KENCAN HIKIKOMORI


[Photo: Ido chawan by Kohei Nakamura, Japan]
Rinto Andriono *

Hidup ini memang berat, bila tidak diliputi kegagalan maka akan diselimuti kecemasan. Tiga orang sedang dipertemukan oleh nasib. Namun, kesedihan, tampaknya, akan segera bermuara pada kematian. “Sepertinya sudah bisa kita tetapkan, ini akan kita lakukan saat Hari Arwah?” tanya Mokichi.

“Ya, Hari Arwah, hari peluncuran bagi kita, saat semua orang sedang mengikuti Upacara Urabon,” tandas Shusaku.

“Maka kita akan menjadi keseimbangan bagi semua orang, sekaligus menghapus duka dan lara kita!” kata Kichijiro berapi-api.

Semester terakhir, tiga tahun yang lalu, Shusaku selalu pulang malam hari, saat kelelawar sudah kenyang menyantap serangga. Sejak semester pertama tahun terakhir di SMA, Shusaku memang sudah mengikuti program bimbingan tes masuk perguruan tinggi. Pelajaran tambahan itu dilakukan hingga larut, setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Semester kedua ini, seiring dengan semakin dekatnya ujian, bimbingan harus dilakukan setiap hari. Saat Shusaku pulang, jalanan dari stasiun ke rumah sudah lengang. Terkadang Shusaku menemukan karyawan mabuk tertidur di bangku halte yang lengang, mungkin menunggu bis atau sudah tertinggal. Hari-hari selalu sama, tapi dia harus bergegas pulang, besok pagi sekolah lagi.

Pada tanjakan terakhir di jalan menuju ke rumah, perutnya selalu menegang, entah karena jalanan menanjak atau karena ngeri mengingat sulitnya ujian masuk. Angin malam yang dingin ikut mengiris-iris perutnya seperti perut maguro, tuna sirip biru yang disajikan untuk sushi. Sebenarnya, Shusaku tidak terlalu suka dengan jurusan kedokteran yang harus diraihnya di Universitas Tokyo. Selain itu adalah jurusan yang paling sulit dimasuki, Shusaku juga merasakan beratnya beban tambahan, yaitu dia harus meneruskan tradisi agar menjadi generasi ketiga dokter di Universitas Tokyo, setelah ayah dan kakeknya. Jurusan yang seharusnya humanis dan ramah, sekarang tidak begitu wajahnya bagi Shusaku. Kursi fakultas kedokteran di Universitas Tokyo telah menjadi sangat dingin dan bengis baginya.

Semenjak taman kanak-kanak, Shusaku adalah pria kecil yang menyenangkan. Pembawaannya selalu dipuji oleh para pengajar karena ramah dan suka berbagi. Shusaku kecil juga pria yang unik, saat sudah bosan membuat berbagai jenis robot, dia akan menyulam dan membuat ikebana, saat pelajaran prakarya di sekolah. Bagi Shusaku, membuat robot dan menyulam sama-sama menantang. Sepertinya secara alamiah, otak kanan Shusaku berkembang lebih pesat daripada otak kirinya yang juga di atas rata-rata. Oleh karena itu, Shusaku sangat menggemari pelajaran sastra dan seni lukis semenjak usia sangat belia. Sehingga wajar, di sela-sela bimbingan tes yang membosankan dia senang mencuri-curi kenikmatan pada haiku-haiku klasik Matsuo Basho.

Koran pagi sudah datang. Shukaku bergegas turun dari kamarnya.

“Celaka!” katanya.

Ayahnya sudah mendahului keluar, mengambil koran. Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan mahasiswa di Universitas Tokyo. Shusaku duduk dengan takzim di hadapan ayahnya. Jika ayahnya cemas soal nasib keberlangsungan tradisi, yang akan mencederai egonya bila anaknya gagal, maka kecemasan Shusaku berlapis-lapis adanya. Dia mencemaskan dirinya, mencemaskan kemarahan ayahnya, mencemaskan nasib ibunya, yang amat disayanginya, karena dalam keluarga mapan di Jepang, urusan sekolah anak adalah tanggung jawab ibunya, tugas ayah adalah mencari uang, titik. Ibunya pasti akan dicibir keluarga besar ayahnya dan akan mendapatkan cap sebagai menantu yang gagal menjaga tradisi pencapaian keluarga. Wajah Shusaku ditekuk seperti keberaniannya. Saat dia melihat wajah penasaran ayahnya, dia teringat jas dokter dengan bordir namanya sebagai hadiah ulang tahun ke dua belas, sekaligus inisiasi harapan keluarga untuk meneruskan tradisi.

“Kichigai!” umpat ayahnya. “Anak tak berguna!” lanjutnya sambil membanting koran.
****

Sudah tiga tahun semenjak peristiwa itu. Pada saat itu ayahnya marah besar, mengamuk dan mengambil senapan Tanegashima pusaka keluarga. Ia hendak membunuh Shusaku yang meringkuk ketakutan seperti rusa yang terpojok di tangan pemburu. Tiba-tiba ibunya keluar dari dapur, ikut rebah di atas tubuh Shusaku, seolah hendak melindungi Shusaku dari kemurkaan sang ayah.

“Bunuh aku dulu!” teriak Ibu, “Sebelum kau bunuh anakmu.”

“Anakmu sungguh tak berguna, dia lemah sepertimu!” maki Ayah.

Sang ayah kemudian bergumul dengan ibu Shusaku. Mereka berebut senapan. Dor! Sebutir peluru melesat mengenai sebuah vas bunga, hingga pecah berhamburan. Setelah menembus vas, peluru itu mengenai foto keluarga mereka, pecah berkeping. Vas dan foto yang pecah di awal musim semi bukanlah pertanda baik.

Ingatan Shusaku buyar ketika mie instan karinya mendidih. Buru-buru dia mengangkatnya dari panci pemanas. Aroma rumput laut yang sedap serta-merta menguar di dalam ruangan. Aromanya membuat ruangan menjadi hangat, seperti telah dirambati cahaya hingga ke sudut-sudutnya. Ruangan yang telah menampung segala dukanya tiga tahun terakhir ini. Kari adalah santapan kesukaan ibunya. Ibu yang selalu dirindukannya siang dan malam. Ibu yang bunuh diri karena beratnya kenyataan yang dihadapi setelah dirinya dianggap gagal menjaga amanat keluarga.

Sudah tiga kali musim semi, Sushaku tinggal di dalam cangkangnya, sebuah kamar suram di lantai dua rumahnya. Di lantai satu, tinggallah ayahnya yang sekarang sudah pensiun. Meski mereka tinggal serumah tetapi mereka berdua sangat jarang bertemu. Shusaku hampir setiap saat mengurung diri di kamar, sementara ayahnya lebih sering terbenam sake dari siang hingga malam. Sesekali Shusaku keluar pada tengah malam untuk membeli kebutuhan hidupnya di toko 24 jam, tak jauh di kompleks rumahnya. Kadang-kadang dia duduk sebentar di selasar toko untuk sekedar menghabiskan sekaleng bir lalu pulang dan kembali ke dalam cangkangnya.

Di depan kasir toko serba ada, mata Shusaku terpaku pada sebuah Edisi Khusus Majalah National Geograpic tentang Kehidupan Setelah Mati dari agama-agama di Asia, sambil lalu ia menenteng jus dan kudapan dan mencomot majalah tersebut, ternyata pada ujung yang lain ada tangan yang juga sedang memegangnya. Sempat sepersekian detik terjadi refleks tarik-menarik tak sengaja. Mata mereka saling bersirobok.

“Silakan, Anda duluan.”

“Shusaku? Lama sekali kita tidak bertemu. Kau Shusaku ‘kan? Dahulu dari SMA Tomoe?”

Seketika Shusaku terkejut, tiba-tiba bersitatap dengan orang yang mengenalnya, di saat dia sedang di luar cangkang. Rasanya seperti siput digarami. Kenyataan seolah menggores kembali pusat nalarnya. Cangkangnya adalah tempat yang paling aman dari serbuan segala kenangan yang menusuk kalbu. Seketika barang-barang dalam genggamannya dijatuhkan.

“Eeee aku…” Shusaku tidak meneruskan kata-katanya dan dia langsung berlari pulang.
****

Sebagian besar kawan kerjanya masih menikmati sarapan. Mata Megumi nyalang, dia sedang mencari sesuatu di antara buku-buku lama di meja kerjanya. Yang dicarinya nampak teronggok berdebu di rak terbawah. Sudah lama terlupakan. Buku alumninya sewaktu SMA. Buku itu dibukanya halaman demi halaman. Diamatinya wajah demi wajah, senyum-senyum di akhir masa kanak-kanak yang mungkin sekarang sudah tinggal kenangan, diberangus oleh beratnya kenyataan. Akhirnya, wajah itu ditemukannya pada wajah keempat puluh tujuh. Shusaku, alumni SMA Tomoe tahun 2017, salah satu pengidap hikokomori yang ditemuinya semalam.

Bertahun bekerja sebagai relawan hikikomori, Megumi begitu paham dengan raut ketakutan para pengidapnya. Hikiomori mulai jamak di Jepang. Sebagian besar penderitanya adalah pria usia produktif dan hidup dalam keluarga yang mapan, bahkan berkecukupan, sekali pun harus menghidupi satu orang yang tidak lagi memiliki sisa keberanian untuk keluar dari rumah, dari kamarnya. Dari cangkangnya!

Cangkang telah memberinya rasa aman dari perasaan terbuang, perasaan tidak berguna. Rasa terbuang itu seperti lintah yang menghisap asa kehidupan di dalam kalbu, sekuat apa pun dia hendak menyingkirkannya maka sekuat itu pulalah rasa sakit yang ditimbulkannya. Seringkali hikikomori yang memuncak akan berujung pada bunuh diri. Apakah tidak ada lagi peluang bagi para penderita hikikomori, sehingga kematian adalah cara terbaik untuk keluar dari ketakutan itu?

Megumi mengambil foto Shusaku di buku alumni dengan ponsel pintarnya, lalu mencetaknya dan menancapkannya pada dinding.

“Dia harus diselamatkan!” katanya.

Megumi lantas keluar dan bergabung dengan kawan-kawannya, melebur dalam reriungan.

Sementara itu, Mokichi yang baru bangun di pagi itu, segera melihat sebuah pesan pendek yang terkirim semalam. Pesan itu rupanya datang saat dia tidur semalam.

“Aku terbakar!” Begitu bunyi pesan pendek di komputer jinjing Mokichi. Tertanda waktu 3.47 dini hari. Pengirimnya adalah Shusaku.

“Kenapa?” Pesan pendek Mokichi muncul di layar Shusaku.

“Aku keluar dari cangkang. Beli bir.”

“Dan kau tergarami?” Tergarami adalah kata yang sering dipakai oleh Sindikat Hikikomori bila mereka menghadapi pertemuan yang tidak nyaman dengan orang lain.

“Iya.”

“Baiklah, nanti malam kita bertemu. Ajak saja Kichijiro.”
****

Gelap mulai memeluk langit. Hari ini telah tergelincir menjadi kemarin. Waktu telah menunjukkan pukul 2.00 dini hari. Shusaku melangkah menggigil, dia meninggikan kerah jaketnya dan merapatkan tangannya ke badan untuk mengurangi angin dingin yang melintas sisi tubuhnya. Seseorang berlari dari belakang. Seolah menghindari dingin yang mengejar. Dia yang berlari kemudian merangkulnya dari belakang.

“Jadi kau kemarin tergarami?” tanya Kichijiro, “Oleh siapa?” dia langsung memberondong pertanyaan, mungkin begitu caranya agar menjadi hangat, di suhu empat derajat Celsius. Uap air keluar dari mulutnya.

“Aku bertemu temanku waktu SMA. Dia masih mengenaliku, dia seperti mengundang kembali ingatan yang selama ini mulai bisa aku lupakan.”

“Itu memang menyakitkan. Dunia sudah bukan milik kita lagi, kita adalah milik kehidupan yang akan datang.”

“Itu Mokichi!” seru Shusaku.

Malam dingin dan suram ketika ketiga sahabat hikikomori ini bertemu. Mereka berbincang serius, dari hati ke hati. Mereka mengabaikan burung raja udang yang melintas di atasnya. Kuaknya tidak mampu memecahkan kebekuan malam itu. Mereka seolah tersihir oleh sesuatu yang sedang mereka perbincangkan.

“Ketahuilah, kita semua dibentuk oleh luka, bahkan kelahiran kita pun telah menorehkan trauma bagi kita. Dan kekalahan adalah kumpulan dari luka telah yang terlalu banyak,” Ujar Kichijiro.

“Kita menjadi seperti sekarang ini karena luka, dan beberapa luka mungkin telah terlalu dalam untuk bisa sembuh. Biarkanlah darahnya mengalir hingga menghanyutkan kita, karena itu akan mempercepat waktu peluncuran kita.”

Para pengidap hikikomori ini biasanya saling berkencan. Mereka berkencan untuk menyepakati hari peluncuran. Hari peluncuran adalah hari yang telah mereka sepakati untuk bunuh diri bersama, pada waktu yang sama di dalam cangkang mereka masing-masing.

“Orang-orang sudah tidak lagi waras, mereka membangun piramida manusia, untuk meninggikan pemenangnya mereka akan menginjak-injak sebagian besar pecundangnya,” Kata Mokichi.

“Dan para pecundang yang malang akan bekerja keras sepanjang hidupnya, demi membiayai hidup dalam sebulan mereka harus pula bekerja penuh selama sebulan. Tidak ada yang bisa disimpan walau sekedar untuk hari tua.”

“Kita di sini ada untuk menjaga keseimbangan, biarlah mereka yang di luar sana, seolah bebas berkeliaran, namun mereka terpenjara di dalam sesuatu yang keberlangsungannya ditenagai oleh mereka sendiri sebagai bahan bakarnya. Sementara kita yang di dalam justru telah terbebas dari itu semua.”

Pada akhirnya, berhikikomori yang tadinya merupakan ketersingkiran telah menjadi semacam pilihan hidup. Mereka merasa ini adalah misi untuk menjaga keseimbangan, sementara orang lain di luar, berdalih untuk memperoleh sumber daya, tapi nyatanya mereka justru memboroskan sumber daya kehidupan yang lain, seperti lingkungan.

“Hikikomori adalah kebebasan, dan puncaknya adalah hari peluncuran itu!” kata Mokichi.

Shusaku lebih banyak diam dalam pertemuan itu. Setelah pertemuan tidak sengaja dengan Megumi kemarin malam, tadi siang ia mendapatkan secarik pesan yang diselipkan melalui bawah pintu kamarnya. Isi pesannya pendek dan sederhana, tertulis pada kertas putih, tampak polos dan tulus.

“Aku tidak hendak menggaramimu.” Pesan dari Megumi.
****

Berpuluh pesan telah menyusup melalui celah bawah pintu kamar Shusaku. Megumi sengaja mengambil jalur yang melewati rumah Shusaku dan menyisipkan pesan. Tetapi tak satu pun pesan yang berbalas. Megumi kenal betul dengan perilaku pengidap hikikomori. Dia hanya perlu menunggu, pesan pendek mana yang akhirnya akan dibalas oleh Shusaku. Semua tergantung suasana hati Shusaku, namun Megumi selalu punya banyak hal untuk ia tuliskan di dalam pesan.tIa pernah akrab dengan Shusaku yang sebetulnya berhati lembut. Genap seratus enam puluh dua hari semenjak pertemuan pada dini hari itu, telepon pintar Megumi menerima pesan pendek dari Shusaku.

“Kau boleh menemuiku,” demikian isi pesan singkatnya.

Relawan hikikomori seperti Megumi dan kawan-kawannya adalah relawan yang dikelola oleh perfekture untuk menyapa para pengidap hikikomori yang mengisolasi diri. Tokyo adalah kota dengan pengidap hikikomori terbanyak di Jepang. Mereka ada untuk sekedar menyapa dan meyakinkan orang dengan hikikomori untuk bersosialisasi, meyakinkan mereka untuk berani keluar dari cangkang kemudian kembali menghadapi kenyataan hidupnya, seburuk apa pun itu. Langkah awal pendekatan pada orang dengan hikikomori adalah dimulai dengan mendekati keluarganya. Setelah mendapat persetujuan keluarga, lantas relawan akan mengirimkan pesan secara periodik melalui bawah pintu cangkangnya. Demikian terus-menerus hingga akhirnya mendapatkan balasan. Pada tahap ini, artinya ia sudah mengulurkan tangan untuk segera mendapatkan pertolongan.

Pertemuan antara Megumi dan Shusaku selalu dilakukan di dalam cangkang Shusaku. Megumi selalu mengajak Shusaku untuk bertemu di luar, tetapi Shusaku selalu menolak. Shusaku selalu menghadapi Megumi dengan dingin. Ajakan bertemu selalu datang dari Megumi. Shusaku sama sekali tidak membutuhkan kehadiran Megumi di dalam hidupnya. Megumi hanya Shusaku menghabiskan waktu bersama, kadang bermain tebak-tebakan, kadang hanya bercerita yang remeh-temeh semasa SMA. Hingga pada suatu kali Megumi datang sekantung plastik bawaan dan sebuah kompor portable.

“Hari ini kita akan memasak kari! Aku punya sayuran, daging dan bumbu-bumbunya.”

Shusaku terpaku di pojok kamarnya. Dia berdebar-debar mendengar kata kari. Terlebih lagi ada yang mengajaknya memasak kari, sesuatu yang dahulu hanya dilakukan oleh mendiang ibunya. Seperti bertemu apa yang selama ini dirindukannya, tangan Shusaku hanya bergerak seturut ketika diminta mengiris sayuran.

“Tidak ada memotong yang tidak menimbulkan luka, luka pada sayuran, luka pada daging dan bumbu-bumbu. Tetapi luka itu justru kita perlukan. Tanpa luka, daging dan sayuran hanya akan berasa primitif seperti aslinya. Rasa umami hanya akan muncul ketika sayuran dan daging dipanaskan bersama. Dan kari yang enak adalah kari yang paling banyak menorehkan luka pada bahan-bahannya,” celoteh Megumi yang membersamai Shusaku memotong sayuran.

“Tidak akan ada rasa yang baru tanpa kita mengijinkan luka untuk bekerja mengubah segalanya,” Shusaku mematung, ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang memotong.

“Begitu pula dengan hidup kita, kadang kita hanya perlu membiarkan luka terberat sekalipun untuk melahirkan sesuatu yang baru dari diri kita.” Dengan cekatan Megumi memasukkan semuanya ke dalam panci berisi air yang sudah mendidih.

Kata-kata Megumi kali ini begitu mengiang dalam kalbu Shusaku. Gaungnya sangat kuat menggetarkan seluruh membran di dalam otaknya. Shusaku hanya bisa menyantap kari itu dengan tanpa bersuara. Hatinya sungguh berkecamuk kala itu. Di dalam batinnya ada dua hal yang seolah berlawanan. Semalam dia baru saja menyepakati kencan hikikomori pada Hari Arwah, yang itu berarti tinggal sebulan lagi. Dan hari ini Megumi berkata tentang peluang lahirnya hal yang baru justru dari luka yang menganga. Suasana hening sesaat.

“Bisakah besok kita bertemu lagi?” kata Shusaku sambil terbata-bata.
****

Segala sesuatu boleh datang dan pergi dalam hidup kita. Namun hanya takdir yang boleh datang dan pergi tepat pada waktunya. Hanya takdir yang datang pada masa pekanya untuk menjadi perubahan besar dalam hidup seseorang. Takdir datang seperti benih padi yang jatuh pada musim semi. Langsung bisa tumbuh, tak perlu menunggu lebih lama lagi, bahkan sampai tidak sempat menjadi santapan burung pipit yang kelaparan. Begitu pula dengan kehadiran Megumi dalam hidup Shusaku. Megumi telah menghadirkan simpang jalan dalam hidup Shusaku. Dia menjadi ragu akan ketetapan hatinya terhadap kencan hikikomori yang telah dia sepakati dengan Kichijiro dan Mokichi pada Hari Arwah.

Mokichi, Shusaku dan Kichijiro telah berkencan hikikomori pada Hari Arwah. Di saat orang-orang sedang berdoa di kuil untuk mendiang para arwah, mereka bersepakat untuk bunuh diri dari dalam cangkang masing-masing. Mokichi adalah yang paling tua di antara mereka. Dahulu ia adalah pengusaha muda yang sukses, hingga akhirnya ia terpuruk dalam kegagalan investasi beruntun yang membuatnya tidak punya keberanian lagi untuk bangkit. Dia sudah tujuh tahun ber-hikikomori. Hampir sama dengan Mokichi dan Shusaku, Kichijiro adalah kawan hikikomori yang baik. Dia anak hasil kawin campur antara Ibu Tokyo dan Bapak Klaten. Pada saat Kichijiro kecil, orang tuanya bercerai hingga Kichijiro ikut ayahnya ke Klaten. Masa kecilnya di Klaten yang hanya sesaat itu tidak begitu menyenangkan, bermata sipit dan berkulit pucat membuatnya menjadi bahan perundungan kawan-kawannya. Hidupnya di Jepang dimulai saat ayahnya meninggal. Ibunya memboyongnya ke Tokyo. Dan Tokyo bukanlah kota yang ramah bagi pendatang yang pernah kesulitan berbahasa Jepang. Apalagi sekolahnya, sangat berat bagi Kichijiro yang menempuh pendidikan dasar di Klaten.

Dalam sebulan ini, intensitas pertemuan Shusaku dan Megumi semakin bermakna. Megumi semakin bisa menyelami hati Shusaku. Hatinya bagai danau es yang pejal, dingin. Dan kedalamannya membuat cahaya matahari susah menembusnya. Namun, di balik itu, Megumi menemukan keindahan hati Shusaku yang ternyata sangat rapuh. Hatinya begitu indah sekaligus begitu rentan. Megumi hanya perlu waktu dan keterbukaan Shusaku untuk mengobati hatinya yang terluka itu. Hatinya kesepian dan merana. Megumi berusaha memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan-pertemuan mereka. Hatinya semakin terpaut pada hati Shusaku. Megumi sangat optimis bahwa dia akan sanggup mengajak Shusaku keluar dari cangkangnya secara permanen.

“Datanglah ke rumahku pada liburan Hari Arwah,” kata Shusaku.

“Aku akan datang,” sahut Megumi.

“Datanglah saat makan siang, aku akan memasak untukmu. Sementara untuk satu pekan ini kita jangan bertemu dahulu,” pinta Shusaku.

Siang hari pada saat liburan Hari Arwah, Megumi berjalan ke rumah Shusaku. Hatinya berbunga-bunga. Namun langkahnya terhenti ketika dia melihat sebuah ambulans pergi dari rumah Shusaku. Ayah Shusaku masih mengenakan piyama dan tampak bersedih. Saat Megumi menemuinya, ayah Shusaku mengatakan bahwa ada sesuatu untuknya di kamar Shusaku. Tanpa sempat bertanya siapa yang pergi dengan ambulans, Megumi segera masuk ke kamar Shusaku. Ada kari yang masih hangat, asapnya masih mengepulkan aroma yang lezat. Di samping mangkuk kari ada ikebana bergaya jiyuka yang didominasi warna monokrom. Di bawahnya ada secarik kertas putih polos dengan selarik tulisan.

“Aku kencan dengan Kichjiro dan Mokichi. Tidak semua luka bisa melahirkan yang baru. Aku terlalu takut.” Kertas itu ditandai huruf kanji Shusaku.

_______________________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.

3 Replies to “KENCAN HIKIKOMORI”

  1. Mas Rinto, keren banget ceritanya. Salam buat tiga serangkai shusaku, Kichijiro dan megumi.

    Kesulitan saya memahami nama nama dan peristiwa Jepang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *