Metanegasi, Pretensi dan Kesalahan

Reza A.A Wattimena *
rumahfilsafat.com

Tanggapan atas buku “Filsafat Negasi” tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam Diskusi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 9 Mei 2016

Saya teringat suatu sore di kota Berlin, Jerman. Saya sedang berdiskusi dengan seorang kawan tentang perbedaan antara filsafat Jerman dan filsafat Prancis kontemporer. Kawan saya berpendapat, bahwa para pemikir Prancis tidak dapat dianggap sebagai seorang filsuf, melainkan sastrawan. Mereka menggunakan bahasa yang indah dan berbunga-bunga, guna menyampaikan maksud mereka yang sebenarnya cukup sederhana. Ini tentunya berbeda dengan gaya menulis para filsuf Jerman kontemporer, seperti Julian Nida Rümelin dan Jürgen Habermas, yang menekankan ketepatan kata, supaya tulisannya bisa dimengerti oleh masyarakat luas.

Ketika membaca buku Filsafat Negasi ini, ingatan tentang percakapan tersebut mengalir deras di dalam kepala saya. Saya mencoba membaca buku ini, dan melahirkan semacam metanegasi, yakni negasi atas negasi. Yang saya tangkap adalah, bahwa Fayyadl mencoba memaparkan apa yang sesungguhnya tidak bisa dipaparkan oleh kata dan konsep. Sebuah kepura-puraan (pretensi), bahwa kehidupan bisa dilukiskan dengan guratan tulisan yang mati, setelah pengarang meninggalkannya.

Negasi

Argumen pertama di dalam buku ini sebenarnya cukup jelas dan lugas. Fayyadl menulis, “Filsafat ada untuk ditolak. Hanya dalam kemungkinannya untuk ditolak, ia akan relevan untuk terus ada.” (21) Kalimat ini merangkum seluruh isi dari buku tersebut. Namun, penjelasan lebih jauh kiranya tetap diperlukan.

Filsafat adalah sebuah Kritik. Dalam arti ini, mengikuti Immanuel Kant, Kritik bukanlah melulu penolakan atas dunia, melainkan sebuah upaya rasional untuk memberikan tanggapan terus menerus atas apa yang ada. Singkat kata, filsafat selalu berperan sebagai upaya bernalar (Venunftsanwendung). (diurai dalam Wattimena, 2010) Dengan menanggapi segala sesuatu dengan nalarnya, filsafat membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi kehidupan. Kemungkinan baru yang penuh harapan, walaupun selalu datang dengan ditemani berbagai krisis.

Oleh karena itu, filsafat selalu ditakuti, terutama oleh orang-orang yang sudah diuntungkan dari berbagai keadaan yang tidak adil dan tidak masuk akal. Bagi mereka, filsafat adalah ilmu setan. Namun, bagi sebagian besar orang, filsafat justru membebaskan dari kebodohan dan kemiskinan hidup. Dapat dengan lugas dikatakan, para pembenci filsafat adalah orang-orang yang menyembunyikan ketidakjujuran. Dalam arti ini, justru ketika dibenci, filsafat menjadi berarti.

Lebih jauh, Fayyadl menulis, “Apakah, dengan demikian, logika murni dari filsafat negasi? Filsafat negasi tidak akan pernah sesederhana pemaknaan atas negasi sebagai penolakan tanpa pemikiran-pemikiran yang diekspresikan dengan histeria dan paranoia atas yang ada. Kita harus terus mencari landasan dari mana negasi dapat terus menerus mempertanyakan yang ada, dasar dari mana negasi dapat mengintensikan dirinya dengan menegasikan-dirinya: suatu logika murni.” (78)

Filsafat itu bernalar dengan bertanya. Pertanyaan diajukan pada dasar sekaligus penalaran dari apa yang telah ada sebelumnya, yakni keadaan yang ada di depan mata kita. Logika menjadi dasar yang terus dipegang erat. Jadi, tujuan dari filsafat adalah “menolak”, dalam arti bernalar dengan bertanya atas apa yang sedang terjadi.

Keberlanjutan

Filsafat menolak bukan untuk menghancurkan, tetapi justru untuk melanjutkan. Ia memutuskan bukan untuk meniadakan, melainkan untuk membuka kemungkinan. Fayyadl lebih jauh menulis, “Negasi adalah suatu keputusan, suatu aktus intensional yang spesifik. Ia adalah keterputusan dari pemenuhan makna dari dunia. Ia adalah aktus pemenuhan makna tersendiri, dengan menegasi. Ia adalah aktus penciptaan dunia baru, horizon baru.” (131)

Kehidupan yang sejati memang tak pernah lahir dan tak pernah mati. Ini kiranya sejalan dengan ide dasar filsafat Timur, bahwa ketika kita melepas semua konsep, tidak ada lagi perpisahan, awal dan akhir. Semua menjadi satu, dan apa adanya (suchness). Ketika pendapat dan pemikiran lenyap, kebenaran dan kesejatian akan secara alamiah tampil ke depan. Pada titik tertentu, filsafat pun harus dilepas, supaya kebenaran dan kebijaksanaan bisa tampak.

Semua pun berlanjut. Tak ada yang terputus. Fayyadl menulis,“Kehidupan memenuhi makna bagi yang ada, mendorong makna itu hingga tarafnya yang paling optimal, namun ketiadaan kehidupan, bahkan kemusnahannya, tidak berarti ketiadaan yang ada. Dengan demikian, batas eksistensi tidak berkoinsiendensi dengan batas vitalistiknya.” (90)

Kekinian

Kebijaksanaan tertinggi adalah melepas kehidupan di dalam keberlanjutannya. Ini berarti melepas ingatan dan masa lalu, sambil bisa terus belajar darinya. Di dalam filsafat Timur, inilah pencerahan yang tertinggi. Orang menjadi sadar, bahwa yang sesungguhnya ada adalah kekinian. Sisanya hanya ilusi yang menyiksa diri.

Fayyadl menulis, “Dunia lama adalah dunia yang impoten untuk melahirkan kebaruan. Ia adalah dunia yang telah ada dan tak lagi menjadi. Ia menjadi sejauh untuk mengulang ketelah-ada-anya. Sampai kapan kita mampu menanggung siklus dari masa kini yang melampaui: terus- menerus membawa masa lampau ke dalam “kekinian” kita? “Kekinian” di dalam lingkup yang telah ada adalah suatu kekinian yang tak aktual.”(141)

Keberlanjutan juga berarti menghayati kekinian. Apa yang sedang kamu lakukan? Lakukan itu sepenuh hati dan sepenuh jiwa, tanpa memikirkan tujuan ataupun hasil yang ingin dicapai. Hidup yang terus menerus di dalam kekinian juga berarti menyentuh tujuan utama dari filsafat, yakni mencapai kebijaksanaan.

“Transgenerasi”, demikian tulis Fayyadl, “adalah perubahan nyata. Ia adalah mengaktualnya kekinian. Suatu peristiwa murni. Mengaktual dari apa? Bukan dari yang telah ada, melainkan dari negasi. Peristiwa dari apa? Bukan dari yang telah ada, melainkan dari negasi. Transgenerasi adalah kemungkinan konsekuen yang ultim dari aktus menegasi.” (146-147)

Kekinian adalah kebaruan terus menerus. Kekinian adalah kemungkinan tanpa batas. Hidup dalam kekinian berarti hidup dalam harapan. Jika kekinian lenyap ditelah ingatan ataupun ambisi buta, maka penderitaan dan ketersesatan adalah buahnya.

Pretensi

Dengan mengambil jarak dari buku ini, kita bisa menemukan pretensi, yakni kepura-puraan. Fayyadl berpura-pura mampu menyampaikan apa yang sesungguhnya tak bisa disampaikan. Akibatnya, bahasa dan alur berpikirnya menjadi begitu kacau, nyaris tak dapat ditangkap dengan nalar. Mungkin, Fayyadl bisa belajar dari secercah kebijaksaan Ludwig Wittgenstein, bahwa apa yang tak dapat diungkap dengan bahasa, diam adalah jalan keluarnya.

Pretensi buku ini kiranya mengambil bagian dalam pretensi filsafat Barat pada umumnya, yakni pretensi untuk memahami dunia dengan kata dan konsep. Pretensi ini begitu dalam berakar di dalam filsafat Barat, sehingga nyaris tak dipertanyakan lagi. Padahal, semua kata dan konsep selalu terbatas, sehingga tidak mampu menangkap dunia sebagaimana adanya. Tanpa sadar akan hal ini, filsafat lalu mengira, bahwa kata dan konsep adalah kenyataan itu sendiri. “Ini”, kata Shunryu Suzuki, Zen Master asal Jepang, “adalah kesalahan.”

Buku Fayyadl, dan juga uraian saya, kiranya mengambil bagian dalam kesalahan ini. Bisakah kesalahan ini kemudian membantu orang lain? Bisakah kumpulan kesalahan ini menyentak kita untuk bangun dan tercerahkan di dalam hidup kita? Selama pretensi disadari, ia bisa menyelamatkan. Namun, selama pretensi melahirkan kesombongan, ia lebih baik dibuang ke tempat sampah.

*) Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat München, Jerman.
https://rumahfilsafat.com/2016/05/01/metanegasi-pretensi-dan-kesalahan/
Reza A.A Wattimena, seorang Penceramah, Peneliti dan Penulis di bidang Filsafat Politik, Pengembangan Diri dan Organisasi, Metode Berpikir Ilmiah dan Kebijaksanaan Timur. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Kebijaksanaan Timur dan Jalan Pembebasan (akan terbit- 2016), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), dan berbagai karya lainnya.

Leave a Reply

Bahasa »