Kemiskinan Sastra dalam Provinsi Terkaya di Indonesia

Gus Noy
kompasiana.com/gusnoy

Tidak ada penyair dari Kalimantan Timur (Kaltim) dalam pengumuman hasil karya yang terseleksi untuk acara Temu Penyair Nusantara, 5 Juli 2016, di Meulaboh, Aceh Barat, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Aceh Barat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Barat. Sementara dari Kalimantan Selatan (Kalsel) tercantum empat penyair, yaitu Budi Borneo, Fahmi Wahid, Micky Hidayat, dan Rezqie Muhammad Alfajar Atmanegara.

Juga dalam pengumuman hasil seleksi karya bertema “Klungkung dalam Puisi” yang diselenggarakan oleh Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali pada 2 Agustus 2016. Dari Kalsel tertera tiga penyair, yaitu Ali Syamsudin Arsy, Moh. Mahfud, dan Rezqie Muhammad Alfajar Atmanegara.

Sebelumnya, 22 Juni 2015, acara Temu Kangen Penyair dalam rangka Tifa Nusantara II yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang bekerja sama dengan Disporabudpar Kabupaten Tangerang hanya terpampang nama Imam Budiman dari Kaltim. Sedangkan dari Kalsel tampak duabelas penyair, yaitu Ali Syamsudin Arsi, Anna Mariyana, Arsyad Indradi, Fahmi Wahid, Helwatin Najwa, Iberahim, Ibramsyah Amandit, Maria Roeslie, Nuniek Kharisma Rosalina, Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara, Syarif Hidayatullah, dan Tajuddin Noor Ganie.

Dan, dalam arena pertandingan ataupun pemuatan karya sastra di media massa, Kaltim hanya diwakili oleh Imam Budiman. Lagi-lagi, dari Kalsel selalu tampil lebih dari seorang. Belum lagi even-even sastra, komunitas, dan buku-buku sastra karya gabungan maupun tunggal.

Situasi tersebut, barangkali, bisa sedikit ‘mencengangkan’, jika terkait dengan salah seorang Paus Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan) dari Kaltim yang kaya karya sekaligus berkualitas tinggi, dan kekayaan material Kaltim dibandingkan dengan Kalsel.

Sekilas tentang Kaltim yang Kaya Raya

Kaltim, bagi kebanyakan orang yang gemar mengakses informasi, merupakan sebuah provinsi terkaya di Indonesia. Bersumberkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2016, dari pemasukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim per kapita mencapai nilai Rp.155 juta setiap tahunnya, atau tertinggi di Indonesia, sedikit melampaui DKI Jakarta.

Sementara Harian Radar Pekanbaru (22/9/2015) mengangkat laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan 2013 dengan judul 10 Kabupaten Terkaya di Indonesia, Rupanya Hanya Ada di Kaltim dan Riau. Dari kesepuluh itu, menurut Radar Pekanbaru berdasar data BPS 2013, peringkat pertama diduduki oleh Kabupaten Kutai Kartanegara dengan PDRB sebesar Rp. 129.959 T, dan sumber daya alam Rp. 2,828 T lebih. Kabupaten lainnya di peringkat bawah, Kabupaten Kutai Timur (3), dengan pendapatan per kapita sebesar Rp.184,346 Juta, dan sumber daya alamnya sebesar Rp. 1,486 T lebih. Disusul Kutai Barat (7), pendapatan per kapita sebesar Rp.55,67 Juta, PDRB sebesar Rp. 9,83 T, dan sumber daya alam sebesar Rp. 782,35 M. Di bawahnya, Kabupaten Paser (8), dengan dana bagi hasil atas sumber daya alam sebesar Rp. 731,675 M. Terakhir, peringkat 9 adalah Kabupaten Berau dengan PDRB sebesar Rp. 12,81 T, dan hasil atas sumber daya alamnya sebesar Rp. 710,31 M.

Sebelumnya VivaNews.Com (2010) dengan berita Daftar 20 Kebupaten Super Kaya di Indonesia, menyebutkan di dalamnya terdapat Kabupaten Kukar, Kutim, Kubar, Paser, PPU, Kota Samarinda, Bontang, dan Balikpapan dengan masing-masing peringkatnya. Tidak heran jika sekitar 2014-2015 Kaltim mengajukan permohonan mengenai otonomi khusus kepada Pemerintah Pusat. Di beberapa daerah Kaltim pun sempat terbentang spanduk-spanduk mendukung status “Otonomi Khusus”.

Ya, kekayaan material-ekonomi dalam kehidupan Provinsi Bersemboyan “Ruhui Rahayu” memang selalu nyaring dalam pemberitaan dan pembicaraan orang-orang di Indonesia. Orang-orang, dengan pelbagai latar sosial-budaya, dari luar Kaltim pun berbondong-bondong ke sini dengan satu tujuan : ekonomi, ibarat pepatah usang, “ada gula, ada semut”.

Tak pelak pembauran budaya dan lain-lain terjadi, meski kebanyakan pendatang hanya berfokus pada kepentingan materi, dan fokus ini pun ‘diwariskan’ ke generasi berikutnya. Barangkali situasi tersebut sesuai dengan pendapat Pakar Komunikasi Denis McQuail, “Pada dasarnya masyarakat dibentuk oleh pelbagai kekuatan ekonomi.”

Sektor-sektor pekerjaan yang sangat menjanjikan materi dalam jumlah besar, dan dapat diraih dalam tempo sesingkat-singkatnya, merupakan ‘wilayah’ tujuan utama. Sementara, pada masa itu, sastra dan budaya tulis-menulis di Kaltim bukanlah bagian dari budaya setempat. Kebanyakan para pendatang pun tidak berbekal kemampuan bersastra atau tulis-menulis.

Sekilas Perkembangan dan Kemajuan Dunia Kepenulisan-Sastra-Budaya

Perkembangan dan kemajuan dunia kepenulisan sastra-budaya di daerah-daerah luar Pulau Kalimantan bukanlah sebuah berita baru. Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi (Makassar), bahkan Nusa Tenggara Timur (NTT), telah menunjukkan betapa lancarnya proses produksi karya, dan regenerasi penulis sastra-budaya.

Ambil satu contoh, yaitu NTT, yang jauh di bawah kekayaan Kaltim. Generasi muda (putra-putri daerah), misalnya Mario F. Lawi, Ragil Sukriwul, Cipriyan Bitin, Dody Dohan Kuje, dan lain-lain di Bumi Pattimura sangat bergairah dalam kepenulisan sastra-budaya, dan tetap menghormati para senior mereka, misalnya Gerson Poyk dan Umbu Landu Paranggi meskipun kedua tokoh besar ini berada di luar NTT.

Sementara perkembangan dan kemajuan sastra dan budaya tulis-menulis di Pulau Kalimantan, meski secara kekayaan juga jauh di bawah Kaltim, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) selalu menunjukkan realitas yang signifikan. Pada dekade 1980-an, berdasarkan sebuah penelitian tak resmi yang dilakukan oleh Penyair Bambang Widiatmoko, Kalsel menduduki peringkat kedua dalam kategori populasi penyair terbanyak di Indonesia setelah Yogyakarta.

Proses regenerasi sastrawan di Bumi Antasari, dalam esai Micky Hidayat, Sepintas Sastrawan dan Komunitas di Kalimantan (Radar Banjarmasin, 2008), dimulai 1930-an, yang dipelopori oleh Merayu Sukma, Anggraini Antemas (Yusni Antemas), M. Yusuf Aziddin, Artum Artha, Ramlan Marlin, Hadharyah M., Merah Danil Bangsawan, dan seterusnya hingga generasi 1980-2000-an, di antaranya Y.S. Agus Suseno, M. Rifani Djamhari, Noor Aini Cahya Khairani, Ali Syamsuddin Arsi, Ariffin Noor Hasby, Sandi Firly, Fahruraji Asmuni, Eddy Wahyuddin SP, Sainul Hermawan, M. Hasbi Salim, Harie Insani Putra, Abdurrahman Al Hakim, Abdurrahman El Husaini, Isuur Loeweng, M. Nahdiansyah Abdi, Hajriansyah, Elang W. Kusuma, Aliman Syahrani, Shah Kalana Al-Haji, Hardiansyah Asmail, Andi Jamaluddin AR.AK, Fahmi Wahid, Fitriadi, M.Fitran Salam, Joni Wijaya, dan lain-lain, yang telah rajin menghasilkan karya yang patut diperhitungkan secara nasional.

Lantas, bagaimana dengan Bumi Mulawarman, jika secara ekonomi-budaya dibandingkan dengan NTT dan Kalsel? Secara ekonomi, jelas Kaltim jauh lebih kaya. Secara sastra-budaya, Korrie Layun Rampan telah menunjukkan kualitas-kuantitas karya. Tetapi, mengenai perkembangan dan kemajuan dalam regenerasi penulisnya, masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius.

Sekilas Mengenai Bahasa dan Kearifan lokal

Ada satu bahasa dan kearifan lokal yang semakin samar dari tatanan informasi-komunikasi, bahkan dalam wilayah Kaltim sendiri. Apa lagi kalau bukan bahasa Kutai, ditambah adat-istiadat (kearifan lokal) Kutai sebagai warisan budaya dari kerajaan tertua di Indonesia..

Sementara ini, ketika orang Indonesia melihat Kaltim, bahasa dan adat-istiadat (kearifan lokal) yang sering mengemuka melalui tulisan atau karya sastra berskala nasional adalah Dayak Benuaq melalui kepiawaian dan kecintaan Korrie Layun Rampan terhadap realitasnya. Novel Upacara(1976), contohnya, paling tidak, menjadi bukti yang sangat fenomenal.

Tetapi, di Benua Etam yang memiliki 3 kota dan 7 kabupaten ini masih ada lagi Suku Dayak dalam Rumpun Ot Danum, selain Dayak Benuaq, yaitu Paser, Tunjung, Bentian, dan Kutai. Padahal Ot Danum pun bukanlah rumpun satu-satunya di Kaltim. Ada Rumpun Dayak Punan (15 suku), Rumpun Dayak Apo Kayan, dan Rumpun Dayak (22 suku), dan Rumpun Murut (7 suku). Belum terbaca secara gamblang dan berkelanjutan mengenai penggunaan bahasa dengan masing-masing rumpun Dayak ini dalam karya-karya sastra.

Pada waktu lainnya Kaltim pun terbuka bagi para pendatang dengan latar SARA masing-masing. Secara demografi, dalam Wikipedia.Com, tercatat suku-suku bangsa di Kaltim adalah Jawa (30,24%), Bugis (20,81%), Banjar (12,45%), Dayak (9,94%), Kutai (7,80%), Toraja (2,21%), Paser (1,89%), Sunda (1,57%), Madura (1,32%), Buton (1,25%), dan lain-lain (10,51%), termasuk di antaranya Makassar, Mandar, Minahasa, Minang, Flores, dan Tionghoa.

Para pendatang pun membawa bahasa masing-masing sehingga pembauran bahasa merupakan suatu peristiwa sehari-hari yang tidak mungkin terelakkan. Bahasa Banjar, Bugis, dan Jawa merupakan bahasa yang, selama puluhan bahkan ratusan tahun, sering menjadi bagian dalam komunikasi masyarakat Kaltim sehari-hari, di samping bahasa Indonesia sebagai pemersatunya.

Kalau Korrie Layun Rampan secara kontinyu, konsisten, dan konsekuen menggunakan bahasa dan mengangkat budaya lokal (Dayak Benuaq), masih terbuka peluang berbahasa campuran antarsuku bangsa dalam karya-karya sastra generasi pasca-Korrie. Bukankah keberadaan bahasa-bahasa itu pun termasuk unsur penting dalam khasanah sastra-budaya di Kaltim?

Pada saat bersamaan, informasi-komunikasi masyarakat telah dijejali oleh bahasa-bahasa populer melalui gencarnya teknologi media massa (audiovisual-elektronik) dengan deklarasi “kekinian”. Penggunaan kata sepele, semisal “gue-lu”, sudah menjadi bagian dari komunikasi sebagian orang muda.

Peran Dunia Pendidikan

Lembaga manakah yang berperan utama dalam penyebaran pengetahuan mengenai perkembangan bahasa dan sastra Indonesia, serta mengenalkan tokoh-tokoh sastra (sastrawan) di Kaltim kepada generasi muda, selain Korrie Layun Rampan, ada Ahmad Dahlan (D. Adham), Mansyah Usman, Oemar Mayyah Effendi, Maswan Dachri, Kadrie Oening, M. Suhana, Burhan Dahlan, Haji Ami, A. Sani Rahman, Hamdi AK, Abd. Alwie, E.M. Adeli, Hiefnie Effendi, Ahmad Noor, Masdari Ahmad, H.M. Ardin Katung, Djumri Obeng, Awang Shabriansyah, Sudin Hadimulya, Hermansyah, Sidharta Wijaya, Sandy, R. Panji Setianto, Anis AS, Saiff Bacham, Syamsul Munir Asnawie, Johansyah Balham, Ibrahim Konong, Masdari, M. Nansi, H. Zairin Dahlan, M.D. Hasjim Masjkur, A. Rifai Ahmad, Bachtiar Syambaha, Frans Dino Hero, Arkanita, Sattar Miskan, Sarwani Miskan, Mugni Baharuddin, Karno Wahid, M. Surya Mas’ud, Hamidin, Syarifuddin Basran, Yadi AM, Adam M. Chiefni, Fiece Esf, Muchran Ismail, Dimas Hono, Budi Warga, M.S. Koloq, Sukardi Wahyudi, Syafruddin Pernyata, Nanang rijono, Abdul Rahim Hasibuan, Kony Fahran, Roedy Harjo Widjono AMZ, Zulhamdani AS, Herman A. Salam, Jafar Haruna, Arif Er Rachman, Hasan Aspahani, Imam Budiman, Abdillah Syafe’I, Ade Ikhsan, Muhammad Fajar, Muhammad Syafiq, Amien Wangsitalaja, Shantined, Maya Wulan, Fitriani Um Salva, Gita Lydia, Dian Herawati Situmorang, Atik Sri Rahayu, Atik Sulisyowati, Kartika Heriyani, Hermiyana, Eni Ayu Sulisyowati, Khoiriyyatuzzahro, Miranti Rasyid, Sari Azis, Siti Maleha, Wuri Handayani, Alya Kashfy, Mega Ayu Mustika, dan lain-lain?

Yang jelas-pasti jawabannya adalah lembaga pendidikan formal alias sekolah. Yang tidak jelas-pasti, tidak usah susah-payah memberi jawaban. Dan, peletak dasar pengenalan sastra, karya beserta tokoh-tokohnya di Kaltim adalah pendidikan dasar (Sekolah Dasar).

“Pendidikan sastra anak sudah saatnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Bahkan, program pendidikan itu sudah sangat mendesak untuk dibuka di sekolah-sekolah dasar. Hal itu penting, terutama sebagai langkah dini dan fundamental untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang beridentitas jelas,” kata Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta pada 2003, atau 13 tahun silam.

Sementara penerapan otonomi daerah yang dimulai sejak 1999, dan memberi keleluasaan daerah memberikan ‘sentuhan’ kearifan (budaya) lokal dalam muatan pendidikan di daerah masing-masing, masih belum optimal. Mungkin kurikulum nasional masih terlalu ‘mencampuri’ urusan otonomi pendidikan beserta muatan lokalnya di daerah-daerah, termasuk Kaltim.

Selama ini pendidikan bidang bahasa dan sastra Indonesia masih dimulai di pendidikan menengah pertama dan atas. Membaca karya sastra, mengenal tokoh sastra, dan belajar tulis-menulis. Itu pun belum terlalu serius, misalnya rajin mencipta dan menelaah karya, melainkan masih sebatas upaya mengejar target nilai untuk rapot.

Persoalan lainnya yang jamak, belum semua guru Bahasa dan Sastra Indonesia mampu memberi teladan yang memadai sebagai pendidik budaya setempat, pencipta sekaligus pengamat karya, apalagi memahami seluk-beluk perkembangan sastra-budaya, misalnya karya-karya sastra atau tokoh-tokoh sastra Kaltim, dan perkembangan mutakhir.

Mari berhitung sebentar. Asumsikan saja, tigapuluh tahun silam Kaltim memiliki 30 sekolah menengah atas di Kaltim. Di antara sekian pelajar, ada 1 pelajar saja peminat dan berbakat di bidang sastra dan tulis-menulis. Paling tidak, ada 30 calon penulis atau sastrawan setiap tahun. Maka, tigapuluh tahun kemudian Kaltim memiliki 900 penulis atau sastrawan. Sebuah angka yang fantastis, bukan? Memang fantastis jika cuma asumsi tanpa realitas.

Dalam dunia pendidikan tinggi di Kaltim pun sastra dan budaya tulis-menulis juga belum menjadi sesuatu yang penting. Hal ini bisa terbaca dari program studi (prodi) yang difasilitasi oleh lebih dari 30 perguruan tinggi. Hanya 3 perguruan tinggi yang menyelenggarakan Prodi Studi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia.

Di Samarinda Universitas Mulawarman yang memiliki 2 Prodi FKIP, yaitu FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia (akreditasi C), dan FKIP Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (akreditasi A), dan satu Prodi Sastra Indonesia (akreditasi C). Di Balikpapan terdapat 2 perguruan tinggi, yaitu Universitas Tridarma dan Universitas Balikpapan.

Mari berhitung lagi. Asumsikan saja ada 5 mahasiswa saja yang benar-benar menyadari pilihan mereka di bidang sastra dan budaya tulis-menulis. Dalam kurun waktu 5 tahun, Kaltim bisa memiliki 100 penulis atau sastrawan. Itu belum termasuk dari prodi sastra lainnya, semisal Sastra Inggris. Memang mudah berasumsi matematis, ‘kan?

Peran Instansi dan Lembaga Terkait

Kaltim memiliki 3 kotamadya, dan 7 kabupaten, yaitu Kota Samarinda, Kota Bontang, Kota Balikpapan, Kabupaten Berau, Kukar, Kutim, Kubar, Mahakam Ulu, PPU, dan Paser. Dengan adanya 10 wilayah ini, paling tidak, terdapat 10 instansi pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan. Belum lagi ditambah dengan instansi pariwisata, atau biasa dikenal dengan Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar).

Secara kalkulasi, ada 20 instansi terkait pendidikan dan kebudayaan. Dengan jumlah itu, setidaknya, kegiatan pembinaan, pelatihan (workshop) hingga penciptaan karya tulis-menulis dan sastra bagi generasi muda bisa dilakukan secara rutin setiap tahun.

Di samping itu masih ada dewan kesenian di tiap kota/kabupaten. Asumsikan saja, ada 10 dewan kesenian dengan masing-masing memiliki Komite Sastra. Seperti juga di 20 instansi pemerintah, 10 dewan kesenian bisa juga melakukan kegiatan pelatihan dan penciptaan karya tulis-menulis dan sastra.

Mari sebentar berasumsi lagi. Dalam satu kota/kabupaten terdapat dua instansi pemerintah terkait pendidikan dan kebudayaan, dan satu dewan kesenian ber-Komite Sastra. Dalam 1 tahun bisa terselenggara 3 kegiatan pembinaan, pelatihan, dan penciptaan karya tulis-menulis atau sastra. Kalau dalam kegiatan tersebut terdapat 5 peminat sejati dan berbakat, masing-masing kota/kabupaten akan memiliki 15 penulis atau sastrawan dalam 1 tahun.

Dan, kalau dalam 5 tahun setiap kota/kabupaten memiliki 75 penulis atau sastrawan, Kaltim pun memiliki 750 penulis atau sastrawan. Memang sebuah jumlah yang luar biasa jika sekadar sebuah asumsi matematis begitu.

Peran Media Massa

Media massa berperan penting dalam ranah kebudayaan, dan merupakan agen perubahan (agent of change). Pemberian ruang dan pemuatan karya tulis-menulis atau sastra sangat berpotensi membangkitkan rasa percaya diri dan meningkatkan semangat menulis atau berkarya.

Perkembangan, kemajuan, bahkan regenerasi penulis atau sastrawan pun merupakan dampak keberadaan media massa, khususnya media cetak yang memberi ruang budaya. Contoh terdekat adalah Kalsel. Pada 1980-an ruang budaya disediakan oleh Banjarmasin Post yang kemudian berafiliasi dengan Kompas. Pada 2000-an muncul Media Kalimantan.

Kaltim memiliki, paling tidak, 2 media massa cetak terbesar, yaitu Tribun Kaltim yang berafiliasi dengan Kompas, dan Kaltim Pos yang berafiliasi dengan Jawa Pos. Persoalannya, kedua media cetak ini belum memberi ruang budaya, apalagi secara rutin. Kalaupun memberi ruang, sama sekali sangat kurang menghargai hak intelektual (hak cipta) para kontributornya.

Hal ini, diakui atau tidak, pernah disampaikan oleh Korrie Layun Rampan dalam opini Pengarang dan Honorarium (Harian Kompas, 11/11/2015), “Menulis untuk media massa hasilnya kurang menentu karena banyak pengarang menyerbu media massa, di samping honornya kecil. Bahkan, ada koran atau majalah yang tidak memberi honor, terutama di daerah.”

Peran Dunia Usaha

Pada bagian terbagi dua, yaitu peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Daerah (BUMN), dan peran perusahaan-perusahaan swasta berskala raksasa. BUMN di Kaltim, misalnya saja PT Pertamina, PT Pupuk Kaltim, PT PLN, dan PT Telkom. Sementara swasta, misalnya saja PT Berau Coal, PT Kaltim Prima Coal, PT Badak, PT Indominco, dan lain-lain.

Salah satu peran perusahaan-perusahaan swasta dalam kegiatan sosial sebagai suatu kewajiban, termasuk pemberdayaan masyarakat loka, adalah melalui Corporate Social Responbility (CSR).

Asumsikan saja hanya 12 perusahaan besar di Kaltim. Seandainya masing-masing perusahaan besar itu menggelontorkan dana CSR untuk kegiatan sastra, semisal bekerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Kaltim, sebesar Rp.50 juta per tahun, saban bulan akan selalu terselenggara kegiatan sastra sebagai upaya pembinaan dan regenerasi penulis atau sastrawan.

Pentingnya Pertandingan Karya

Pertandingan, lomba, sayembara, atau kompetisi karya seyogyanya dipandang secara positif sebagai upaya pencarian karya-karya baru, gagasan-gagasan baru, bibit-bibit penulis atau sastrawan baru, dan seterusnya, selain sebagai dokumentasi rutin dengan mutu tertentu. Dan, sepakat atau tidak, selain mengenai karya, pertandingan juga penting bagi peserta dan bagian dari proses regenerasi penulis-sastrawan yang signifikan.

Dan, banyak even dalam kalender satu tahun yang bisa dimanfaatkan untuk penyelenggaraan suatu lomba menulis karya sastra. Pertama, even sesuai dengan kalender nasional. Hari Kemerdekaan, Bulan Bahasa, Hari Pendidikan Nasional, Hari Anak Nasional, Hari Anak Sedunia, Hari Puisi, Hari Aksara, Hari Lingkungan Hidup, Hari Bumi, Hari Buku, Hari Kartini, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Lahir Pancasila, Hari Anti-Narkoba, Hari Guru, Hari Kesehatan, Hari Pahlawan, Hari Toleransi, Hari Hak Asasi Manusia, Hari Nusantara, dan lain-lain.

Kedua, even daerah, khususnya ulang tahun kota/kabupaten. Untuk even ini saja, Kaltim bisa menyelenggarakan 10 hari ulang tahun daerahnya, bahkan 20 jika ditambah dalam rangka ulang tahun sebuah dewan kesenian.

Ketiga, even untuk peringatan (attribute) kepada tokoh sastra. Misalnya Peringatan kepada Korri Layun Rampan, Peringatan kepada Chairil Anwar, Peringatan kepada Rendra, dan lain-lain.

Dari ketiga even ini masing-masing calon penyelenggara bisa mengadakan suatu perlombaan yang berbeda, dan beraneka tema, dalam satu tahun. Dengan kepekaan dan kejelian sekaligus kreativitas anggota suatu lembaga atau institusi, niscaya tidak ada perlombaan yang diadakan dalam rangka satu even, semisal sama-sama Hari Kemerdekaan.

Pentingnya Penghargaan

Sebagian orang masih menganggap sepele terhadap suatu karya tulis atau sastra, semisal puisi. Mungkin karena sebagian puisi tertulis secara pendek, apalagi berisi kata mendayu-dayu. Lantas sebagian dari mereka menganggap bahwa mencipta puisi itu sangatlah mudah.

Memang mudah bagi orang-orang yang kurang memahami puisi beserta kualitasnya. Bagi kebanyakan orang Kaltim, mencipta puisi atau karya sastra lainnya tidaklah mampu memenuhi kebutuhan hidup serba materialistis. Dengan ijazah yang jelas, bekerja di perusahaan yang mampu memberi gaji tinggi, maka bereslah urusan kebutuhan hidup.

Realitas yang jamak, ‘kan? Padahal, puisi, sebagai suatu tulisan atau sastra, merupakan hasil dari proses intelektual. Proses (penulisan atau penciptaan suatu karya) tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, termasuk dengan melakukan pembacaan, penelitian, dan lain-lain.

Sastra bukan hanya puisi. Yang paling nyata terlihat adalah sebuah novel. Dan, setiap proses dilakukan dalam kurun waktu berbeda-beda. Proses itu pun disebut-sebut oleh para intelektual sebagai “kerja budaya”. Oleh sebab itu suatu tulisan atau karya sastra termasuk dalam kategori Hak Cipta menurut Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Persoalan yang masih sering terjadi adalah penghargaan terhadap suatu karya tulis atau sastra. Di Kaltim pun jarang terselenggara lomba-lomba seputar penciptaan karya tulis. Persoalan ini diperparah oleh media cetak, yang sama sekali tidak sudi membayar honorarium kontributor luar. Imbasnya pun jelas, “kerja budaya” sekadar menyia-nyiakan waktu, dan tidak menghasilkan materi (profit) apa-apa. Kebanyakan orang Kaltim pun tidak menganggap suatu karya sastra sebagai hal yang berharga dalam realitas kehidupan di Kaltim.

Tidak heran, Kaltim yang kaya raya ternyata miskin dalam jumlah pencipta karya tulis atau sastra. Tentu berbeda dengan daerah lain, terdekat adalah Kalsel.

Terlepas dari penghargaan itu, masih ada penghargaan lainnya, misalnya memberikan buku yang terdapat karya si kontributornya, baik sebagai bukti suatu kegiatan pembinaan maupun suatu pertandingan karya. Dan, mari berhitung lagi.

Pertama, kalau semua pihak terkait berperan aktif dalam kegiatan pembinaan, penciptaan, hingga pertandingan karya, selama satu tahun di Kaltim bisa terselenggara 30 kegiatan dalam satu tahun, dan minimal 120 buku, yaitu 60 buku (kumpulan puisi, dan cerpen tingkat pelajar), dan 60 buku (kumpulan puisi, dan cerpen tingkat mahasiswa/umum).

Kedua, kalau perguruan tinggi yang berprodi Sastra Indonesia dan/atau FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia menghasilkan 2 judul buku, Kaltim bisa menghasilkan 8 judul buku sastra. Ketiga, kalau media massa Kaltim menghasilkan 2 judul buku sastra secara rutin (setiap tahun), Kaltim bisa menghasilkan 4 judul buku sastra.

Tetap Bersabar dalam Pengharapan

Secara material Kaltim memang provinsi terkaya di Indonesia, baik berdasarkan data, berita media luar Kaltim maupun kenyataan sehari-hari di Kaltim. Sayangnya, sastra masih mengalami kemiskinan yang signifikan karena masih saja dipandang ‘sebelah mata’, dan kepergian Paus Sastra Kaltim masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Tetapi Kaltim harus tetap optimis, dan sabar menantikan pihak-pihak yang tersebutkan tadi melakukan peran dengan sadar dan penuh cinta. Sebab, bermimpi masihlah boleh, suatu saat kelak Kaltim pun kaya dalam hal sastra atau tulis-menulis, baik karya maupun penciptanya dengan asumsi minimalis 50 penulis atau sastrawan dan 100 buku kumpulan sastra di tiap kota/kabupaten setiap tahun. Semoga bisa melengkapi daftar kekayaan Kaltim.
***

(Esai ini diganjar Juara I dalam Lomba Menulis Esai se-Kaltim & Kaltara bertema “Kesastraan dan Kebahasaan” yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim, 2016).
https://www.kompasiana.com/gusnoy/kemiskinan-sastra-dalam-provinsi-terkaya-di-indonesia_58794629b79373230df6632b

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *