Berawal dari Membaca dan Menulis Sajak

Abdul Salam HS
rumahdunia.org

Sebelum menulis cerpen, esai, naskah drama, dan novel, Iwan Simatupang memulai menulis dengan menulis sajak. Walaupun sajak-sajak yang ditulisnya tidak begitu terkenal, karena Iwan tidak begitu produktif menulis sajak, dan sampai akhirhayatnya Iwan tidak pernah membukukan sajak-sajaknya tersebut. Malahan, yang terkenal sampai saat ini adalah karya novelnya yang berjudul Ziarah.

Seorang penulis sajak, akan melahirkan tulisan esai-esai yang handal. Walaupun berawal dari tulisan yang tidak seberapa. Ada sebagain orang mengatakan bahwa, “Kalau perut kita ingin kenyang, maka janganlah menjadi seorang penulis sajak.” Tapi, hal itu tidak bagiku. Meskipun sebagian orang berkata demikain, akan tetapi hal itu tidaklah selamanya benar.

Kita pernah mendengar dan mengenal nama WS Rendra, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Bondan Winarno dan lain sebagainya. Mereka semua adalah seorang penyair dan juga esais handal. Maka janganlah kita takut untuk terus menulis sajak. Seperti yang aku katakan di atas, bahwa seorang penulis sajak akan melahirkan esai-esai handal. Seorang teman pernah bertanya padaku, “Apa gunanya menulis sajak? Apakah dengan menulis sajak kau akan bisa membeli mobil?” lalu aku jawab bahwa, “Menulis sajak bukanlah untuk membeli mobil, motor atau yang lainya. Aku menulis sajak karena aku senang dengan dunia itu.” Mengutip perkataan seorang penyair asal Bandung, Dian Hartati, bahwa menulis sajak adalah obat hati. Berarti saat kita menulis sajak sama saja dengan telah menumpahkan kegalauan yang ada dalam hati kita. Dan aku percaya dengan apa yang sudah para penyair ungkapkan. Aku akan terus menulis sajak dan kalau perlu aku pun mahir menulis esai-esai yang handal.

Berawal dari Mambaca dan Menulis

Aku sangatlah gemar menulis sajak atau puisi. Kegemaranku menulis sajak ini berawal sejak aku duduk di bangku SMP Al-Irsyad, kelas lX. Waktu itu, di sekolahku ada sebuah kegiatan ekstrakulikuler tentang kepenulisan tentang berita, cerpen, dan sajak. Saat itu aku sangat menyukai dengan sajak. Adapun awal perkenalanku dengan sajak saat aku membaca sebuah sajak yang ditulis oleh seorang penyair bernama Raudal Tanjung Banua, dengan judul sajak “Gugusan Air Mata Ibu.” Sajak itu, aku dapat dari sebuah lemari perpustakaan pribadi kakakku. Dari situlah aku senang sekali membaca dan menulis sajak.

Dulu, ketika aku masih duduk dibangku sekolah SMP Al-Irsrad, aku sering membawa buku bacaan baik fiksi maupun nonfiksi. Buku itu aku ambil dari lemari perpustakaan kakakku. Buku itu aku bawa ke pesantren dan sekolah. Karena, sejak aku lulus dari SD, aku tidak lagi tinggal bersama orangtua. Aku tinggal di sebuah pesantren. Jadi, ketika ada waktu untuk pulang, aku gunakan untuk menukar buku-buku lama yang aku ambil dari kamar kakakku tanpa sepengetahuan dia dan menggantinya dengan buku yang baru.

Sejak saat itulah, kegemaranku membaca dan menulis sajak mulai tumbuh dan berkembang. Dan Alhamdulillah, sejak aku menginjak kelas IX SMP sampai aku lulus, aku dipertemukan dengan Rumah Dunia. Sebuah komunitas perpustakaan masyarakat yang banyak melahirkan penulis, baik cerpen, esai, puisi, novel. Komunitas Rumah Dunia itu terletak di bumi kampung Ciloang, komplek Hegar Alam. Sampai sekarang aku tinggal di Rumah Dunia mengabdi menjadi relawan sambil melanjutkan sekolah di SMA PGRI 1 Kota Serang.

Ramadhan Syukur

Minggu (12/10), siang pukul 13.30 WIB, Rumah Dunia kedatangan tamu dari alumni redaksi Tabloid Warta pramuka (1989-19991), yaitu Ramadhan syukur, Chris Indra, Krisna Panotoih. Sebelumnya, Rumah Rumah Dunia sering kedatangan tamu “Orang-orang besar.” Sekitar dua bulan yang lalu, tanpa ada surat atau janji, Rumah Dunia kedatangan penulis bestseller ( Habibburrahman El Sirazy). Kalau kita melihat belakang, tentu banyak sekali “orang-orang besar” yang sudah pernah bertamu ke Rumah Dunia, seperti; Goenawan Mohamad (Tempo), Taufiq Ismail (Horizon), wartawan dari Kompas, koran TEMPO, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, dan masih banyak penulis-penulis hebat lainnya, yang tak bisa aku sebutkan satu persatu.

Kedatangan Ramadhan Syukur dkk, ke Rumah Dunia selain merekat tali silaturahmi, juga membagi ilmu tentang keredaksian serta pengalaman dia sewaktu masih jadi wartwan kepada kelas menulis Rumah Dunia angkatan 14. “Dulu sebelum aku menulis essai, naskah film, aku menulis sajak. Menulis sajak itu awal dari keberlangsungan karierku. Waktu itu, aku menulis sajak sejak masih duduk dibangku SMP,” ucap Ramadhan ketika mengobrol dengan peserta kelas menulis Rumah Dunia.

Ya, Obrolan itu dibuka dengan pengalaman empirik Ramadahan, mulai dari ia senang membaca, senang menulis, dan mengirimkan naskah-naskanya ke surat kabar sampai ia menjadi wartawan.

Ramadahan Syukur adalah teman Gola Gong, sewaktu masih sama-sama menjadi wartawan di Warta Pramuka Gramedia. Setelah mengobrol panjang tentang pengalaman empiriknya, dan memberi motivasi kepada kelas menulis Rumah Dunia. Obrolanpun akhirnya harus disudahi karena mengingat jam menunjukan pukul 16.00 WIB sore. Ramadhan Syukur berserta kawan-kawannya meminta izin pamit untuk meninggalkan Rumah Dunia. Sedangkan aku dan para relawan lainnya beserta pemilik Rumah Dunia, Gola Gong hanya bisa mengiyakan sambil mengucap selamat tinggal dan hati-hati. Semoga kedatangannya tidak sekadar berkunjung akan tetapi meninggalkan kesan yang tak bisa dilupakan.(*)

*) Abdul Salam HS, relawan Rumah Dunia dan pelajar SMA PGRI 1 Kota Serang.
http://rumahdunia.org/index.php/news-18/37-jurnal/1729-berawal-dari-membaca-dan-menulis-sajak

Leave a Reply

Bahasa »