Anindita S Thayf
Solo Pos, 02/12/2018
Bisakah sastra terus hidup di tengah masyarakat yang mayoritas tidak mampu membeli buku, atau minoritas yang mampu, tapi enggan membaca? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Sastra pun bisa mati tetapi tidak pernah bisa berkompromi. Kala itu sastra adalah pemberontakan permanen yang tidak bisa dihentikan oleh jaket pengekang. Setiap usaha untuk membelokkan wataknya yang pemberontak dan pemberang mestilah bakal gagal. Demikian pernyataan tegas Mario Vargas Llosa dalam esainya Sastra Itu Api yang tersaji di dalam buku Matinya Seorang Penulis Besar.
Posisi sastrawan memang selalu berada dalam dilema. Dulu sastrawan dianggap sebagai si gila yang halus budinya. Sastrawan adalah makhluk marjinal dalam masyarakat. Namun, catat Llosa, situasi ini lantas berubah. Masyarakat mulai sadar bahwa membaca karya sastra ternyata berfaedah. Kaum borjuasi menjadikan membaca karya sastra bagian dari gaya hidup mereka. Sastra pun menjadi industri. Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang telah memicu berdentangnya lonceng penanda bagi Matinya Penulis Besar. Inilah masa ketika “sastra”, tulis Llosa, “hanya bermakna sebagai produk bagi konsumsi jangka pendek, hiburan sejenak, atau sumber informasi yang kedaluwarsa secepat kemunculannya.”
Sastrawan zaman sekarang bukan lagi panutan bagi bangsanya seperti Victor Hugo pada masa Revolusi Prancis. Sastrawan kekinian hanyalah salah satu sekrup dari mesin industri raksasa yang dipajang dari festival ke festival, pameran ke pameran, untuk berjualan produk, dan lebih daripada itu: agar kehadirannya tetap diakui. Apa yang dilihat bukan lagi karya seorang sastrawan, melainkan aktivitas sosialitanya. Sebab sebagaimana yang dijelaskan Llosa, kini kita memasuki Peradaban Tontonan.
Peran televisi dan media massa menjadi begitu penting. Selain bekerja, fokus utama orang-orang masa kini adalah mencari hiburan untuk bersenang-senang. Ketika karya sastra terseret masuk ke dalam pusaran itu, sertamerta sastrawan ikut berbelok haluan. Dia dituntut harus bisa memberi tontotan yang menghibur dan menarik. Menjadi penghibur yang disukai. Inilah Zaman Tukang Obat, demikian ejek Llosa. Zaman yang membutuhkan orang-orang yang pandai mengecap dan mahir berjualan. Bukan masalah bila dia menggelembungkan sesuatu yang kecil agar tampak besar. Manipulasi penting untuk mengubah kesadaran masyarakat agar sesuai selera pasar.
Mario Vargas Llosa, pengarang kelahiran Peru sekaligus peraih Nobel Sastra 2010, memang sering mengkritisi perkembangan zaman lewat esai-esainya. Sebagai pengarang Amerika Latin yang termasuk negara Dunia Ketiga, Llosa menarasikan persoalan-persoalan yang sama dengan yang kita hadapi, termasuk persoalan sastra.
Sebagaimana disampaikan Llosa dalam pidato penerimaan Nobel berjudul Pujian untuk Membaca dan Karya Fiksi, mengarang sastra bukan persoalan mudah, ujarnya. Pernyataan ini jelas berlawanan dengan apa yang ditawarkan buku-buku panduan menulis yang laris di pasaran bahwa mengarang itu gampang. Bagi Llosa, untuk bisa mengarang, seseorang harus sering bergulat dengan banyak teks dan belajar dari pengalaman pengarang lain.
Dari Flaubert, Llosa belajar bahwa bakat adalah “disiplin yang ulet dan kesabaran panjang.” Dalam esainya Mejenguk Karl Marx, Llosa memuji kedisiplinan “Nabi Komunisme” itu dalam menulis. Marx menulis dan membaca selama delapan jam di British Museum dengan mengesampingkan hidupnya yang miskin, kematian anak-anaknya dan kesukarannya dikejar-kejar polisi Inggris. Saban hari, Marx berangkat pukul sembilan pagi dan pulang ke rumah pukul tujuh tiga puluh malam, lantas melakukan kerja literasi di rumahnya selama 3-4 jam.
Sering diajukan pertanyaan, bagaimana cara seorang pengarang bisa menghasilkan karya yang bagus? Lewat esainya Sastra dan Eksil, Llosa mencoba menjawab. Untuk menghasilkan karya yang bagus, katanya, seorang pengarang bisa meninggalkan negaranya atau menjadi eksil agar berjarak dari persoalan yang ingin ditulis. Namun, hal ini tetap tidak menjamin karya mereka akan lebih bagus dari pengarang yang tetap tinggal bersama masyarakatnya. Semuanya kembali pada karakteristik masing-masing individu.
Sepuluh esai yang terangkum dalam Matinya Seorang Penulis Besar merupakan sebagian kecil karya non fiksi Llosa. Pemilihan acak esai yang dimasukkan dalam buku ini membuat kita kurang bisa mencerap pemikiran Llosa secara utuh. Benang merah yang bisa ditarik hanya seputar hubungan karya sastra dengan perubahan sosial. Sebagaimana disampaikan Llosa, fungsi sastra adalah “mendorong, tanpa kenal henti, hasrat akan perubahan dan perbaikan….”
Membaca esai-esai Llosa akan membuat kita ikut berpikir dan mempertanyakan sudah sampai di manakah perkembangan sastra kita. Di tengah maraknya upaya menggenjot karya sastra Indonesia, mulai dari penerbitan, penerjemahan hingga residensi penulis, mungkin kita perlu melihat kembali dan merenungkan pencapaian yang ada. Jangan sampai kita, yang merasa telah menjelma burung garuda yang mampu terbang tinggi, ternyata masih seekor ayam. Sastra yang kita hasilkan ternyata bukan lagi api, melainkan hanya kitsch. Bila itu yang terjadi, esai-esai Llosa mungkin bisa menjadi pemantik agar karya sastra kita kembali menyala sebagai api.***
*) Novelis dan esais
Judul : Matinya Seorang Penulis Besar
Penulis : Mario Vargas Llosa
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Immortal Publishing dan Octopus
Cetakan : I, 2018
Tebal : x + 142 halaman
Isbn : 978-602-6657-94-7
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10205676943721087