Koreografi dari Ambang Batas Tari

Afrizal Malna

Sebuah percakapan kecil, gerak-gerak kecil, terputus, ragu, gerak diulang kembali, merupakan adegan-adegan pembuka pertunjukan tari Ruang Abu-Abu karya Sekar Alit dari Surabaya. Lalu seorang penari perempuan, yang dimainkan sendiri oleh Sekar Alit, menyanyikan sebuah lagu cinta yang juga penuh keraguan. Sebuah koreografi yang mulai ditempatkan di atas ambang batas tari dengan yang bukan tari. Tari tidak lagi melulu diperlakukan sebagai sebuah kesatuan gerak, tetapi juga sebagai instalasi gerak dengan struktur yang tidak saling mengikat.

Koreografi yang dilakukan Alit, mulai terfokus kepada gagasan yang menjadi pijakan pertunjukannya. Tidak lagi melulu kepada gerak.

Membangun dan Jatuhnya Ruang Tari

Narasi-narasi kecil tersebut menjadi strategi untuk memasuki gagasan pertunjukan Sekar Alit, bahwa kita kini berada di ruang abu-abu: Ruang yang tidak berbatas lagi antara yang benar dan yang salah, antara sampah dengan yang bukan sampah. Strategi gerak-gerak pendek yang digunakan Alit, menghasilkan struktur yang tidak lagi semata melayani alur pertunjukan yang harus ditempuh. Tetapi juga struktur yang mendapatkan ruang untuk bernafas dan membangun dimensi.

Narasi-narasi kecil juga banyak digunakan Alit dalam memainkan tangan maupun gerakan kepala: gerak tidak melulu dihasilkan melalui kesatuan tubuh. Setiap anggota tubuh adalah kemungkinan untuk menciptakan peristiwa, dimensi maupun momen. Beberapa bentuk gerak berusaha dibingkai untuk menghasilkan tema maupun emosi. Bingkai yang dibuat dengan melakukan repetisi, seperti menyeret tubuh yang beberapa kali diulang. Atau dengan mengkomunikasikan permainan jari-jari tangan dengan mulut. Menghasilkan imaji-imaji percakapan dan kejutan kecil yang menyengat ketika jari-jari tangan itu berubah menjadi ular yang mematuk mulut dengan gerak cepat. Alit juga menggunakan celana dalam berukuran besar untuk menghasilkan berbagai imaji yang bersifat satir antara kepala dan celana dalam. Kemudian pawai sampah yang terseret di belakang tubuh penari, menjelang pertunjukan berakhir.

Melalui gerakan-gerakan besar dengan tubuh sebagai kesatuan, narasi dengan rangkaian gerak-gerak pendek juga terjadi dalam pertunjukan 2 W, karya PD. De dari Surabaya. Pertunjukan yang ingin mengatakan tentang kekuatan perempuan. Tidak adanya fokus, atau sesuatu yang lebih spesifik lagi dari kekuatan perempuan itu, membuat pertunjukan ini hanya menghasilkan imaji-imaji fisik tentang kekuatan: tangan terkepal, mengeluarkan otot, mengangkat level, gerak mime menarik sesuatu yang berat dan gerak jatuh yang streotip. Tema-tema gerak yang pada gilirannya tidak ada bedanya dengan streotip kekuatan lelaki.

Tidak terjadinya komunikasi yang saling menghasilkan jalinan imaji antara gerak dan musik, terutama volume musik yang mengatasi volume ruang pertunjukan, ikut menyulitkan usaha mengangkat tema kekuatan perempuan dalam pertunjukan ini. Eksplorasi yang mereka lakukan tidak cukup berimbang dengan disain yang mereka buat. Resiko skenografis juga tak terhindari melalui penggunaan 3 level hitam yang berdiri di atas panggung. Ketiga level ini kadang berusaha digunakan sebagai imaji yang membatasi gerak perempuan, dinding yang harus dirobohkan maupun sebagai beban yang harus dipikul. Namun imaji-imaji ini tidak cukup mendapatkan ruangnya, karena koreografi lebih banyak terfokus semata-mata untuk mengkoreografi gerak. Ruang akhirnya jatuh: diperlakukan semata sebagai tempat untuk bergerak atau menari.

Mencari Gerak Organik

Mungkin ada baiknya mempertanyakan kembali sesuatu yang fundamental dalam dunia tari: “apakah sebenarnya yang dikoreografi seorang koreografer?” Pertanyaan ini menjadi mendasar tidak hanya dalam melihat pertunjukan 2 W di atas. Tetapi terutama untuk kawasan seperti Jawa Timur yang kaya dengan khasanah seni tradisi. Khasanah ini merupakan medan penciptaan untuk pembentukan tubuh-tari maupun laboratorium kerja koreografi. Teknik tari Remo dari Jawa Timur, dan berbagai teknik lain tari tradisi Jawa Timur, membentuk sedemikian rupa bola-bola imaji yang membaur dengan teknik tari modern dalam pertunjukan yang dikoreografi Ninin dari Lamongan, Widya Fitri Susanti dari Ponorogo maupun Agus Gepeng dari Sumenep.

Seluruh penari Ninin menggunakan bakul rajutan bambu untuk mewakili ikon pertunjukan yang mengangkat tema perempuan-perempuan penjual nasi Buran di Lamongan. Tetapi tidak ada hubungan argonik antara bakul dengan pola-pola gerak yang dipilih: bakul bisa diganti dengan benda apa pun. Penggunaan benda-benda pertunjukan yang tidak memiliki hubungan organik dengan gerak ini, juga berlangsung dalam pertunjukan Agus Gepeng yang mengangkat tema Rokat Polae, ritual rakyat Madura untuk mengatasi malah- masalah ekologi di tanah mereka.

Stragtegi visual pertunjukan Agus Gepeng mulai berbeda ketika penari menggunakan 3 buah drum dan sepeda. Materi ini lebih tampak memiliki hubungan argonik dengan pola gerak yang dgunakan dengan cara memukul, menendang atau menggulingkan drum besi itu.

Apa yang sebenarnya terjadi ketika pola gerak dalam tari tidak memiliki hubungan organik dengan materi visual yang mereka gunakan sendiri? Hingga gagasan pertunjukan seperti tidak mendapatkan ruangnya dalam pertunjukan tari yang mereka lakukan? Gagasan pertunjukan mereka seperti tetap tertinggal dalam sinopsis. Dan tidak mendapatkan realitasnya di atas pentas. Tema menjadi seperti hanya menempel, tidak mendapatkan interiorisasinya dalam ruang tari yang mereka koregrafi.

Musik yang Mengkoreografi Tari

Ritme, hitungan gerak yang sama seperti hitungan ketukan dalam musik, memang banyak digunakan dalam kerja koreografi yang dilakukan banyak koreografer kita. Pada satu sisi, model kerja seperti ini tampak unik: ternyata banyak karya tari yang dikoreografi melalui model kerja musik. Berarti, koreografi sesungguhnyanya juga terbuka dilakukan melalui model kerja apapun: senirupa, puisi, dan berbagai disiplin lainnya.

Namun pada sisi lainnya, model kerja korografi seperti ini cenderung membuat koreografi menjadi mekanik dan penari menjadi robot-tari yang melayani ritme ketukan. Tidak memiliki ruang untuk membangun momen, karakter maupun pengembangan imaji ruang dan waktu. Tubuh-tari hanya diperlakukan sebagai tubuh-teknik. Gerak tari seperti disusun hanya untuk memenuhi struktur dan durasi. Penonton hampir tidak menemukan peristiwa maupun momen pembacaan.

Peristiwa dan momen diganti dengan konfigurasi bentuk sebagai simpul penutup adegan atau penutup akhir pertunjukan. Susanti, dalam karyanya Sangga Langit, melakukan permainan bloking yang paling dinamis dibandingkan pertunjukan lainnya, di samping gerak tari Bali untuk aksentuasi bentuk. Dinamika yang menjadi lebih tajam melalui kostum penari yang seragam dengan motif garis-garis mirip warna-warna Reog (merah, hitam, putih). Tetapi dinamika ini, gerak-gerak kelompok dalam garis-garis diagonal maupun simetris, tetap tidak menghasilkan pembacaan.

Evita Lulut dari Lamongan, yang mementaskan Anfal, sebenarnya juga bekerja seperti yang lainnya melalui ritme ketukan. Tetapi Evita mampu mengatasi resiko mekanik dari cara ini dengan pembentukan alur yang memiliki jeda, dan memberi ruang terhadap karakter emosi yang dibangunnya. Emosi yang diarahkan ke jari-jari tangan atau kepala; bentuk-bentuk menutup mata, hidung atau mulut; tarikan 3 tubuh penari ke titik-titik terjauh dari luas panggung pertunjukan; serta opening yang menyisir bibir segi empat panggung, ikut membentuk gelombang-gelombang imaji yang dibangun Evita. Pertunjukan yang ingin mengatakan bahwa kita berada dalam realitas sosial yang sakit.

Mengkoreografi Konteks

Pertunjukan yang menggunakan basis tradisi, seperti yang dilakukan Susansi, Ninin atau Agus Gepeng di atas, memang pada akhirnya bisa dilihat sebagai pertunjukan dimana kerja koreografi lebih difokuskan kepada teks (bentuk-bentuk gerak tari), dengan melepaskan konteks. Pertunjukan mereka akan menjadi lain kalau mereka memusatkan koreografi kepada konteks: Ninin mengkoreografi pasar, misalnya, dan bukan semata penari yang membawa bakul nasi; Agus Gepeng mengkoreografi gagasannya tentang masalah ekologi di Madura, dan bukan semata penari yang membawa sesajen untuk ritual lingkungan yang mereka lakukan.

Menurut Hari Lentho, seorang koreografer dan organiser seni di Surabaya, dunia tari kini memang harus memiliki strategi pembacaan lain terhadap tradisi. Tidak semata hanya mengganti-ganti kostum dan bloking yang tidak jelas hubungannya dengan teks tari tradisi yang mereka koreografi.

Ketika sebuah kerja koreografi terbuka kepada realitas lain, bahwa tubuh-tari tidak semata-mata tubuh-teknik atau tubuh-studio, maka membaca kembali tradisi melalui tubuh-biografis penari, dalam eksplorasi yang mereka lakukan, sama dengan membuat hubungan yang aktual dengan tradisi. Setiap batas antara tari dengan bukan tari dilihat kembali sebagai ruang kemungkinan untuk pengembangan kerja koreografi. Bahwa batas ambang tari, antara konteks dan teks, menjadi medan kerja koreografi dimana sebuah pertunjukan tari seharusnya juga menghasilkan wacana pembacaan.

Seluruh pertunjukan di atas berlangsung dalam Pekan Penata Tari Muda Jawa Timur, di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya (20-22 Juli 2011). Forum yang digagas sebagai “klinik tari”. Di antaranya juga tampil karya M. Harianto dan tari berbasis balet karya Aprilia.

http://masturbasikata.blogspot.com/2013/07/esai-afrizal-malna-koreografi-dari.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *