obyek warna di ketenangan Telaga Ngebel, memaknai perpindahan warna serta efek terpantul dari siratan bebintik cahaya surya, mendung menggantung, air membaca, bebatuan merenung, pegunungan terlelap, pekabutan menyapa, ombak disisir angin, bayu disapu kelembutan putri yang didorong pengharapan dilukiskan, ataukah sampur sewarna pelangi Dewi Nawang Wulan menjuntai keluar dari pigura kenangan? (‘Betapa pun sebelnya seorang wanita, kalau dilukis tetaplah menyentuh rasa bangga, hingga tersenyum senang dibuatnya’ Nurel J.).
***

Setidaknya Rengga AP sudah tahu ‘History of Art’ Adi Kusrianto, Made Arini, membaca ‘Biografi Basoeki Abdullah Sang Maestro’ kepunyaan Solichin Salam, ‘Bung Karno: Kolektor dan Patron Seni Rupa Indonesia’ Mikke Susanto, bukunya Hendro Wiyanto dan Hari Budiono, ‘dia datang, dia lapar, dia pergi’ kenangan Pak Djon, sopir dan asisten pribadi pelukis Affandi, serta ‘Dullah Raja Realisme Indonesia’ Sudarmaji. Tentunya, buku-buku biografi pula karya-karya pemikir yang mempengaruhi diri saya ia lahap, tidak terkecuali seniman pelukis kapiran Adolf Hitler dengan kitab Mein Kampf.

Jadilah ia telah menjadi manusia waras ketika berkehendak menggelar pameran tunggal, menjelma seniman normal di antara seniman, meski tampak kegilaannya di hadapan masyarakat, khususnya di Karesidenan Madiun, wilayah yang tak membentuk pertimbangan serius kecuali mengkudeta jiwanya lebih dulu, sebelum mengkup seni rupa di tanah air dengan darah Madiun. Maka dengarkan khotbah Picasso; “Seniman yang baik meminjam, seniman yang besar mencuri” atau pitutur-nya “Pelajarilah aturan layaknya seorang profesional, sehingga dapat mematahkan mereka seperti seorang seniman.”

Mungkin jejak kanak Rengga AP gemar menggambar, senang mencoret-coret bangku sekolah seperti perkembangan pemuda seusianya, dan jari-jemari tangannya yang nggeratil tidak jenak di satu tempat, apalagi di tahun 2012 mulai membuka diri dengan para pelukis Kota Reyok, Abdoel Karim Masspoor, Sugeng Ariyadi, Andry Deblenk, Z Musthofa, di Madiun kotanya sindiri berkenalan dengan Bambang Irawanto, sempat saya ajak ke Lamongan menemui pelukis Jumartono serta pelukis senior Tarmuzie seangkatan almarhum Harjiman Jogjakarta, maka perangainya yang autodidak nekat sediki demi sedikit terarah, tidak lagi melukis kuburan, wajah para kyai juga rupa teman-temannya semata.

Di pesantren, ia mungkin tengah mengamalkan pendapatnya pelukis abstrak murni Achmad Sadali, ‘Daerah seni ialah daerah zikir, makin canggih kemampuan zikir manusia, makin peka mata batinnya.’ Di Darul Hikam Joresan, selain kesibukannya jadi santri juga ustad serta menjadi sopir mobilnya kyai sepuh, jadilah praktis nalarnya bergerak dinamis, melintasi bacaan serta tradisi, jalan naik turun lika-liku dilalui, bola matanya terus mengedarkan pandangan, mencari-cari obyek demi dilukiskan ulang. Mencerna kaca cermin psikologi percandaan kawan, kemalasan anak-anak didiknya dan sekali waktu menyapu halaman masjid, di samping gotakan yang tumbuh pohon sawo, mengepulkan asap rokok di warung sambil menelaah ulang buku-buku yang dibacanya, tidak lupa kembali ke dalam kediriannya.

Lukisan-lukisan Rengga AP belum banyak yang mapan atau sedikit yang mendekati kematangan, dan saya berharap di pameran tunggal kedua ke seterusnya, sudah pantas dipatahkan, dinilai tidak sekadar penggembira, tapi telah mempuni mentalitas coretannya dalam bertarung mengadapi badai gelombang besar, ketika angin kencang mendorongnya kuat di ketinggian; saat itu ia telah melampaui batas-batas kediriannya, keluar sedari ukuran semula, menuruti gejolak yang tidak dimengerti seolah keterasingan terhadap diri lebih kuat sedari sebelumnya. Senada bahasa Pablo Picasso; ‘Saya selalu melakukan apa yang tidak bisa saya lakukan, agar dapat belajar bagaimana melakukannya.’ Wewarna itu saya tunggu, dan menanti bisa memendam rindu di balik dendam jika pengharapan tidak sesuai, mengimpi pesona agung yang sanggup menggetarkan persendian ruang-ruang pameran, ruhaniahnya keluar dari skat-skat pigura, menyeruakkan pesona lukisannya menghampiri alam nyata bersegenap kerahasiaannya.

Usia Rengga AP genap 28 tahun, dapatlah berharap lukisan-lukisannya nanti memancarkan sifat-sifat misterius seperti karya Popo Iskandar. Tidak selukisan Djoko Pekik dengan garapan jelek menyerupai kerja borongan, tetapi terlanjur terkenal sebab adanya rupa-rupa menggelorakan suara rakyat kepada penguasa, semacam perpanjangan sedari lukisan ‘Tjap Go Meh’ karya Sindu Sudjojono. Dan semoga kualitas lukisannya kelak menghampiri karya-karya Affandi, begitu detail dengan pertimbangan dari kejelian dalam, kesuntukan memendam kepenuhan atau keseimbangan mempuni. Walau gairahnya di bawah Raden Saleh, yakni warna nafsunya tampak pada lukisan-lukisannya beraliran romantisisme. Meski belum sematang Basuki Abdullah dalam sapuan-sapuannya atas semangat Mooi Indie, tapi dapatlah berharap eskpresinya setangguh Bagong Kussudiardjo, dan sepertinya tidak memasuki dekoratif magis Widayat. Saya pun berharap salah satu karyanya menjadi koleksi penting Galeri Nasional bersama karya-karya pelukis yang saya sebut di paragraf ini.
***

Ketika bacaannya terhadap buku-buku terus merambah, sketsa-sketsanya tiada henti menajamkan pengamatan, mematangkan unsur-unsur tekad, menempa keyakinan di setingkap waktu menggelora, nilai-nilai siratan komposisi digali, di-keduk-nya dari dasar perasaan, keintiman kepada cat, bayangan kelam, keraguan siang, ketundukan sewaktu malam, was-was menguntitnya, hantu-hantu kegagalan, serta tembok putih tebal berjamur kemalasan, digempurnya bagaikan ombak lautan mengukir batuan karang, tak jemu mengunjungi capaiannya, dan perasaan tak puas mentok di tengah jalan, putus asa kembali bergairah, memuntahkan lahar hingga tak tersisa, lalu di sumur perenungan mulai temukan kejernihan air kebaharuan. Latihan sketsa seibarat baca buku tebal yang nikmat alurnya, ada tragedi, goda, misteri, juga hal-hal membuat jiwa muda, maka dimulailah tahun 2014 mengadakan pameran bersama para pelukis lainnya;

Pameran lukisan Hisma dalam Hari Jadi Kota Madiun di Alun-alun Caruban, pameran lukis ‘Ngawi Ramah Menyapa’ di Gedung Eka Kapti. Tahun 2015 pameran lukis pada Hari Jadi Madiun di Alun-alun Caruban, pameran lukis ‘Paguyuban Seni Rupa Madiun’ di Pasar Raya Sriratu, pameran lukisan Shor Zambou di Ponorogo City Center (PCC), pameran lukis ‘Madiun Obah’ di Hotel Aston. Di tahun 2016 pameran lukis ‘The Power of Art’ di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), pameran lukis Hari Jadi Madiun di Gedung Korpri, pameran lukis Hari Jadi Kota Ponorogo di PCC, pameran lukis Tiga Perupa di Hotel Aston Madiun, pameran lukis Grebeg Suro di PCC, pameran lukisan ‘Serenade Biru di Langit Madiun’ di Hotel Aston. Tahun 2017, pameran lukis ‘EduArt: Jalinan Rona Pesona Estetika’ di TBY, gelar karya melukis bareng di Indigo Art Space dan di Gedung Kabupaten Madiun, presentasi karya lukisan bersama Heri Kris di Indigo Art Space, pameran lukis memperingati Hari Jadi Madiun, dan pameran lukis ‘Ragam Pesona’ di Gedung Eka Kapti, Ngawi. Sekarang tanggal 6-8 Oktober 2017 mengawali pameran lukis tunggal dengan tema ‘To Take Delight’ di JIERO, Jl. Bali 17 Madiun.

Rengga AP bisa dikata senasib para pelukis yang tumbuh di daerah lain, masih berpameran di dalam negeri, padahal di antara mereka sudah banyak yang berpameran ke luar serta dikenal di sana. Maka pesan singkat saya senada teror terdahulu; setiap kecamatan ada sejenis dirimu, di semua kabupaten ada puluhan, pada segenap provinsi ada ratusan orang memiliki semangat menyerupaimu serta lebih, olehnya hentikan cepat atau bertaubat kalau tidak sungguh. Jikalau tetap ngotot kumandangkan derap langkah, tambahkan kelipatan gairah, tempalah kuat-kuat keyakinanmu melebihi barisan pendahulu, sebab kualitas karyalah yang berbicara garang nantinya, dan jika kesunyian terus meringkus, tegap jangan ragu, barangkali jaman belum mendukungmu atau betapa banyak karya melampaui masanya, semasa hidupnya tidak didengar, tetapi nilai tinggi karya gemilang dipancarkan waktu sesungguhnya, seperti kita ketahui kemalangan Vincent van Gogh bersama karya-karyanya abadi sepanjang sejarah!

*) Pengelana waktu asal Lamongan, Indonesia, Dunia; datar atau bulat sama saja tetap berkarya!

 

Leave a Reply

Bahasa »