ESTETIKA SKIZOFERNIA: KEMUNGKINAN DAN KETIDAKMUNGKINAN “MUSEUM PENGHANCUR DOKUMEN”

Dedi Sahara
mengebiriwaktu.cf

Dalam buku antologi Museum Penghancur Dokumen —dalam esai penutupnya— Afrizal Malna mengatakan bahwa “puisi dengan bahasa sebagai mediumnya, tetapi bukan berarti bahasa sebagai identitas puisi”. Dengan kata lain bahwa puisi, walaupun menggunakan bahasa, tetapi bukanlah produk bahasa. Lebih lanjut lagi Afrizal mengatakan bahwa “puisi sebagai karya seni dari pada sebagai karya sastra”.

Setelah membaca kredonya itu, kemungkinan saya untuk memasuki puisi-puisi Afrizal Malna jauh lebih mudah. Namun ketidakmungkinan pun sekaligus menyergap saya: Apa syarat-syarat yang memungkinkan puisi sebagai karya seni? Apa yang membedakan karya sastra dan karya seni? Puisi seperti apa yang dimaksud Afrizal, yang tidak terikat oleh gramatika, yang tidak tunduk pada bahasa sebagai mediumnya? Karena pada kenyataanya, puisi-puisi Afrizal Malna sangat sulit sekali untuk dipahami. Berbeda dengan puisi-puisi penyair lainnya, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Agam Wispi, Rendra, Wiji Thukul, Saut Situmorang, Ahmad Faisal Imron, dan Acep Zamzam Noor, yang bagi saya sangat berkesan dan mudah dipahami.

Bahkan jika harus diakui, bahwa pada awalnya saya tidak begitu tertarik dengan puisi-puisi Afrizal Malna. Namun seiring berjalannya waktu, terutama ketika kultur mendeterminasi saya—ketika nama Afrizal Malna menjadi trending topic. Saya pun mulai memaksakan diri untuk kembali membaca puisi-puisi Afrizal Malna—walaupun dengan susah payah. Saya membacanya berulangkali, sampai kepala saya terasa mau pecah, sampai saya merasa mual, sampai saya histeris, sampai saya bosan dan menyerah. Saya membacanya berulangkali, sampai kesunyian menyergap aku internal, sampai aku internal membunuh aku eksternal, sampai aku eksternal bertebaran dalam realitas, jejaring sosial, kamus-kamus dan buku-buku bekas. Saya membacanya berulangkali, sampai saya menjelma Afrizal Malna.

Terdengar sangat berlebihan memang, karena saya mencoba mengikuti gaya bicara Afrizal dalam setiap tulisannya. Hingga (sekurang-kurangnya) memang harus diakui, bahwa kepenyairan Afrizal Malna patut diperhitungkan. Afrizal memiliki kecenderungan yang sangat unik, terutama pada puisi-puisinya. Walaupun sebenarnya kita tahu, bahwa apa yang dilakukan Afrizal Malna bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelumnya Charil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri, juga telah melakukan pembaruan estetika dalam tradisi perpuisian Indonesia.

Estetika Skizofernia

Skizofernia adalah sebuah istilah psikoanalisis, yang pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia. Akan tetapi, kini—terutama dalam dikursus barat—istilah ini digunakan secara metaforik untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas, termasuk di antaranya bahasa (Lacan), fenomena sosial-ekonomi, sosial-politik (Deleuze & Guattari), dan fenomena estetik (Jameson) (Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna: 2003).

Hal itu tidak terlepas dengan kehadiran postmodernisme yang sangat problematis dan kontroversi. Istilah-istilah seperti pastiche, skizofernia, intertekstualiti, kitsch, dan simulasi, adalah bagian dari diskursus postmoderinsme.

Jacques Lacan mendefiniskan skizofernia sebagai “putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna.” Hal ini kerap sekali hadir dalam puisi-puisi Afrizal Malna yang mengesahkan adanya gejala skizofernik.

Musik Lantai 16

Aku memasuki tubuhmu dan kini aku berada di luar
dirimu. Masih ingatkah denyut jantung di sebuah
sofa? Karpet merah yang menghisap lantai. Semua
yang belum tertata dari mimpi-mimpimu menari
bersamaku. Tarian tentang angsa-angsa yang tersesat di
atas karpet merah. Membuat perbedaan antara puisi
dan suara penghisap udara kotor, antara ledakan sebuah
pelukan dan koper yang menginap di lantai 16 sebuah hotel.
Aku keluar dari tubuhmu dan kini aku berada dalam dirimu.
Masih ingatkah tentang lidah yang terantai dalam mulut.
Senda-gurau antara koper dan puisi, antara gigi dan daging yang
tersayat, sebuah orgasme yang membuat seluruh bahasa manusia
terdiam. Seseorang berkulit hitam dan putih mamasak mie rebus
di dapur yang sedang naik ke lantai 16 sebuah hotel. Terus naik
membangun hotel yang lain, lebih tinggi dari wajahmu yang
terus tengadah untuk menatap kegelapan. Aku, adalah kekasih
yang selalu mengosongkan koper dalam vaginamu.

Jika dilihat dalam kaca mata konvensional yang menuntut koherensi, puisi yang berjudul Musik Lantai 16 sangat kurang koheren, kurang solid, bahkan cenderung obscure. Hal ini disebabkan oleh struktur puisi yang berdiri masing-masing. Gejala skizofernia yang hadir dalam sajak ini, tampak jelas pada larik /seseorang berkulit hitam/ dan /putih mamasak mie/ /rebus di dapur/ /yang sedang naik/ /ke lantai 16/ /sebuah hotel./ /terus naik/ /membangun hotel yang lain,/ /lebih tinggi dari wajahmu/ /yang terus tengadah/ /untuk menatap kegelapan./ Secara logika bahasa, jelas sangat tidak logis. Mana ada dapur naik ke lantai 16, lalu membangun hotel yang lain, lebih tinggi dari wajahmu? Apakah wajahnya setinggi hotel? wajah siapa yang dimaksud? Siapa yang membangun hotel, adakah lelaki berkulit putih dan hitam? Kau-lirik di sini pun cenderung anonim.

Mungkin saja kita akan mengatakan bahwa hal tersebut adalah kegagalan observasi pada objek-objek yang hadir disekitarnya. Diksi dapur yang (mungkin) disepertikan sebagai lift atau eskalator, misalnya. Bagi saya sangat sulit sekali untuk dibayangkan. Hal ini memperlihatkan terputusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk suatu ungkapan makna. Sehingga puisi Musik Di Lantai 16 cenderung kehilangan daya magis-metaforiknya, yang pada akhirnya hanya jatuh pada narsisismenya yang skizofrenik. Lebih jelasnya dalam puisi Musik Di Lantai 16, hanyalah permainan penanda-penanda, yang terkukung pada imanensi yang akhirnya menjadi sekedar rangkaian sensasi.

Merapi Dinner

Merapi memuntahkan Jakarta. Ini lahar hijau. Ini
lahar coklat. Lurus seperti penggaris yang mengukur
betismu. Silahkan pilih untuk dipotret. Silahkan potret.
Silahkan potret. Tuan-tuan, ada awan panas pada cara-cara
Anda mengendarai mobil. Mencari
sumbangan. Menciptakan pahlawan dari para
sukarelawan. Menciptakan rakyat sebagai korban
dan pengungsi. Ribuan spiker berkumpul di antara
kabel-kabel mikrofon menuju listrik. Tuan-tuan tidak
mengenal artinya ayam dan sapi. Merapi
memuntahkan Jakarta berwarna lurus sekali.
Penggarisan yang lurus sekali mengukur lahar. Tuan
parlemen sedang istirahat di jerman, menghabiskan
anggaran akhir tahun. Nyonya-nyonya sedang sibuk
dengan anggaran pendapatan dan pengeluaran
Negara untuk tahun depan.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Merapi memuntahkan
jakarta, penuh garis-garis hitam seismograf.
Sungai-sungai tumbuh, gunung dan pulau sedang
diciptakan kembali di antara pesawat-pesawat
terbang antar kota 28.000 Kaki di atas permukaan
laut. Generasi baru berhamburan dari kitab-kitab
elektrik yang menyimpan muka mereka. Merapi
sedang makan malam dalam mulutmu. Setiap saat
TV meletuskan lahar dingin, membelah setiap puncak
Gunung. Silahkan potret. Silahkan potret. Debu-debu
Kaca berhamburan dari mata Anda, tuan-tuan
yang sibuk menghancurkan negri ini.

Aduh tanah seseorang kita adalah tanah seorang kami
dan seorang mereka. Dekatlah ke sini, lebih dekat lagi,
mendengar suara semiograf yang ditulis oleh hujan. Dekatlah,
tuan-tuan dan nyonya. Ini bukanlah gemuruh debu-debu yang sedang
berdoa.

Ini adalah api yang sedang menciptakan dirinya.

Dalam sajak yang memiliki muatan kritik sosial ini, bagi saya ada suatu hal yang enigmatik, sekaligus ambivalen. Awalnya saya membayangkan bahwa sajak ini bercerita tentang Gunung Merapi yang meletus pada tahun 2010 di Yogyakarta, yang memakan ratusan korban jiwa manusia. Tetapi, spekulasi saya pun langsung dikacaukan oleh simbol-simbol yang tidak ada kaitannya dengan kejadian itu. Misalnya, sajak ini tidak memunculkan referensi yang jelas pada kejadian meletusnya gunung merapi di Yogyakarta itu—tidak ada kronologi waktu. Kata-kata di dalam sajak ini tak ada acuan pada realtias faktual atau tidak bersifat refrensial. Hal inilah yang dikatakan sebagai gejala skizofernia.

Lacan mengatakan bahwa “skizofernia menganggap kata-kata sama seperti benda-benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi mempresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri menjadi kata.” Dapat dikatakan bahwa kalimat-kalimat dalam sajak tersebut adalah kumpulan penanda-penanda (signifier) material yang berdiri sendiri yang petandannya (signified) telah hilang. Sehingga kata-kata dalam sajak ini hanyalah referensi dari kata-kata itu sendiri.

Misalnya, pada larik pertama /merapi memuntahkan jakarta/, secara logika bahasa jelas sekali sangat tidak logis. Tak ada relevansi antara diksi Merapi dan Jakarta. Gunung yang meletus tak akan memuntahkan sebuah kota—walau ada kemungkinan akan membentuk sebuah kota. Kita pun tahu bahwa Gunung Merapi berada di pulau Jawa, tepatnya di Magelang. Sedangkan jarak antara Merapi dan Jakarta terhitung ribuan kilometer jarak tempuh.

Tetapi, bisa saja ada hal yang sangat esensial dalam frase tersebut. Afrizal menggunakan diksi “jakarta” tak hanya serta merta tanpa sebab. Afrizal menghadirkan diksi “jakarta” sebagai citraan dari kondisi Jakarta yang chaos, yang dimetaforkan seperti gunung meletus yang mengalirkan lahar. Sehingga diksi “jakarta” hadir dalam bentuk yang paling esensial: Afrizal telah sampai pada inti kata, walau pada akhirnya frase-frase pada puisi tersebut cenderung gelap.

Kemudian penggambaran peristiwa pada frase itu cenderung ambivalen: Mengerikan dan Menggelikan. Hal ini diperkuat lagi dengan larik selanjutnya /ini lahar hijau/, /ini lahar coklat/. Apakah mungkin ada lahar berwarna hijau dan coklat? Dalam karya seni dan sastra—terutama yang memiliki gejala skizofernia—dapat ditemukan kode-kode simbolik, yang di dalamnya kontradiksi, ambiguitas, dan ambivalensi merupakan isi dari karya itu sendiri—juga merupakan nilai estetiknya.

Mesin Penghancur Dokumen

Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan. Perkenaan aku memberikan
keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk

Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah,
kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan
kembali bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang penyair.

Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang
sendirian dalam kisah-kisahmu.

Di dalam karya skizofernik dapat dilihat dari keterputusan dialog di antara elemen-elemen dalam karya, yaitu tidak berkaitannya elemen-elemen tersebut satu sama lain, sehingga makna karya tersebut sulit untuk ditafsirkan. Hal ini tampak jelas pada larik pertama, /ayo, minumlah/, /tidak/, /saya sedang tidak es kelapa/, /makanlah kalau begitu/, /tolonglah/, /tidak/, /saya sedang tidak nasi rames/. Fungsi sintaksis dalam sajak ini terputus. Afrizal cenderung menggunakan simbol-simbol yang memiliki koherensi pada frase-frase itu. Secara semiotika, diksi minum sangat berkaitan dengan diksi es kelapa. Hal ini bisa saja merujuk pada kau-lirik yang sedang tidak ingin es kelapa yang melambangkan kesegaran dan kehausan.

Lacan mengatakan bahwa skizofernik tidak mampu membedakan antara tensis past, present, dan future dalam kalimat—disebabkan oleh gangguan pertandaan—maka kita juga tidak dapat membedakan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam pengalaman kehidupan psikis kita, /perkenankan aku/, /membimbing tanganmu./ /masuklah di sini/ /yang di sana./, /masakini yang di masalalu./, /masuklah kalau kamu/, /tak suka tata bahasa/. Seorang skizofernik bisa saja mengatakan, bahwa “aku adalah air dan api” atau “aku adalah primitif dan modern”.

Kemungkinan Dan Ketidakmungkinan

Seperti yang kita tahu, bahwa puisi sebagai salah satu jenis karya sastra memiliki struktur yang beberda dari jenis karya sastra lainnya—terutama dengan karya seni. Puisi memiliki unsur-unsur seperti diksi, imaji, majas atau gaya bahasa, rima, irama, tema, isotopi, yang membentuk bangunan utuh puisi. Puisi sebagai karya sastra pun memiliki nilai estetis—seperti halnya karya seni—yaitu puitis.

Sedangkan syarat-syarat kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam cara yang meliputi struktur puisi, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur kebahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya.

Dalam puisi-puisi Afrizal, struktur puisi masih tetap hadir membangun keutuhan puisi. Tetapi, ada yang berbeda dengan puisi-puisi pada umumnya. Misalnya, dari gaya bahasa yang Afrizal gunakan yang cenderung sangat sulit sekali dipahami. Terlebih lagi dengan konsep estetika yang diterapkannya. Memang, harus diakui bahwa kemungkinan Afrizal untuk menjadikan sajaknya sebagai karya seni yang tidak tunduk pada gramatika, cenderung berhasil.

Namun, pada akhirnya puisi-puisi Afrizal Malna cenderung sulit untuk dimengerti, dan jatuh pada narsisme, sensasi, yang tidak memiliki isi—sekurang-kurangnya bagi saya—seperti “instalasi kekosongan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa puisi yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, pada akhirnya tidak dapat terlepas dari gramatika. Hal ini disebabkan karena bahasa sudah merupakan sistem tanda yang mempunyai artinya berdasarkan konvensi tertentu. Seorang penyair dalam membentuk sistem dan maknanya, dalam karya sastranya, harus mempertimbangkan juga konvensi bahasanya, agar karya sastranya tidak mengawang-awang jauh di ruang kosong.

2015
http://www.mengebiriwaktu.cf/2015/12/estetika-skizofernia-kemungkinan-dan.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *