SHINY, SAINS PUISI, DAN IKAN SALMON


Indra Intisa *

Konon, ikan salmon merupakan ikan yang lahir di sungai tetapi hidup di laut. Ikan salmon betina akan bertelur di dataran sungai yang tinggi. Sebelum bertelur, ia akan mengepakkan ekornya dengan tujuan untuk menyapu kerikil dari dasar sungai. Akibatnya di dasar sungai terbentuk cekungan. Nah, di cekungan itulah ikan salmon betina bertelur. Jumlahnya bisa sekitar 5.000 ekor. Telur yang telah dibuahi oleh ikan salmon jantan, akan ditutup dengan kerikil. Ikan salmon betina lalu pergi ke tempat lain untuk bertelur lagi dan bertelur lagi sampai telur dalam ovariumnya habis. Ikan salmon betina itu bisa bertelur sampai 7 kali. (2)

Ikan salmon yang siap bertelur itu, akan berlomba-lomba menuju sungai dataran yang tinggi. Sebagian dari ikan salmon tersebut akan mati sebelum sampai ke sungai yang ia tuju. Bisa karena lelahnya pejalanan, dimakan musuh, jejak yang sulit, dan sebagainya. Bayangkan saja, jarak yang ditempuh rata-rata lebih dari 1000 km. Selama perjalanan ikan salmon puasa. Perjalanannya menanjak dan melawan arus. Karena itu Ikan salmon berenang dengan cara melompat. Selepas bertelur, biasanya ikan salmon akan mati karena kehabisan tenaga. Orang-orang bias melihat banyak bangkai ikan salmon di hulu sungai itu karena selesainya proses ia bertelur. Bangkai ikan salmon ini akan terurai sehingga memberikan nutrisi pada pengurai, serangga dan ikan kecil. Konon itu semacam pengorbanan diri untuk generasi penerusnya. Sebab, dengan banyaknya pengurai, serangga, dan ikan kecil, maka akan memberikan nutrisi dan makanan khusus untuk calon anak-anak salmon. Makanan tersebut cukup untuk anak salmon sebelum ia migrasi ke laut.

Lupakan sejenak ikan salmon. Beberapa tahun terakhir, dunia sastra khususnya puisi, terguncang oleh eksperimen salah seorang penyair muda berbakat yang bernama Shiny. Sekalipun, guncangannya tersebut belum memberikan pengaruh signifikan dalam perkembangan dunia sastra. Tetapi, jika ia bias konsisten, dan punya power yang kuat, hasil pemikirannya tersebut bias memberikan jalan baru bagi dunia puisi, kalau meminjam kata Arizal Malna, “Membuat irisan lain atas kanon sastra dan menjanjikan sudut pandang lebih cair dalam menghadapi perubahan ekosistem antara bahasa dan teknologi.” Benar, Shiny mencoba lebih jauh bermain-main dengan puisi yang menggabungkan ranas sains dalam karyanya. Boleh saja banyak orang atau mungkin sastrawan berkata, Shiny tidak benar dalam menulis sebuah puisi, jika merujuk makna dasar puisi, yang sesuai standar KBBI, atau standar pemahaman umum—bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait, atau gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Tetapi lebih dari itu, Shiny tidak berkutat lagi dengan huruf dan angka, larik bait, metrum, irama, dsb. Itu adalah pengertian kuno dari sebuah puisi. Kalau menurut Shiny, puisi harus dikembalikan ke pengertian awal, yaitu: poesis (Yunani), membuat. Tetapi kata “membuat” ini memang perlu kita kaji secara khusus, membuat seperti apakah yang layak dikatakan sebagai puisi?

Beberapa sastrawan dan penyair secara umumnya mengatakan bahwa puisi adalah ragam sastra yang terikat oleh tata tulis—yang sebelumnya bunyi-bunyian: dalam bentuk mantra, irama, dsb., menimbulkan magis—dibaca dan dipanggungkan, dituahkan, dan sebagainya. Tetapi, pemaknaan akan symbol-simbol dalam sebuah puisi, yang biasa kita kenal sebagai kata konkret, pelambangan, majas, diksi, dan sebagainya, juga dikembangkan lebih luas dalam bentuk visual. Maka kita tidak heran akan banyak menemukan puisi dengan ruh gambar atau visual seperti puisigram, puisi visual, puisi tifografi, atau puisi konkret yang lebih dalam mengambil gambar dan symbol sebagai pemaknaan. Beberapa penyair Indonesia, senior, pernah mengembangkan ini, anggap saja Sutardji, Remy Sylado, Jeihan, dan lain sebagainya. Beberapa puisi jenis ini masih bias dibaca dengan jelas melalui suara, dan diperdengarkan oleh orang lain. Sebagian yang lain harus menyimak dalam-dalam, semacam memaknakan sebuah lukisan abstrak, tetapi kaya symbol. Mereka masih berkata ini adalah bagian dari sastra. Lalu sastra adalah?

Sapardi Djoko Damono pernah berkata bahwa, puisi masa depan adalah gambar (visual). Sekalipun di lain waktu, ia mengatakan puisi adalah bunyi. Artinya puisi itu luas dan bekembang. Ia bisa berubah menjadi apa saja. Ia terus mengikuti perkembangan zaman. Maka tidak heran kita akan mulai banyak menemukan puisi dalam format digital yang lebih banyak. Pemakaian atau pemanfaatan digital ini, berimbas kepada puisi yang tercampurbaur dengan teknologi semacam Youtube, Fb, Twitter, dan pemakaian latar belakang suara dan gambar lebih luas.

Shiny sendiri, seolah sangat siap untuk terjun langsung dengan puisi masa depan ini. Ia seolah membunuh dan melawan para sastrawan dan penyair yang masih lapuk oleh aturan konvensional tentang puisi atau sastra: puisi itu bla dan bla, harus bla dan bla. Baginya itu adalah mitos. Shiny seolah melawan kebiasaan orang-orang yang terlalu nyaman dengan bentuk puisi. Maka bagi orang-orang yang lapuk, mereka akan cenderung terkejut, “Apakah yang dibuat Shiny ini benar sebuah puisi? Atau sebuah ilusi yang ia sendiri merasa sebuah puisi? Seperti sebuah mangga yang mengaku sebagai pisang? Itu tidak mungkin.” Pendapat mereka, tak sepenuhnya salah dan benar. Karena puisi adalah ragam sastra selain prosa dan drama …, tapi tunggu dulu, kalau kita telaah lagi, bukankah yang dibuat Shiny juga selain prosa dan drama?

Shiny sebagai pemuda super milenial tidak main-main dengan eksperimennya. Ia tidak begitu peduli dengan orang-orang tua sana yang memandangnya sebelah mata. Baginya, mata mereka itu sebenarnya buta. Tetapi pura-pura buta saja. Barangkali, Shiny seolah menyindir begitu. Lihatlah, puisi-puisi yang ia tulis dalam bukunya. “sains puisi’ 2019, seolah berkata: ini loh, puisi itu. Yang selama ini kalian buat adalah. Bagian kecil dari puisi—yang akan membuat kalian lapuk dan kehilangan ide.

Puisi-puisi dalam buku Sains Puisi banyak berisi tentang symbol yang gelap, sebagian super gelap—mengambungkan banyak unsur digital, puzzle, teka-teki, visual, symbol, logo, matematika, dan sebagainya. Pembaca atau penikmat akan kesulitan untuk menelaah apa yang sedang dibuat oleh Shiny. Tentu saja mereka akan berkata, “Ini apaan” Tetapi Shiny kadang sengaja mengerjai si pembaca melalui beberapa puisinya yang memuat keterangan di dalam tubuhnya: bukan link youtube ini, IG ini, dsb. Seolah puisi itu hidup dan mengajak lebih dalam si pembaca untuk turut serta memecahkan isinya. Sebagian yang lain pembaca diminta membuat pemaknaan sendiri pada puisinya (lihat gambar).

Shiny sedikit banyaknya ada kesamaan dengan salmon, kenapa? Begini:
1. Ikan salmon berasal dari kata salmo. Salmo berasal dari kata salira yang berarti melompat. Shiny juga melompat ide dan pikirannya dalam membuat arah baru sebuah puisi;
2. Ikan salmon sekalipun hidup di laut, ia lahir dan besar di sungai. Seperti Shiny sekalipun tidak hidup dalam dunia para sastrawan, yang kebelet manggung, ngoran (masuk Koran), antologi sesame penyair TOP, dsb, atau tidak dikenal sebagai sastrawan, tetapi ia justru masuk lebih dalam dari mereka—lebih jauh;
3. Kehidupan ikan salmo sampai sekarang masih sering dianggap misteri, sama misterinya dengan puisi-puisi Shiny;
4. Ikan salmon dewasa mengorbankan diri demi kehidupan baru (untuk anak-anaknya), seperti Shiny yang mengrbankan banyak hal, seperti tata bahasa umum, symbol umum, dalam sastra, sehingga orang akan kesulitan, dsb., tujuannya tentu demi sesuatu yang baru—jalan baru bagi dunia perpuisian;
5. Ikan salmon berjuang ketika ia akan bertelur, menaiki air yang menanjak, ia melompat, dsb. Seperti Shiny yang berjuang sendirian di tengah gempuran puisi naratif—yang semakin keterbacaan dewasa ini. Ia kukuh dan siap mati. Hihi;
6. Ikan salmon kecil, muda, memberikan nutrisi baru bagi sekitar, seperti halnya ide-ide Shiny yang memberikan gizi baru bagi pembaca dan orang-orang di sekitarnya;
7. Ikan salmon mulai berjuang dan siap berkorban ketika ia mau bertelur dan kawin dengan salmo jantan dewasa, dan sepertinya, buku Sains Puisi ia terbitkan saat momen-monennya ia kawin (menikah) Hihihi (poin ke-7 ini tidak penting. Sama tidak pentingnya dengan poin nomor 8);
8. Shiny mempunyai ciri khas akut, poni samping. Campuran dari opa Korea dengan Andika Kangen Band. (Beda nasib dengan poni saya. Tanpa opa Korea). Ia rela memangkas dan memotong poninya saat menikah (begitu pesannya). Itu seperti pengorbanan ikan salmon untuk kehidupan yang baru selepas ia kawin. Hihi.

Pulau Punjung, 01 Desember 2019

Daftar Pustaka:
(1). Shiny.ane el’poesya. 2019. Sains Puisi. Jakarta: Penerbit Mata Aksara;
(2). Aan Madrus, Siklus Hidup Salmon, Ikan Laut yang Lahir di Sungai, https://bobo.grid.id/read/08681460/siklus-hidup-salmon-ikan-laut-yang-lahir-di-sungai

*) Indra Intisa, penikmat puisi yang tinggal di Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Buku-bukunya: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi” (2015), Puisi Lama—Syair, Gurindam, Pantun, Seloka, Karmina, Talibun, Mantra “Nasihat Lebah” (2015), Puisi Imajis “Ketika Fajar” (2015), Putika (Puisi Tiga Kata) “Teori dan Konsep” (2015), Dialog Waktu (2016), dan sebuah Novel: “Dalam Dunia Sajak” (2016).

Leave a Reply

Bahasa »