Menyasar Sastra, Menukil Abdul Wachid B.S.

jawapos.com 26/1/2020
Saniati *

Buku ini bisa berdiri seimbang di tengah-tengah telaah teoretis yang akademis, tapi dipadukan dengan gaya ungkap sastrawi. Ia begitu jauh dari kesan menjemukan.

IHWAL pertumbuhan ekosistem sastra, kecenderungan dominasi, baik dalam bentuk maupun tema, adalah penyebab mampatnya kreasi. Di tengah ’’gencetan” Orde Baru misalnya, daya ungkap para sastrawan kita relatif seragam.

Jelas sekali, Orde Baru tidak saja ’’gentar” oleh musuh ideologi, tetapi juga menjerumuskan sastra Indonesia pada dominasi, bahkan hegemoni. Mereka berusaha membersihkan sastra dari pretensi politis sekaligus mendaur ulang bahasa dalam gaya yang lebih eufemistis. Di sinilah bibit watak antikritik mulai disemai.

Abdul Wachid B.S. merekam dengan jernih fenomena itu, untuk kemudian memberikan telaah bernas dalam esai pendek bertajuk ’’Keran Demokrasi dan Kegagapan Sastra Hari Ini’’. Bahwa dampak represivitas itu, antara lain, bersembunyinya pengucapan seni melalui bahasa yang estetisme, penggelapan imaji pada ’’puisi gelap”, absurdisme, dan semacamnya. Tentu, hal tersebut turut menjauhkan idiom seni dari realitas masyarakatnya (halaman 61).

Prof Faruk, dalam ’’Sastra yang Tak Pernah Aman dan Nyaman” (2000), telah mewanti-wanti kita bahwa sebagian esai yang ditulis Abdul Wachid B.S. merupakan representasi kecenderungan sastra Indonesia pada masa itu. Dan masih kontekstual di era kini. Berbagai kekuatan eksternal saling bersaing dalam memperebutkan dominasi dan hegemoni.

Pada akhirnya Orde Baru berhasil ’’diturunkan” dari singgasananya dan ekosistem sastra perlahan membaik. Lalu, segelintir orang menuntut agar peristiwa itu diarsip-tuliskan dalam lembar sejarah sebagai momen lahirnya satu angkatan baru; Angkatan Sastra Reformasi. Diharapkan, ia dapat bersanding muka dengan Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 atau 66. Tetapi, Abdul Wachid menganggap itu sebagai efek samping perayaan yang kelewat gempita. Kita bisa membaca itu dalam ’’Angkatan Sastra Euforia”.

Dua esai itu bisa kita baca secara utuh di buku teranyar Abdul Wachid B.S., yakni Sastra Pencerahan (Basabasi, 2019). Buku ini merupakan gabungan dua buku yang terbit sebelumnya, Sastra Pencerahan (2005) dan Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005).

Buku ini merupakan sebuah kombinasi apik yang berpijak di atas dua topangan tema yang menarik. Pertama, kita disuguhi respons Abdul Wachid terhadap persoalan-persoalan sastra Indonesia yang saling kait dengan kondisi politik Orde Baru. Lihat misalnya Bab ’’Sastra Melawan Slogan”, ’’Sastra Koran Bekas”, hingga ’’Sastra, Sastrawan, Titus, Religi”.

Sebagai sebuah buku, Sastra Pencerahan hadir dengan kecakapan nyaris sempurna karena ditulis seorang akademisi sekaligus sastrawan. Buku ini bisa berdiri seimbang di tengah-tengah telaah teoretis yang akademis, tapi dipadukan dengan gaya ungkap sastrawi. Sehingga ia begitu jauh dari kesan menjemukan.

Dalam esai ’’Perpuisian Yogyakarta di Era Transisi”, misalnya, salah satu sajak Joko Pinurbo berjudul Kisah Seorang Nyumin berhasil ’’ditelanjangi’’ dengan ringkas tapi reflektif. Bahwa citraan yang dibangun sajak Joko Pinurbo berdasar pada dunia surealis. Problem masyarakat transisi disublimasi ke tingkat supralogis pemikiran sajak, maupun imaji, yang ia bangun dari peristiwa keseharian ke dunia simbolis (halaman 337).

Satu penjelasan yang begitu mudah dicerna –bahkan oleh seorang awam sekalipun– dengan artikulasi yang tak berbelit-belit. Saya teringat pada usaha serupa yang dilakukan H.B. Jassin dalam buku Tifa Penyair dan Daerahnya (Gunung Agung, 1977). Bahwa surealisme bisa dipahami dengan sederhana. Ia merupakan gabungan antara realitas empirik dan realitas imajiner dalam satu konsep ruang dan waktu.

Saat berniat untuk menyasar sastra, setidaknya kita harus menukil Abdul Wachid B.S. Sebab, dia memiliki satu catatan khusus tentang stagnasi sastra yang disebabkan cengkeraman Orde Baru, juga mampu memberikan analisis dengan argumentasi yang runut dan logis. Dua keunggulan yang patut kita apresiasi.

Buku ini sendiri, menurut pengakuan penulisnya, dimaksudkan untuk memantik kembali diskusi mutakhir. Dia meyakini sastra merupakan bagian penting dari upaya pencerahan suatu zaman, tapi boleh jadi pada gilirannya, sastralah yang kemudian perlu dicerahkan melalui kritik.

Barangkali, Sastra Pencerahan bisa menjadi titik tolak bagi tradisi kritik sastra kita yang belakangan mulai tak terdengar gaungnya. Sebab, bagaimanapun, iklim sastra yang sehat hanya mungkin tercapai berbarengan dengan kritik sastra yang bernas.

Judul Buku: Sastra Pencerahan
Penulis: Abdul Wachid B.S.
Penerbit: Basabasi
Cetakan I: Oktober 2019
Tebal: 460 halaman
ISBN: 978-623-7290-28-5

*) Pembaca sastra, mahasiswa Filsafat UIN Banten.
https://www./minggu/buku/26/01/2020/menyasar-sastra-menukil-abdul-wachid-b-s/

Leave a Reply

Bahasa »