PECAHAN

Taufiq Wr. Hidayat *

(1)
Pada senja yang hujan, seseorang seharusnya merapatkan jaketnya yang hitam. Sebuah stasiun. Dan waktu. Leo Tolstoy kedinginan di stasiun penghabisan itu. Tubuh penulis “War and Peace” ini lelah dan tua. Tubuhnya selesai dalam sejarah. Namun teks dari ketekunannya, tak terkubur. Sejarah patut berterima kasih pada Sophia Andreyevna, sang istri yang menyalin tulisan-tulisan tangannya yang rumit. Tolstoy cuma orang biasa. Tapi apa yang diusungnya; keabadian yang tak sekadar biasa.

Seperti kematian Ivan Ilych dalam kisahnya yang mashur. Sahdan tatkala Ivan Ilych mempelajari Silogisme dalam logika Kiesewetter, bahwa Caius adalah seorang manusia. Manusia mengalami mati. Maka Caius pun mati. Dan Ivan Ilych mati. Tolstoy mati. Karena ia adalah manusia.

(2)
Ada kesabaran—yang karenanya, mewujudkan kesentosaan, menghindari kerusakan dan mengerti batasan-batasan. “Segede sabar Santosa, mati sajroning ngaurip, kalis ing reh hura-hura,” tulis Ronggowarsito dalam Kalathidanya yang menggetar.

(3)
Ada yang tidak bisa dihapus oleh ruang dan waktu: nilai. Sifat. Kesadaran “kehadiran” yang melampaui segala, lalu menjelma. Melupakan yang nyata lalu mempernyatakan yang tidak nyata, itu gawat! Manusia mengurung dirinya pada keadaan yang tak nyata. Ilusi. Dan omong kosong. Bagai beriman pada iklan dan promosi. Ia harus dibongkar, bisik Derrida yang tak sedang memperkarakan hantu. Martin Heidegger menengarainya dengan “forgetfullnes of being”.

Namun dalam agama, Tuhan memberi semacam penyelamatan dan permaafan bagi manusia dengan sabda-Nya: “manusia itu lemah (daif) dan tempat salah-lupa”.

Keseimbangan meniti hidup, mungkin itu sebentuk ikhtiar menginsafi diri: pertobatan yang sepenuhnya sadar akan keterbatasan.

(4)
Seseorang membagi tiga dimensi ruang-waktu-peristiwa. Masa lalu, kini, masa depan. Apa yang nyata adalah kini. Masa lalu dan masa depan ialah kontruksi pikiran terhadap ingatan. Dan ia tidak nyata. Namun ia harus ditundukkan. Ditundukkan dengan daya hidup manusia: mawas diri. Menundukkan masa lalu, mengolah hari ini. Maka meneguhkan masa depan. Sepertinya mirip silogisme, bukan?

(5)
Jorge Luis Borges yakin, surga adalah sebuah perpustakaan raksasa. Tapi yang sunyi. Membaca di meja yang dingin, dikepung buku-buku.

Sastrawan agung Argentina itu mengagumi postulat George Berkeley; obyek ada lantaran dipersepsi pikiran. Dunia materi sejatinya ide-ide manusia, ia tak benar-benar nyata. Idelah yang nyata. Dunia materi tak akan pernah ada di luar kesadaran, ia mewujud tatkala ditangkap oleh persepsi-persepsi.

“Esse est percipi,” ujar Borges dalam postulat George Berkeley: being is being perceived!

Dalam cerita Borges, “Esse est Percipi” itu, seorang presiden bola Abasto Junior mengatakan pada seorang komentator bola, Ron Ferrabas, bahwa Abasto akan dikalahkan dengan skor 2-1. “Jangan gunakan lagi umpan Musante ke Renovales. Ingat! Imajinasi! Sekali lagi, imajinasi!” ujarnya.

Sahdan perhelatan sepak bola yang menghebohkan seluruh negeri ternyata cuma tipuan. Tak ada kesebelasan, tak ada skor, tak ada pertandingan. Stadion sudah dimusnahkan. Pertandingan bola hanya dibuat oleh tivi dan radio seperti membuat drama. Kehebohan palsu para komentator. Di Buenos Aires sejak 24 Juni 1937, sepak bola hanya drama, dimainkan satu orang di balik bilik, aktor berkostum yang direkam tivi. Begitu penjelasan presiden Abasto Junior dalam Borges.

Mengikuti cerita pendek Borges, saya bayangkan betapa kehebohan penggemar bola itu ternyata diciptakan dengan kebohongan komentator bola radio atau drama omong kosong layar visual. Orang tak sadar, dalam kenyataan tak pernah terjadi apa-apa!

Tentu ini hanya fiksi Borges yang unik karena komposisi “bersejarah”nya yang masyhur itu. Dan hari ini, kita tak sadar telah beriman pada berita, informasi, ujaran, iklan, atau apa pun yang ditampilkan layar audio-visual. Tapi omong kosong! Sesuatu yang diada-adakan, diolah sedemikian rupa oleh seseorang atau sejumlah orang dengan kepentingan-kepentingan yang bermuara pada pembentukan persepsi publik atas suatu peristiwa; penggiringan opini, atau kebohongan yang nyaris serupa kenyataan.

Tapi tenang! Orang yang menghisap rokok sambil berpikir, bisa mencicipi segala tampilan sembari minum kopi, seraya berjarak dari semua itu guna melihat yang sebenarnya kenyataan, bukan kenyataan yang sebenarnya kepalsuan. Setidaknya kita mau mempertanyakan kembali segala penampilan. Di dunia nirkabel, konon konfirmasi dan penelusuran kebenaran secara mendalam dari suara dan layar adalah vital. Kekuasaan dan pragmatisme menjaya lantaran memproduksi kebohongan yang berhasil menipu persepsi orang terhadap realitas obyektif, menyusun realitas yang diandaikan, lalu dikemukakan sebagai materi bagi pikiran. Lantas ditancapkan sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya. Celakanya, hukum sering terpengaruh persepsi pada realitas yang dusta itu.

Manusia perlu penerang gelap, melihat yang tampak dan yang tersembunyi di balik yang tampak dengan akal sehat: pertimbangan dan kemanusiaan.

2019

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *