JIKA KAU SETANGGUH ITU, TULISKAN PUISIMU!


Ahmad Yulden Erwin

Terkadang, selama 35 tahun saya menulis puisi, saya kerap bertanya kepada diri saya sendiri: “Apakah saya bisa menulis puisi yang bernilai sastra? Apakah saya bisa mengomposisikan sebuah teks puisi seperti atau bahkan melampaui teks puisi dari para penyair dunia?”

Komposisi di dalam teks puitik selalu dibangun dari unsur-unsur: pendalaman-tematik, lukisan-puitik, gita-puitik (irama bahasa), ketepatan linguistik, dan inovasi. Puisi-puisi karya penyair dunia, jika Anda membaca bisa membaca teks puisi berbahasa aslinya, seperti puisi-puisi karya Pablo Neruda, Derek Walcott, Octavio Paz, T. S. Eliot, Wisalawa Szymborska, hingga Tomas Transtromer–sekian nama penyair yang sudah dianugerahi Nobel Sastra–selalu memenuhi kelima unsur penyusun komposisi itu. Mereka para penyair itu tidak sedang berkhotbah atau menulis teks filsafat, sehingga pesan disampaikan dengan verbal. Tidak. Mereka sedang menuliskan karya seni dengan media bahasa–karenanya mereka memerhatikan aspek isi (pendalaman-tematik) dan kelarasannya dengan aspek lainnya yaitu lukisan-puitik, gita-puitik, ketepatan linguistik, dan inovasi. Logika “keserentakan” dalam unsur-unsur komposisi itulah yang membuat para “pembaca” terlatih akan mengalami transendensi atau “ekstase” puitik saat membaca sebuah teks puitik yang terkomposisikan dengan benar.

Terkadang saya begitu putus asa. Terkadang saya merasa apa yang saya lakukan–selama bermalam-malam, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun untuk menuliskan satu teks puisi yang bernilai sastra–begitu sia-sia: “Apa sebenarnya yang saya sedang tulis ini? Siapa yang akan membacanya? Apa gunanya terus menulis puisi di tengah era di mana tulisan–tulisan apa saja–bisa didapatkan dengan mudah melalui media internet? Apa gunanya menerbitkan dan mencetak kumpulan puisi pada era informasi ini? Apa gunanya menulis puisi dengan bersungguh-sungguh, dengan cinta yang penuh, pada saat orang merasa bisa menulis puisi dan menerbitkan kumpulan puisi sendiri dengan mudah?”

Sampaikan sekarang saya belum menemukan jawaban pasti atas semua pertanyaan itu. Terkadang saya ingin berhenti menulis puisi, tapi saya tak berhenti juga. Selama 35 tahun saya baru belajar menulis puisi, terus-menerus belajar. Dan, oleh karenanya, pada tahun 2012 lalu, saya menuliskan puisi ini untuk menyemangati diri saya sendiri, bahwa puisi memang masih “bernilai” untuk dituliskan:

PERIHAL

Hal ini berjatuhan
Di kepala, berhimpun
Ke kaki semut-bulan
Tersuruk ke rumpun duri
Terpukau pelangi, berguling
Ke perut cacing-matahari
Lalu bersama udang, tripang
Aglaonema, dahlia, kaca diaduk
Ditumbuk sehalus-halusnya.

Hal ini berhamburan
Di hati, merayap ke tumit penari
Di jalan berlumpur: tanah, tahi
Di bawah pohon api: sepasang kaki
Bukan, ini bukan sekadar metafora
Tapi mirip sesuatu yang ditempa
Dipotong, digerinda, dilempar
Ke muara, tenggelam, muncul lagi
Di danau kering, di tebing tulang
Lompat ke pejal urat, diseret masuk
Ke sumsum mabuk, ditarik ke liang
Sunyi, dihimpit berkali, bangkit lagi
Dibakar, tumbuh di celah batu. Dicabut.

Jika kau setangguh itu, tuliskan puisimu.

____________
@2012 – 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *