Kutub, Menghidupi Puisi Menyelami Tulisan


Hasya Nindita, Maria Hana
balairungpress.com 17 Apr 2017

Temaram lampu menerangi sebuah joglo di salah satu sudut desa yang terletak di Jalan Parangtritis, Bantul, Sabtu malam (25-03). Berpenampilan sederhana, hanya mengenakan sarung dan baju hangat, terlihat beberapa laki-laki sedang duduk melingkar di dalam joglo. Tak lama, salah satu dari mereka mulai membaca sebuah puisi, sedangkan yang lain dengan khidmat mendengarkan. Kegiatan itu dilakukan oleh seluruh laki-laki lainnya secara bergantian. Kadang terdengar pula senda gurau di sela-sela puisi yang dibawakan, dibungkus dengan sindiran-sindiran penuh canda satu sama lain.

Laki-laki tersebut terhimpun dalam sebuah komunitas, yaitu Komunitas Kutub, komunitas sastra yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren (Ponpes) Hasyim Asyari. “Kutub berasal dari Bahasa Arab, kutubbul, yang berarti kitab-kitab,“ jelas Muhammad Ali Fakih, salah seorang anggota senior Komunitas Kutub sekaligus santri Ponpes Hasyim Asyari. Fakih, sapaan akrabnya, sudah menjadi santri di ponpes ini sejak tahun 2007.

Berbicara tentang Komunitas Kutub, tidak lengkap jika tidak mengulas mengenai Ponpes Hasyim Asyari. Seperti yang dituturkan oleh Fakih, ponpes yang memiliki slogan ‘Spiritualitas, Intelektualitas, Profesionalitas’ ini merupakan cikal bakal berdirinya Komunitas Kutub. Ponpes ini digagas oleh (alm.) K. H. Zainal Arifin Thoha, atau akrab disapa Gus Zainal, seorang kyai muda sekaligus penulis. Menurut Jamal Ma’mur Asmani dalam buku Mata Air Inspirasi, Gus Zainal tertarik dengan dunia kepenulisan karena menganggap tulisan merupakan hal yang tidak lekang dimakan usia. Selain itu, menurut M. Irsyadul Ibad dalam buku yang sama, Gus Zainal memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan kebanyakan ulama mengenai seni. Menurut Ibad, sebagian ulama memandang kesenian dengan makna negatif karena dianggap sebagai persoalan yang dapat menimbulkan kelalaian. Sedangkan bagi Gus Zainal, proses berkesenian, termasuk sastra, dapat memunculkan penghayatan dalam menemukan diri sendiri. Berangkat dari hal tersebut, Gus Zainal kemudian mendirikan Ponpes dengan sedikit sentuhan yang berbeda yaitu Ponpes mahasiswa laki-laki berbasis sastra.

Fakih melanjutkan, Komunitas Kutub merupakan bagian dari Ponpes yang membidangi kegiatan kepenulisan bagi para santri. Terdapat dua sub-divisi dalam Komunitas Kutub, yaitu Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta (LKKY). LSKY membawahi kegiatan kajian sastra yang menjadi sarana anggota komunitas untuk membedah seluk beluk sastra, seperti tokoh dan sejarah sastra atau karya sastrawan. Kajian sastra juga merupakan wadah untuk mengevaluasi hasil karya cipta santri sendiri, seperti cerpen dan puisi.

LKKY sendiri menaungi dua kegiatan yaitu kajian ilmiah dan kajian editorial. Berbeda dengan kajian sastra, pada kajian ilmiah ini biasanya diadakan juga kajian tokoh. Tujuan para anggota membahas tokoh adalah untuk mengetahui pengalaman hidup serta memaknai berbagai pemikiran yang telah dihasilkan oleh tokoh tersebut. Sementara itu, kajian editorial sendiri lebih berfokus kepada pengkajian rubrik tajuk rencana yang terdapat pada sebuah koran. “Kajian-kajian inilah yang kemudian menjadi bekal para santri untuk menulis dalam rubrik opini di koran,” ujar Fakih.

Al Farisi, salah seorang santri lainnya, menjelaskan bahwa ketiga kajian ini tidak hanya diperuntukkan bagi santri saja. Kegiatan tersebut sangat terbuka bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan yang berminat mendalami atau tertarik dengan sastra dan kegiatan kepenulisan. Kajian sastra dilaksanakan setiap Sabtu malam, sedangkan untuk kajian ilmiah dan kajian editorial masing-masing dilaksanakan setiap Rabu malam dan Minggu malam. Seluruh kajian dimulai pukul 20.00 hingga pukul 22.00 bertempat di Joglo Ponpes Hasyim Asyari, Jalan Parangtritis KM 7,5, Cabeyan, Sewon, Bantul.

Untuk menjadi santri di Ponpes ini, syarat utama yang wajib diikuti adalah bersedia untuk hidup mandiri, termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Fakih menjelaskan aturan yang berlaku di Ponpes di mana santri hanya boleh menerima “kiriman orang tua” selama tiga bulan pertama saja. Hal ini sesuai dengan keinginan Gus Zainal yang ingin kelak santrinya dapat memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri. Pada bulan-bulan berikutnya, para santri harus mampu menafkahi diri mereka sendiri dan kebutuhan Ponpes dengan berbagai cara. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para santri memilih untuk menjual koran dan buku. “Ada juga yang berjualan terang bulan, es, atau di angkringan,” imbuh Fakih.

Selain dengan berjualan, Fakih menuturkan bahwa kegiatan kepenulisan di komunitas ini juga diharapakan menjadi salah satu cara bagi santri untuk menambah pendapatan mereka. Santri di Ponpes Hasyim Ashari ini kerap kali mengirimkan tulisan-tulisan mereka ke redaktur koran baik untuk rubrik opini maupun sastra. Dari tulisan yang dimuat ini, para santri kemudian mendapat honor yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Komunitas yang saat ini beranggotakan 25 orang sudah memiliki kiprah baik di dunia sastra maupun editorial. Ratusan tulisan anggota Kutub, baik alumni maupun santri aktif, sudah dimuat di berbagai surat kabar daerah maupun nasional. Bahkan, beberapa komunitas kepenulisan lain juga pernah melakukan studi banding ke Komunitas Kutub. Salah satunya dari Universitas Negeri Malang.

“Selain itu, dulu ada seorang penulis di Jakarta yang tidak suka dengan Kutub karena setiap minggu tulisan dari anggota Kutub selalu dimuat di koran,” cerita Fakih. Kemudian dalam rangka menyaingi Komunitas Kutub, orang Jakarta tersebut lantas menggagas suatu komunitas sastra. Akan tetapi, komunitas tersebut akhirnya tidak bertahan lebih dari satu tahun.

Al Farisi menambakan juga bahwa para santri turut aktif mengikuti berbagai lomba baik cerpen maupun puisi. Mengikuti lomba juga menjadi salah satu ajang bagi para santri untuk mengasah kemampuan mereka dalam menulis. Tak jarang para santri memenangkan lomba-lomba kepenulisan tersebut. Kutub juga ikut andil dalam mengorbitkan sastrawan yang mewarnai dunia kesusastraan di Yogyakarta. Salah satunya Achmad Muchlis Amrin, cerpenis kelahiran Sumenep, Madura yang saat ini menetap di Yogyakarta.

Faza, salah seorang anggota Komunitas Kutub yang bukan santri Ponpes, menceritakan pengalamannya. Bagi mahasiswa Sastra Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ’12 ini, Komunitas Kutub membantunya mempelajari kesusastraan Indonesia. “Meskipun saya belajar Sastra Arab, saya tidak boleh buta dengan Sastra Indonesia karena saya orang Indonesia. Di sini saya jadi banyak belajar mengenai puisi Indonesia,” ujarnya. Faza juga menuturkan karena ia banyak bergelut dengan Sastra Arab, ia pun kekurangan referensi sastra berbahasa Indonesia. Di komunitas ini, tambahnya, ia bisa meminjam referensi-referensi tersebut.

Selain itu, bagi Faza, perjuangan para santri yang merantau dari kampung halaman untuk belajar menulis sampai mampu melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri patut diapresiasi. Menurut pandangannya, mereka tidak hanya membuat puisi, tetapi juga menghidupi puisi dengan hidup sederhana. “Bahkan untuk berangkat kuliah, sebelum punya kendaraan, para santri masih ada yang ngonthel dari Bantul sampai kampus,” ujar Faza.

Kemudian, tambahnya, di dalam Komunitas Kutub ini terdapat istilah ‘makan neraka’, yaitu syukuran kecil dari santri yang tulisannya sudah dimuat di koran. “Kalau yang dimuat hanya santri yang itu-itu saja, perasaan kita (anggota komunitas lainnya) jadi enggak enak,” pungkasnya.[]

http://www.balairungpress.com/2017/04/kutub-menghidupi-puisi-menyelami-tulisan/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *