Yusri Fajar *
jawapos.com 29/12/2019
DOMINASI karya sastra dalam dinamika sejarah dan perkembangan sastra Indonesia sering kali dipengaruhi kepentingan kekuasaan, kapitalisme, dan agama. Fenomena itu tergambar dalam buku bertajuk Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan karya Okky Madasari yang bisa diunduh secara gratis melalui www.okkymadasari.net.
Buku ini menjawab rumusan masalah dengan kerangka teori yang dikemukakan Foucault dan didukung berbagai data dari teks karya sastra maupun sumber lainnya. Pembaca tidak akan bebas berselancar secara imajinatif seperti ketika membaca karya-karya fiksi Okky Madasari. Namun, akan diantar menelusuri berbagai argumentasi teoretis dan sajian data analitis tentang mengapa dan bagaimana berbagai novel bertema percintaan, motivasi, dan islami bisa dominan di zaman pascareformasi.
Okky Madasari tidak menjawab fenomena dominasi tersebut dengan terfokus pada data-data diskursus sastra pada masa pascareformasi. Dia menelusuri eksistensi karya sastra percintaan dan islami sejak era kolonial, Orde Lama, dan Orde Baru.
Pemerintah Belanda melalui penerbit Balai Pustaka berusaha mengontrol karya sastra menjadi apolitis. Karya Buya Hamka yang dianggap menjadi titik awal prosa islami di Indonesia, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, menarasikan kisah cinta.
Muatan keislaman yang ada di dalamnya tidak menggelorakan semangat jihad melawan penjajah. Dan, bahkan memberikan kesan sekadar tempelan karena plot utamanya adalah kisah asmara.
Pada rentang 1942–1949 dan beberapa tahun setelahnya, karya sastra tidak lagi sentimental dan melodramatis seperti era sebelumnya. Melainkan cenderung lugas dan penuh kritik atas realitas sosial.
Achdiat Mihardja melalui novelnya, Atheis, dan A.A. Navis melalui novelnya, Robohnya Surau Kami, mengkritisi agama dan keyakinan penganutnya. Dengan demikian, kedua novel itu dianggap mendobrak diskursus dominan yang mengonstruksi agama dan keimanan secara dogmatis.
Novel-novel itu menuai resistansi dari kelompok Islam. Ketika posisi PKI dan organisasi Lekra menguat di Indonesia, sastra menjadi alat propaganda politik. Pada situasi tersebut, lahir Manifes Kebudayaan (Manikebu) dengan inisiator para sastrawan yang menolak meletakkan satu unsur budaya secara lebih dominan dari unsur lainnya.
Peralihan kekuasaan ke Orde Baru makin menguatkan posisi kelompok Manikebu dengan paham humanisne universal dan membentuk diskursus dominan sastra versi mereka dengan dukungan media cetak sastra, seperti Horison. Namun, kemudian justru Arief Budiman, salah seorang penandatangan Manikebu, mewacanakan sastra kontekstual, yang terkesan mengkritisi sepak terjang dan proses kreatif para sastrawan Manikebu.
Di era Orde Baru, Islam direpresentasikan dalam karya sastra secara kompromis, cenderung seperti khotbah yang mengajak umat Islam untuk memperkuat relasi vertikal dengan Tuhan, seperti dalam puisi karya Taufik Ismail yang berjudul Dan Dari Ibu Seorang Demonstran dan Tirani yang dikutip dalam buku ini.
Upaya represi Orde Baru atas Islam justru melahirkan militansi kelompok Islam yang mendorong kebangkitan sastra islami. Okky berargumentasi bahwa munculnya majalah Annida tahun 1991, Forum Lingkar Pena, dan karya-karya sastra islami merupakan bentuk ekspresi komunitas Islam yang membentuk diskursus kuat dalam sastra Indonesia.
Novel-novel islami era itu cenderung berupaya menegakkan nilai-nilai keislaman. Dalam perkembangannya, setelah Orde Baru tumbang, genre sastra islami, motivasi, dan percintaan makin mewarnai sastra di tanah air dengan gaya berbeda. Di sisi lain, menjelang reformasi, muncul genre karya sastra yang melawan ketabuan, seperti karya-karya Ayu Utami.
Karya sastra islami pascareformasi berciri tokoh utamanya penganut Islam yang taat, berkelana ke mancanegara, dan membawa spirit dakwah, namun pada saat bersamaan juga menyajikan hedonisme. Sementara itu, karya sastra motivasi menggambarkan perjuangan tokoh yang secara ekonomi tidak berdaya, tetapi kemudian meraih kesuksesan. Novel-novel itu sukses, terjual dengan jumlah fantastis.
Fenomena tersebut oleh Okky dihubungkan dengan diskusus dominan sastra populer tahun 1980-an yang mendapat dukungan penerbit besar dan kekuasaan. Kemunculan karya sastra yang menghibur dan tidak kritis pada penguasa tersebut menguntungkan pemerintahan Orde Baru yang membatasi gerakan perlawanan dan kritik. Di sisi lain, kapitalisme yang semata berorientasi profit memproduksi dan menyebarluaskan karya sastra tertentu, tanpa terlalu peduli aliran dan bentuknya, yang penting laris dan menguntungkan.
Buku ini memperkaya kajian sastra, terutama dalam meneroka fenomena mutakhir arus utama sastra Indonesia melalui penelusuran historis dengan konsep genealogi Foucault. Ternyata terdapat benang merah antara karya sastra yang berpengaruh dan menguasai pasar dengan karya dengan situasi sebelumnya.
Karya dan aliran sastra yang dominan pada zaman tertentu bisa tenggelam karena kemunculan karya yang melawan dominasinya. Di balik pertarungan diskursus sastra itu, pengaruh negara, kapitalisme, dan agama tetap tak terelakkan. (*)
Judul Buku: Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: okkymadasari.net
Tahun terbitan: 2019
Tebal: vi+128 halaman
Buku ini memperkaya kajian sastra, terutama dalam meneroka fenomena mutakhir arus utama sastra Indonesia melalui penelusuran historis.
____________
*) Dosen FIB Universitas Brawijaya; novelnya ”Tamu Kota Seoul” (2019).
https://www.jawapos.com/minggu/buku/29/12/2019/menelusuri-arus-utama-sastra-indonesia/